Binar masih duduk di balik kemudi mobil yang terparkir tepat di depan lobi. Tempat khusus untuk para petinggi perusahaan. Tentu ia termasuk salah satunya.
Tatapan wanita itu terus tertuju pada pria yang sedang melangkah menjauhi lobi dengan dadda yang masih berdegup kencang.
"Andra!"
Binar mengalihkan perhatian saat mendengar suara seseorang yang memanggil nama pria itu. Wanita cantik dan anggun sedang berjalan mendekati sang pria yang kini sedang berdiri menunggu.
Rahang seketika mengeras mendapati pemandangan di depan mata. Tidak suka saat wanita cantik itu langsung bergelayut manja di lengan sang pria. Dadanya seketika bergemuruh.
Ibu satu anak itu gegas menyalakan mesin dan melajukan kendaraan meninggalkan tempat parkir.
Tiiiiin!
Dengan sangaja membunyikan klakson. Kebetulan sekali, ia sedang kesal dan kedua sejoli itu tengah berdiri di tengah jalan.
Pria dan wanita itu sampai berjingkat bahkan setengah melompat karena terkejut mendengar suara klakson yang memekakan telinga.
Binar menurunkan kaca pintu di sampingnya. "Kalau mau bermesraan, silakan lakukan di tempat lain. Jangan di kantor saya, apalagi di tengah jalan," ujarnya dengan nada datar. Setelahnya terlalu tanpa menunggu tanggapan dari kedua orang itu.
Untuk sepersekian detik, wajah wanita yang sedang bersama Andra tampak terkejut saat melihat Binar. Tetapi setelah itu ekspresi wajah berubah kesal. "Siapa sih, dia? Sok banget. Kayak yang punya perusahaan aja," sinisnya.
Andra melepaskan tangan wanita itu dari lengannya. "Dia memang yang punya perusahaan. Anaknya. Dia CEO di sini."
"CEO? Kenapa wanita?"
"Karena dia pintar,'' sahut Andra.
Febi menatap tidak percaya. "Kamu memuji wanita lain di depan tunangan kamu sendiri?"
"Memang apa yang salah dengan yang aku katakan? Bener 'kan dia memang pintar?! Kalau tidak, tidak mungkin dia dipercaya sama orang tuanya untuk memimpin perusahaan sebesar ini," balas Andra.
"Lalu kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Ada urusan kerjaan. Kamu pikir apa?"
"Di perusahaan ini?"
"Iya. Perusahaan ini sudah bekerja sama dengan perusahaan papa sejak beberapa tahun lalu. Kamu sendiri, kenapa ada di sini?"
"Aku ... abis ketemu teman. Kebetulan dia kerja di sini."
"Ya sudah. Aku pulang." Andra beranjak.
"Eh, tunggu! Kok pulang?" Febi menghadang langkah pria yang merupakan tunangannya.
"Lalu? Apa aku harus menginap di sini?"
"Ya enggak gitu juga. Maksud aku, ya ... kita ke mana dulu gitu. Makan atau nonton. 'Kan masih siang," sahut Febi.
"Tolong, Febi. Kita ini bila bukan ABG yang harus pergi kencan saat tak ada waktu luang."
"Memang bukan ABG. Tapi bukan juga pasangan yang sedang menanti hari bahagia karena si laki-lakinya terus menunda-nunda," sindir Febi.
Andra membuang pandangan ke arah lain. "Aku udah janji mau makan malam di rumah."
"Aku ikut, ya?!" pinta Febi, menatap penuh harap sembari meraih tangan prianya.
Andra tidak ada pilihan selain mengangguk, menyetujui permintaan wanita itu. "Bawa mobil sendiri. Gak ada orang yang bawain mobil kamu kalau kamu ikut aku."
"Oke."
"Dan sudah sering aku bilang, Febi, jaga sikap kamu. Kita ini belum menikah, jangan nempel-nempel kayak gini." Andra menghempaskan pelan tangan wanita itu.
"Makanya ayo kita nikah. Kamu yang ngundur-ngundur terus," bakas Febi.
"Ayo! Katanya mau ikut ke rumah mama!" Andra berlalu kemudian.
***
"Halo, Tante Elia," sapa Febi saat tiba di rumah orangtua Andra.
Wanita paruh baya yang sedang berada di dapur itu tersenyum ramah. "Febi, sama siapa ke sini?"
"Sama Andra. Tapi bawa mobil masing-masing. Emangnya Andra belum sampai, ya, Tan?"
"Belum."
"Mungkin sebentar lagi sampai," sahut Febi, "Tante, aku bantuin apa nih?"
"Gak usah. Ini udah selesai semua kok," satu Elia, "tolong atur di meja makan, ya, Bi."
"Baik, Bu." Asisten rumah tangga itu mengangguk patuh.
"Ayo! Kita tunggu Andra sambil ngobrol " Elia mengajak tunangan anaknya itu untuk duduk di sofa ruang tengah.
"Om mana, Tan?"
"Belum pulang."
"Assalamualaikum."
Waalaikumussalam. Panjang umur. Baru juga diomongin," sahut Elia sambil bangkit dari duduknya saat melihat sang suami datang.
"Suami sendiri diomongin," balas Ilyasa sambil mencubit pelan pipi sang istri.
Elia tertawa.
"Bukan ngomong macam-macam, Om. Tadi aku tanya om ke mana. Terus tante bilang belum pulang. Eh, om datang abis itu,'' jelas Febi sambil terkekeh.
"Tuh dengar," timpal Elia lalu mengalihkan tatapan pada Febi. "Tante tinggal dulu, ya, Feb."
"Iya, Tan.'' Febi mengangguk. Sambil tersenyum ia menapa kedua paruh baya yang berlalu menjauh kemudian kembali duduk di sofa.
"Mama mana?"
Febi melonjak terkejut saat sedang asik bermain ponsel, tiba-tiba mendengar suara. "Kamu bikin kaget aja. Tante di kamar sama om."
"Oh." Andra membuka jas yang masih melekat di tubuh lalu menyampirkannya pada sandaran sofa. Duduk di kursi yang berbeda dengan Febi.
"Kamu ke mana dulu? Kok baru sampai?"
''Gak ke mana-mana," jawab Andra sambil melonggarkan dasi tanpa membukanya.
"Sayang, udah sampai?" Elia baru saja keluar dari kamar.
"Baru sampai," sahut Andra, mengikuti langkah sang ibu yang pergi ke dapur untuk mengambil air putih. Sementara ibunya membuat minuman hangat.
"Kenapa gak bareng sama Febi?" tanya Elia.
"Dia bawa mobil sendiri," sahut Andra lalu duduk di kursi dapur dan meneguk air dari gelas.
Elia mendaratkan diri di samping putranya. "Kapan kamu mau nikahin dia?"
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.