Empat tahun yang lalu.
"Hati-hati, ya, Mas?!" ujar Binar saat mengantar pria yang kini sudah menjadi suaminya setelah dua minggu yang lalu menikah.
"Iya, Sayang. Kamu baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa, kamu kabarin mas, ya?!"
"Kabarin buat apa? Mas Zean juga gak akan pulang. 'Kan ada kerjaan di luar kota," sahut Binar.
"Iya sih. Tapi setidaknya Mas tahu kabar kamu, Sayang," sahutnya Zean.
Binar menghela napas panjang. "Baru juga nikah, udah ditinggal ke luar kota," sebalnya.
Zean terkekeh. "Mas janji. Nanti saat kembali dari luar kota, mas kasih kamu kejutan."
"Kejutan apa?" tanya Binar.
"Ada pokoknya. Nanti juga kamu tau."
"Harusnya Mas itu jangan bilang-bilang dari sekarang kalau mau kasih kejutannya nanti. Jadi aku nggak penasaran," sebal Binar yang saat itu masih berusia dua puluh empat tahun, memukul pelan dadda suaminya.
"Sabar, Sayang. 'Kan mas juga di luar kota cuma satu malam. Insya Allah besok malam Mas udah di sini lagi," balas Zean.
"Ya udah. Mas cepat pulang kalau udah selesai kerjaannya."
"Iya, Sayang. Ya udah, mas berangkat, ya?! Mas harus ke kantor dulu soalnya baru habis itu berangkat ke luar kota. Kamu jaga diri baik-baik selama Mas nggak ada," Zean mengecup kening sang istri cukup lama.
Binar balas mengecup punggung dan telapak tangan suami. Memeluk beberapa saat sebelum akhirnya melepas pria itu berangkat.
Entah kenapa tidak seperti biasanya, Binar merasa berat melepas suaminya kali ini. Mungkin karena tahu pria itu berencana pergi ke luar kota di saat mereka masih menjadi sepasang pengantin.
Dan setalah hari itu, suaminya tidak pernah kembali. Ia pun sudah mencari ke sana kemari, tetapi tak ada hasil. Orang kantornya mengatakan bahwa sejak hari itu Zean tidak pernah masuk kerja dan tidak ada yang tahu bagaimana kabarnya.
"Bu Binar! Bu!"
Binar melonjak terkejut. Tepukan di pundak membuatnya tersadar dari lamunan panjang tentang masa lalu. "Iya, Maya? Kenapa?"
"Bagaimana jika saya undur saja meeting nya, Bu?"
"Bisa?"
"Nanti saya bicara pada Pak Andra. Semoga saja Beliau tidak keberatan," jawab Maya.
"Ya sudah. Kamu atur saja." Binar mengangguk setuju. Ia memang butuh waktu untuk menenangkan diri.
"Kalau begitu saya permisi, Bu."
"Iya."
***
"Ata kenapa dari tadi bulak-balik aja?'' tanya Binar yang pulang lebih awal setelah menunda rapat hingga besok. Terheran melihat putrinya berjalan mondar-mandir di teras rumah seperti orang dewasa yang resah menunggu sesuatu.
"Ata lagi nunggu ayah, Bunda."
"Ayah memangnya mau ke sini?"
"Ayah 'kan janji mau temenin Ata main lagi di taman yang dekat rumah ayah," celoteh anak perempuan itu.
Binar mengernyit lalu merogoh saku untuk mengambil ponsel pintarnya. Mengirimkan pesan untuk kakaknya.
'Kemarin dia gak mau pulang, jadi mas bujuk dan bilang mau nemenin dia lagi ke taman.'
Begitu isi pesan balasan dari sang kakak. Kemarin ia memang tidak sempat menjemput Permata di rumah kakak karena banyak pekerjaan. Jadilah pria itu yang mengantar. Mereka bahkan tiba di waktu yang sama, bertemu di halaman rumah.
'Lalu ini gimana? Ata nungguin mas dari tadi. Katanya mau ke taman.' Binar kembali mengirim pesan.
'Ya sudah mas mampir. Sebentar lagi sampai.'
Binar mengangguk saat membaca pesan meski kakanya tidak bisa melihat itu.
"Bunda, telepon ayah. Suruh jemput Ata. Ata cepek jalan ke sini ke sana," pinta anak perempuan itu sembari menunjuk pada tempat ia tadi mondar-mandir.
Binar terkekeh. "Ya sudah. Ata duduk aja kalau capek. Sini!" Ia mengangkat tubuh kecil putrinya dan mendudukkan di atas pangkuan. "Ayah sebentar lagi sampai. Mau jemput Ata.''
"Hore! Makasih, Bunda." Permata mengecup pipi anak semata wayangnya.
"Sama-sama, Sayang." Binar balas mengecup pipi anaknya. "Ata kenapa senang banget main di taman yang dekat rumah ayah?"
"Ata mau ketemu om, Bunda."
"Om?" Binar mengerutkan dahi. "Om siapa, Sayang?"
"Om Baik," jawab Permata.
"Om Baik itu siapa, Nak?"
"Om Baik itu, om yang baik sama Ata, Bunda."
Binar tidak lagi menanggapi meskipun tidak puas dengan jawaban anaknya.
Tin! Tin!
"Bunda, itu ayah!" tunjuk Permata saat melihat mobil sang om berada di depan rumah.
"Tunggu sebentar. Bunda masuk dulu. Ata jangan ke mana-mana."
"Iya, Bunda."
Binar berlalu. Tak lama ia kembali setelah pamit pada asisten rumah tangga karena orangtuanya sedang tidak ada di rumah.
"Ayo, Sayang!" Wanita satu anak itu menuntut tangan putrinya menghampiri mobil yang terparkir di depan rumah.
"Loh kamu ikut juga?" tanya Argawira.
"Iya. Aku mau ikut, Mas."
"Ya udah naik."
"Aku bawa mobil sendiri aja."
"Kalau gitu, kenapa minta mas jemput tadi?"
Binar tersenyum meringis. "Maaf, Mas. Aku dadakan niat mau ikutnya. Tadi aku mau kasih tau Mas buat gak jadi jemput, tapi Mas udah terlanjur sampai sini. Aku harus ketemu sama Om Baiknya Ata. Aku khawatir dia punya niat gak bener."
"Kamu ini, Bi."
"Ata mau ikut siapa? Mau naik mobil Bunda atau mobil ayah?" tanya Binar, abai dengan kakak yang menatapnya sebal.
"Ata mau sama ayah aja, Bunda."
"Oke." Binar membuka pintu depan dan membantu putrinya duduk di jok mobil sang kakak. "Nanti kenalin Om Baik-nya sama Bunda, ya? Bunda mau kenalan soalnya."
"Iya, Bunda."
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.