''Mas, bau apa ini?''
''Astaghfirullah, Sayang. Mas lupa." Seorang pria berlari menuju dapur dari depan rumah. "Ayam gorengnya gosong deh. Maaf, Sayang. Tadi mas tinggal sebentar untuk terima telepon."
"Itu ayamnya semua Mas goreng?" tanya sang wanita.
"Iya, Sayang. Tadinya Mas pikir biar tinggal makan. Tapi jadinya malah gosong semua."
"Ya udah. Kita masak yang lain aja," balas wanita itu sambil membuka pintu lemari pendingin.
"Kita makan di luar aja, gimana?"
"Boleh. Mumpung belum malam banget. Ya udah, aku siap-siap dulu." Wanita itu beranjak setelah kembali menutup pintu tempat penyimpanan makanan.
Andra bangkit dari tidur. Duduk di atas ranjang sambil kembali mengingat mimpi yang baru saja ia alami. Pria yang ia lihat dalam mimpi, jelas adalah dirinya. Tetapi, siapa wanita itu?
Mencoba mengingat, tetapi wajah wanita dalam mimpi itu tampak samar. Yang ia lihat hanyalah rambut hitam lurus yang panjang terurai.
"Argh!" Pria itu mengerang kesakitan sambil memegangi kepala. Gegas membuka laci dan mengambil obat lalu meminumnya.
Mimpi burruk tentang kecelakaan seseorang kini tak lagi ia alami. Yang muncul sekarang ialah mimpi lain yang sama-sama membuat harinya terganggu.
Setelah merasa lebih baik, Andra turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.
***
Andra mengemudikan mobil tanpa tujuan yang pasti. Hanya ingin menikmati suasana kota yang baru ia tinggali beberapa minggu. Memutuskan singgah saat melewati sebuah taman kota.
Duduk di salah satu kursi, menghadap ke arah anak-anak balita yang sedang bermain. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk bulan sabit. Suka dengan anak-anak.
"Mereka lucu sekali. Beruntung orang tua yang memilih anak, bisa jadi pengobat lelah," gumamnya.
"Makanya cepat nikah, Sayang. Nanti 'kan kamu bisa punya anak sendiri," ujar sang ibu kala memergoki dirinya sedang berinteraksi dengan anak tetangga yang sedang bermain di halaman depan rumah sebelah.
"Apa sih, Ma? Ujug-ujug bahas soal nikah, kilah Andra sambil beranjak, duduk di kursi yang ada di teras rumah.
"Sama mama sendiri pakai ngeles," cibir Elia, "padahal kamu bisa loh punya anak sendiri. Calon istri pilihan kamu sendiri juga udah punya. Tinggal kamunya buletin niat."
Andra diam. Ia begitu menyukai anak-anak. Terapi anehnya, iming-iming agar cepat menikah dengan Febi dan memiliki keturunan, tak cukup untuk membuatnya segera menikahi wanita itu.
"Mama sebenarnya gak habis pikir aja, Febi itu wanita pilihan kamu loh. Bukan mama atau papa yang jodohkan kamu. Tapi kamu malah kayak ogah-ogahan gitu."
Andra lagi-lagi diam. Kepalanya menunduk sambil menatap cincin pertunangan yang melingkar di jari manis. Ibunya benar. Tapi kenapa ia masih saja ragu?
"Kalau kamu gantung terus, lama-lama Febi juga akan bosan dan akhirnya pergi loh. Mau?"
Andra masih bergeming. Ia sendiri tidak tahu apa yang dirasakan.
Tawa riang seorang anak kecil, membuat Andra tersadar dari lamunan. Kepalanya berputar ke kiri dan kanan, mencari sumber suara hingga menemukan sosok kecil yang mengundang bibirnya untuk tersenyum lebar.
"Ayo, Oma. Kita ke sana. Ata mau main perosotan di sana."
"Ata!"
Anak kecil yang menutup kepala dengan kerudung itu menoleh saat mendengar suara yang memanggil namanya. "Om Baik!'' serunya dengan senyum tak kalah lebar. "Oma Isna, lihat. Itu ada Om Baik!'' tunjuknya kemudian, bicara pada sang nenek yang menuntun tangannya.
"Ata kenal?" tanya Lisna.
Permata mengangguk. "Kenal, Oma."
Lisna menatap pria muda yang sedang berjalan menghampiri lalu menoleh ke arah Permata. Keningnya menggernyit saat menyadari sesuatu.
"Halo, Ata!'' sapa Andra.
"Halo, Om Baik," balas Permata sambil meraih tangan pria itu dan menciumi punggungnya.
Andra diam sejenak, tersentuh dengan sikap anak itu.
"Anda, siapa?" tanya Lisna. Ia harus tahu siapa orang itu.
"Saya Andra, Bu. Saya pernah bertemu Ata di taman yang ada di komplek tempat ibunya Ata," jawab Andra. Ia mengira Mita adalah ibunya Permata.
"Oh." Lisna hanya mengangguk tanda mengerti, berpikir bahwa pria itu kenalan Mita—menantunya.
"Ata mau ke mana?" tanya Andra sambil membungkuk.
"Ata mau main perosotan, Om. Di sana," tunjuk Permata.
Andra kembali menegakkan tubuh lalu menetap wanita yang masih memegang erat tangan Permata. "Jika Ibu mengizinkan, saya mau menemani Ata main," ujarnya dengan sopan.
Lisna diam. Tidak begitu saja setuju. Lagi pula ia tidak kenal pria itu.
"Ibu tidak perlu khawatir. Saya tidak punya niat jahat. Saya cuma mau menemani Ata bermain." Andra berusaha meyakinkan wanita di depannya lalu mengambil dompet. ''Ibu bisa pegang ini sebagai jaminan, handphone dan juga kunci mobil saya juga.''
Lisna menatap sekilas pada benda-benda yang ada di tangan pria muda tersebut. Menatap matanya untuk beberapa saat. Tampak tulus.
"Oma, Ata mau main sama Om Baik," rengek Permata.
Lisna menunduk, dilihatnya sang cucu yang menatap penuh harap.
"Boleh 'kan, Oma?" tanya Permata lagi sambil mengguncang tangan sang oma.
Tak kuasa menolak, Lisna akhirnya mengangguk. "Tapi jangan jauh-jauh. Oma tunggu di sini."
"Iya, Oma. Ayo, Om."
Andra tersenyum. "Terima kasih, Bu. Saya akan menjaga Ata."
Lisna hanya mengangguk. Percaya.
Sementara itu, Binar berjalan tergesa setelah turun dari mobil. "Ibu sama Ata unggu di sebelah mana, ya?!"
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.