Andra tersedak minuman sebab mendengar perkataan ibunya. "Mama kenapa jadi bahas soal itu?"
"Sampai kapan kamu mau buat dia menunggu? Sudah empat tahun loh kamu mengulur waktu," sahut Elia.
Andra menghela napas panjang.
"Apa yang membuat kamu ragu?"
"Aku gak tau, Ma. Tapi ... aku belum bisa mencintai dia. Aku takut akan menyakiti dia suatu saat nanti."
"Lama-lama kamu juga bakal cinta sama dia, Sayang."
"Empat tahun yang lalu mama juga bilang kayak gitu. Tapi sampai sekarang gak ada hasilnya," balas Andra.
Elia menghela napas panjang. "Salama ini dia selalu baik. Perhatiannya bukan cuma sama kamu, tapi sama mama dan papa juga. Kurang apa lagi?"
"Aku gak tau, Ma. Aku udah berusaha untuk menerima dia. Tapi ... aku gak tau kenapa kayak ada ruang kosong di hati aku yang gak terisi sama dia. Kadang aku merasa gak nyaman. Dia terlalu posesif dan cemburuan."
"Bagus, dong. Cemburu tandanya cinta."
"Tapi kalau cemburu buta, malah bikin risih," kilah Andra.
Elia menepuk pundak anaknya. "Masih suka mimpi burruk?''
"Beberapa malam yang lalu aku masih mampi burruk. Tapi abis malam itu sampai tadi malam aku gak mimpi apa-apa, Ma," jawab Andra.
Selama ini ia memang kerap kali mimpi melihat kecelakaan mobil yang begitu mengenaskan dengan korban seorang pria. Tetapi wajahnya tak mampu ia ingat. Tampak samar.
"Syukurlah. Semoga mimpi burruk itu tak lagi menganggu tidur kamu," harap Elia.
"Aamiin. Makasih, Ma," sahut Andra sambil menggenggam tangan ibunya dengan erat.
"Sama-sama, Sayang. Ya sudah. Kamu mandi dulu gih."
"Nanti saja aku mandi di rumah biar bisa langsung istirahat."
"Ya sudah terserah kamu. Mama mau bikin teh dulu." Elia bangkit dari duduknya.
Andra hanya mengangguk lalu keluar dari dapur. Duduk di kursi makan, diam dengan tatapan lurus ke depan.
"Mama mau panggil papa kamu dulu." Elia menepuk bahu anaknya sambil berlalu.
Andra lagi-lagi mengangguk. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Anak itu mirip siapa, ya? Aku kayak pernah lihat. Tapi ... di mana?" Ia bicara sendiri sambil mencoba menggali ingatan.
"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Febi sambil duduk di samping prianya.
"Sendiri," jawab Andra.
Febi terkekeh. "Kamu ini, ada orang yang bisa diajak ngobrol tapi malah milik ngomong sendiri."
Andra hanya tersenyum.
"Dra!"
"Hem."
"Lagi ada wedding exhibition loh. Kita ke sana, yuk!" ajak Febi. Ditatapnya sang pria dengan penuh harap. Semoga saja setelah melihat pameran pernikahan, pria itu tergerak untuk segera meresmikan hubungan mereka.
"Aku lagi banyak kerjaan, Febi. Kamu pergi aja sama teman kamu," sahut Andra.
"Tapi, Dra, orang-orang datang ke wedding exhibition pasti dengan pasangannya. Masa aku sama teman. Kamu ini gimana sih?" Wanita itu cemberut.
"Ya mau gimana lagi. Aku kan banyak kerjaan. Kamu tahu aku pindah dari Jakarta ke Bandung itu untuk mengurusi perusahaan papa yang ada di sini,'' kilah Andra.
"Aku tau, tapi masa sebentar aja gak bisa? Kan bisa ke sana abis kamu pulang kerja,'' balas Febi.
"Kerjaan aku lagi banyak, Febi. Aku pulang kemungkinan bakal terlambat. Sampai rumah maunya ya istirahat," elah pria itu, mencari alasan untuk menolak.
Febi menghempaskan napas kasar. Bibirnya mengerucut seraya mendelik sebal.
"Gimana keadaan kantor, Dra?" tanya Ilyasa sambil menarik kursi makan dan duduk tidak jauh dari putranya.
Sementara Elia, menyajikan teh sussu yang ia buat tadi dan menyodorkan
"Alhamdulillah lancar, Pa," jawab Andra.
"Kontrak kerja dengan perusahaan Hutama, gimana?"
"Lancar, Pa. Alhamdulillah. Tadi siang aku baru dari sana."
"Kabarnya sekarang perusahaan itu dipegang oleh anaknya yang perempuan."
"Iya, Pa. Namanya Binar," sahut Andra sambil mengulas senyum.
"Memangnya dia gak punya anak laki-laki, ya, Om? Sampai harus anak perempuannya yang jadi CEO," tanya Febi, penasaran.
"Setahu om, punya," jawab Ilyasa.
"Lalu kenapa harus dia yang jadi CEO-nya?"
"Kalau soal itu, om gak tau."
"Tapi orangnya memang cerdas sih, Pa. Dia jeli banget. Detail juga. Setidaknya itu yang aku lihat dalam urusan pekerjaan," puji Andra.
Elia menatap sang anak yang dengan jelas menampakkan raut wajah tidak biasa saat bicara tentang wanita bernama Binar.
Febi mendelik pada pria yang untuk kedua kali memuji wanita lain di depannya. Jelas ia tidak suka. Mana ada perempuan yang suka mendengar pasangan memuji wanita selain dirinya.
"Sudah, minim dulu teh susunya. Nanti keburu dingin," ujar Elia.
Sejenak tak ada lagi yang bersuara, menyeruput minuman masing-masing.
Bicara soal Binar, Andra merasa tidak enak hati atas kejadian tadi siang di kantor saat wanita itu menegurnya. Ingin meminta maaf, tetapi tidak punya nomor yang bisa dihubungi.
***
"Bunda kenapa diam aja? Bunda pusing? Ayo periksa kita ke Dokter Papa!'' ujar Permata sambil menatap ibunya.
Binar yang sedang duduk menemani anak bermain, menoleh dan tersenyum. "Bunda gak apa-apa, Sayang."
"Tapi Bunda gak bicara sama Ata? Ata nakal, ya, Bunda?"
"Enggak, Sayang. Ata gak nakal. Ata 'kan anak baik," sahut Binar sambil memeluk putri semata wayang yang sangat ia sayangi.
Meski sebenarnya sedang sibuk memikirkan kejadian di kantor tadi. Entah kenapa ia tidak suka melihat pria itu bersama wanita lain. Berulang kali mengingatkan diri sendiri bahwa Andra bukan suaminya.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.