Binar berdiri diam. Punggung itu tampak seperti ia kenal. Tetapi suaranya tak ia ingat.
"Bunda Ata-nya di mana sekarang?" tanya sang pria.
Permata mengalihkan tatapan, mencari keberadaan sang Ibu hingga menemukannya. "Itu bundanya Ata, Om."
Laki-laki muda yang sedang berjongkok itu pun menoleh. Perlahan ia berdiri sambil menatap wanita yang ditunjuk Permata. "Binar ... Mentari?" tanyanya, tampak ragu.
Binar bergeming untuk beberapa saat. "Er ... van?" tidak yakin dengan tebakannya.
"Iya," angguk pria bernama Ervan itu.
"Oh, jadi kamu yang dimaksud Ata. Aku pikir siapa." Binar terkekeh. Merasa lega karena ternyata orang itu adalah teman sekolahnya dulu.
Ervan mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan temannya. Ia tadi hanya menolong anak perempuan yang terjatuh di depan matanya. Saat ditanya, anak itu memperkenalkan diri dengan nama Ata.
"Bunda, tadi Ata jatuh. Terus dibantuin sama Om yang baik ini," cerita Permata, "lihat, Bunda. Tangan Ata berdarah sedikit. Tapi Ata gak nangis. Ata 'kan anak hebat."
"Lain kali Ata hati-hati, ya, Sayang," ujar Binar sambil menarik lembut tangan putrinya.
"Ini ... anak kamu?" tanya Evan.
"Iya. Namanya Permata," angguk Binar.
"Bunda, ayah mana?"
"Ayah udah pulang. Dicariin Teteh Mira soalnya," jawab Binar.
"Ayo ke Teteh Mira, yuk!"
"Kita pulang aja, ya?! Ini udah mau gelap loh."
"Ke Teteh Mira dulu, Bunda," rengek Permata.
"Oke. Tapi cuma sebentar, ya?!"
"Iya," angguk anak itu dengan cepat.
Binar lalu mengalihkan tatapan pada temannya. "Van, aku sama Ata pamit duluan, ya?!''
"Iya, silakan," angguk Ervan, "Eh, tunggu, Bi!"
"Iya?"
"Aku ... boleh minta nomor kamu? Kayak nomor lama kamu gak aktif."
"Oh, iya. Nomor lamaku emang udah hangus," sahut Binar seraya mengambil ponsel dari tangan temannya lalu memasukkan nomornya sendiri. Setelah selesai ia kembalikan gawai pintar tersebut.
"Makasih, Bi. Nanti aku kontek. Jangan lupa save nomor aku nanti."
"Sip! Ya sudah. Aku balik duluan."
Ervan mengangguk. Ditatapnya wanita yang berlalu menjauh sembari menuntun anak perempuan itu.
***
"Katanya mau langsung pulang," komentar Argawira yang sedang menggendong bayinya sambil duduk di kursi ruang tengah.
"Ini, Tuan Putri. Merengek mau ke Teh Mira," sahut Binar.
"Udah ketemu sama orangnya?"
"Udah, Mas. Ternyata dia teman sekolah aku dulu."
"Liat Ata punya Om Baik, mas jadi ingat waktu mas masih kecil. Pertama ketemu ayah gitu juga. Manggilnya om baik." Argawira terkekeh mengingat masa kecilnya.
"Masa, Mas?"
"Iya. Kalau mas waktu itu om baiknya jadi ayah baik. Siapa tau aja Ata juga senasib."
"Mas ...." delik Binar.
"Apa salahnya, Bi? Kamu juga gak tau 'kan gimana kabar dia. Masih hidup atau tidak pun gak ada yang tahu. Dia menghilang gitu aja."
Binar diam. Itu memang benar. Entah apa yang terjadi pada suaminya sekarang. Entah apa juga statusnya saat ini.
"Bi!"
Binar terperanjat saat bahunya ditepuk. ia sempat melamun.
"Ngelamunin apa sih? Asik banget Jangan-jangan ngelamun Om Baik," goda Argawira.
"Aps sih, Mas. Gak jelas banget deh. Aku ini wanita bersuami. Ya kali mau mikirin laki-laki lain. Emang Mas mau adiknya jadi cewek kayak gitu?" omel Binar.
Argawira terkekeh. "Mas doakan semoga kamu segera menemukan titik terang tentang suami kamu biar kamu juga bisa menentukan langkah kamu ke depannya."
"Aamiin."
"Ibu. Om Baiknya tadi gak datang padahal Ata nungguin," adu Permata pada sang Tante yang baru saja keluar dari kamar.
"Mungkin Om Baik-nya sibuk, Sayang," jawab Mita sambil melangkah menuju dapur.
Binar mengernit mendengar obrolan kakak ipar dengan putrinya. Om Baiknya tidak datang? Lalu Ervan? Bukannya Ervan adalah Om Baik yang dimaksud sang?"
"Bunda, Ata mau bobo sama Teh Mira." Permata menghampiri.
Binar yang sedang sibuk dengan pikiran sendiri pun menoleh. "Enggak, ah. Kita pulang aja, yuk! Kasihan loh nenek sama kakek nungguin Ata."
"Enggak. Ata mau di sini sama ayah dan dedek bayi," tolak Permata sembari memeluk kaki sang om yang sedang duduk tak jauh dari ibunya.
"Udah, kamu nginep sekalian di sini, Bi" ujar Argawira sembari mengusap kepala keponakannya.
"Kalau dari sini ke kantor itu jauh, Mas. Mana macet pula."
"Berangkat lebih pagi kan bisa."
"Gak bisa," tolak Binar, "udah mending Mas bantu aku bujuk Ata daripada sibuk bujuk aku buat nginep."
"Tunggu sebentar. Ata, tolong pindah dulu, Sayang. Ayah mau pindahin dedek bayinya ke kamar," ujar pria itu.
"Dedek bayinya bobo, Ayah?" Permata bergeser menjauh.
"Iya. Makanya mau ayah boboin di kamar."
"Oh." Anak perempuan itu mengangguk. Menatap sang om yang membawa sepupunya ke kamar.
"Yuk, pulang, yuk!" ajak Binar.
"Enggak, ah. Ata mau di sini aja sama ayah dan ibu. Bunda aja pulang."
"Eh? Kok Ata gitu sama bunda?"
"Ata mau di sini pokoknya!"
"Nanti kita beli es krim. Rasa Vanila, Mau?" tawar Binar untuk membujuk putrinya.
"Mau!" angguk Ata dengan antusias.
Binar tersenyum puas karena berhasil membujuk putri tercinta.
"Tapi makan es krimnya di sini, ya, Bunda?! Ata mau makan sama Teh Mira dan Aa. Ata mau di sini sama Ayah. Kalau rumah Ata ada ayah, Ata mau pulang."
Kalimat selanjutnya yang diucapkan anak perempuan itu membuat senyum di wajah Binar seketika memudar.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.