"Bunda, kenapa Ata gak punya ayah? Ayah Ata di mana, Bunda?" tanya seorang anak perempuan berusia tiga tahun.
"Kata siapa? Ata punya ayah kok. Ayah Aga itu ayahnya Ata," sahut wanita yang merupakan ibunda dari anak bernama Permata yang biasa dipanggil Ata.
"Bukan, Bunda. Ayah Aga itu ayahnya Teteh Mira," kilah Permata.
"Iya. Tapi ayah Ata juga."
"Bukan, Bunda." Permata bersikukuh.
"Ata 'kan sekarang punya ayah, punya papa, punya bunda, punya ibu, punya mama. Semua sayang sama Ata."
"Tapi Ata mau ayah yang tidurnya di rumah Ata. Ayah Aga enggak. Ayah Aga tidur di rumah Teteh Mira."
Wanita satu anak itu menghela napas panjang sembari menatap sendu ke arah putrinya. Sudah tidak tahu lagi harus bicara seperti apa. Entah bagaimana ia harus menjelaskan.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Pintu kamar terbuka. Seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun berdiri di sana. ''Mbak Binar sama Neng Ata udah ditunggu di bawah,'' ujarnya.
Wanita cantik bernama lengkap Binar Mentari Hutama itu mengangguk. "Iya, Bi. Sebentar lagi saya turun sama Ata.''
"Baik, Mbak," angguk sang asisten rumah tangga kemudian berlalu.
"Ayo, Sayang. Nenek sama kakek udah nunggu," ajak Binar sambil mengangkat tubuh mungil anak yang sedang berbaring dengan wajah sedih.
Permata tidak menolak. Memeluk leher sang ibu yang membawanya keluar dari kamar.
"Ata!"
Gadis kecil itu hanya melirik sekilas pada orang yang memanggil namanya. Tetapi kembali menyadarkan kepala di pundak sang ibu.
"Itu ada ayah. Tadi Ata nanyain ayah 'kan?!'' ujar Binar saat melihat Argawira—kakak laki-laki satu ayah yang ternyata ada di sana.
"Itu bukan ayah Ata," sangkal Permata dengan sendu.
Orang-orang yang sedang berkumpul di meja makan itu saling menatap satu sama lain mendengar ucapan anak balita tersebut.
"Kenapa, Bi?" tanya Argawira.
Binar terkekeh. "Biasa lah, Mas. Lagi kritis. Nanti juga baik sendiri."
"Ata sama ayah, yuk!" Argawira meraih tangan keponakan.
Permata menarik tangan mungilnya, memalingkan wajah dari pria dewasa itu. awalnya ia senang karena akhirnya memiliki ayah seperti teman-temannya yang lain. Tetapi pada akhirnya sadar bahwa ayah yang ia dapatkan tidak seperti yang ia harapkan.
Ingin orang tua yang tinggal bersama, mengantar ke sekolah, menemani bermain, dan banyak lagi. Seperti anak lain seusianya.
"Kalau sama papa mau?"
Permata menoleh lalu menggeleng. ''Papa Damar bukan ayahnya Ata."
"Ini semua gara-gara Kakak," tuding Argawira pada kakak sulungnya—Damar.
"Lah kok aku sih, De?"
"Gara-gara Kakak yang semena-mena dulu ke Mbak Dania, Binar yang nanggung karmanya."
"Sudah, Mas. Gak ada yang salah. Semua memang sudah takdir," lerai Binar, "Ata udah biasa kayak gini kalau lagi sensi. Nanti juga baik lagi."
"Mau ikut ayah? Nanti main sama Teteh Mira," ujar Argawira. "Nanti kita beli coklat. Mau?"
Permata menatap sang om. "Tapi Ata mau cocat kacang."
"Iya. Insyaallah nanti kita beli," angguk Argawira kemudian mengambil anak perempuan yang tak lagi menolak. "Kamu mau balik ke kantor, Bi?"
"Iya, Mas."
"Ya sudah. Permata mas bawa aja biar dia main di rumah. Biar dia ada temennya."
Binar mengangguk. "Nanti sore aku jemput."
***
Permata berlari dengan lincah bersama Almira—sepupunya, di sebuah taman komplek. Tawanya terdengar begitu riang gembira. Ia terus berlari ke sana ke mari sembari sesekali menoleh ke belakang.
"Ata ... larinya lihat ke depan. Nanti jatuh," ujar Mita—istri Argawira sekaligus ibu Almira yang menemani dua anak perempuan itu bermain di taman dekat rumah.
Bruk!
Permata jatuh terpental ketika menabrak kaki seseorang. "Aduh. Ata jatuh." Alih-alih menangis, ia justru terkikik.
Mita yang awalnya hendak menghampiri pun, urung. Hanya duduk mengawasi dari jauh.
"Ade gak apa-apa?" Seorang pria yang kakinya ditabrak, kini berjongkok di hadapan anak itu.
Permata mengangkat kepala menatap pria di depannya. "Maaf, Om. Ata gak sengaja," ujarnya, menatap penuh rasa bersalah dan juga takut dimarahi karena ia sudah menabrak kaki orang tersebut.
Sang pria tersenyum ramah. "Enggak apa-apa, Cantik."
"Apa kaki Om sakit? Ayo, Ata ajak Om ke dokter. Papa Ata juga dokter," celoteh Permata.
Sang pria terkekeh melihat tingkah anak balita yang begitu lucu dan menggemaskan. "Kenapa pakai masker? Ata sakit?" tanyanya. Menyebut nama anak itu setelah beberapa kali mendengar.
"Kata ibu, Ata kalau mau main di luar harus pakai masker, Om. Biar Ata gak haciw-haciw," jawab Permata. Ibu adalah penggilan untuk Mita—tantenya.
"Oh."
"Om bisa tolong bukain permen Ata?" Permata menyodorkan permen lilo sussu rasa strawberry.
"Bisa dong," jawab pria itu seraya menerima permen yang disodorkan oleh anak di depan. setelah membuka bungkus ia mengembalikannya. "Ini, udah om bukain."
"Makasih, Om," ujar Permata.
"Sama-sama," sahut sang pria.
Permata menarik masker yang menutupi mulut dan hidungnya ke bawah hingga wajah cantiknya kini tampak begitu jelas.
Pria yang masih berjongkok itu menatap lekat-lekat wajah Permata. Keningnya mengernyit.
Permata mengeluarkan permen loli itu dari mulut. "Om mau?" tawarnya karena pria dewasa di depannya terus menatap. Ia berpikir pria itu menginginkan permen yang ia sedang nikmati.
"Enggak, Ata. Makasih. Om gak suka permen."
"Oh."
"Ata ke sini sama siapa?"
"Sama ibu dan Teteh. Itu di sana," tunjuk Permata.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.