"Apa putri saya mengganggu?" tanya Mita. Menghampiri saat melihat Permata menunjuk ke arahnya.
"Tidak, Bu. Sama sekali tidak," jawab sang pria dengan cepat.
"Andra! Ya ampun ... aku nyariin kamu ke mana-mana. Gak taunya di sini." Seorang wanita datang menghampiri. "Mereka ... siapa?" tangannya lagi saat menyadari keberadaan Mita dan juga Permata.
Pria bernama Andra itu bingung. Ia sendiri tidak tahu mereka siapa. Hanya tahu anak kecil itu dipanggil dengan nama Ata.
"Tadi anak saya gak sengaja nambak kaki Masnya ini." Akhirnya Mita yang menjawab rasa ingin tahu wanita itu.
"Oh. Begitu."
"Sekali lagi saya minta maaf atas nama putri saja," ujar Mita pada Andra.
"Tidak apa, Bu." Pria itu mengangguk sopan.
"Ata, ayo pulang. Kasihan Aa Satria di rumah sama ayah," ajak Mita pada keponakannya.
"Iya, Ibu," angguk Permata lalu mengalihkan tatapan pada Andra. "Om, Ata pulang dulu, ya?! Nanti kita ketemu lagi."
Andra membungkuk lalu tersenyum. "Iya, Ata. Kapan-kapan kita ketemu lagi," ujarnya sambil mencolek pucuk hidung anak perempuan itu.
"Kami permisi, Mas, Mbak," pamit Mita dengan sopan dan diangguki oleh kedua orang tersebut. "Ayo, Sayang." Menuntun tangan keponakan suaminya.
Permata menurut. Setelah beberapa langkah, ia menoleh ke belakang lalu melambaikan tangan. "Dadah, Om ...."
Andra tersenyum seraya membalas lambaian tangan mungil anak itu.
"Kamu kenal anak itu?"
"Enggak, Febi. Kamu dengar sendiri tadi ibunya ngomong apa," jawab Andra.
"Tapi kok kamu keliatan akrab banget sama anak itu?" Wanita bernama Febi tersebut masih merasa tidak puas dengan jawaban yang ia dapat.
"Lalu aku harus bersikap seperti apa pada anak kecil? Judes atau galak?" sindir Andra, suaranya mengisyaratkan rasa kesal. "Lama-lama aku capek juga sama kamu yang terlalu cemburuan."
"Wajar dong aku cemburu. Aku tunangan kamu!" balas Feni.
"Tapi dia cuma anak kecil, Febi! Harus banget kamu cemburu?" timpal Andra dengan emosi tertahan.
"Siapa tahu aja kamu kenal anaknya lama-lama deket sama ibunya." Febi tidak mau kalah.
Andra menggeleng sembari menatap tidak percaya dengan pemikiran wanita yang merupakan tunangannya itu. Berlalu kemudian untuk menghindari perdebatan panjang yang mungkin terjadi.
"Andra, tunggu!" Febi mengekor.
Andra terus melangkah menuju mobil yang terparkir di dekat taman tersebut. Abai dengan wanita yang masih terus memanggil namanya.
Ia lelah dengan sikap Febi yang seringkali cemburu buta. Tak jarang juga masalah kecil menjadi besar. Ia masih tidak merespon saat wanita itu duduk di sampingnya sambil mengomel. Memilih melajukan kendaraan meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan, Andra teringat pada anak perempuan yang wajahnya tampak tidak asing. Seperti pernah melihat, tetapi entah di mana. Mungkin hanya perasaannya. Ia saja tidak mengenal ibu dari anak itu.
***
Binar duduk di kursi kerja sambil menatap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota dari atas gedung.
"Mas Zean ... Mas di mana sekarang? Aku udah bener-bener gak tau harus cari Mas ke mana lagi. Aku lelah rasanya terombang-ambing tidak jelas seperti ini," gumamnya sembari mengehela napas panjang.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk," seru Binar seraya memutar kursi yang ia duduki.
Pintu terbuka. Seorang wanita masuk dan melangkah mendekat.
"Maaf, Bu.. Meeting akan segera dimulai," ujar wanita berpakaian sopan gitu.
"Apa orang dari perusahaan rekanan sudah datang?" tanya Binar
"Sudah, Bu. Mereka baru saja tiba dan sudah menunggu di ruang meeting," angguk wanita yang bekerja sebagai sekretaris Binar.
"Baiklah. Ayo!" Binar bangkit dari kursinya. "Oh iya, Maya, tolong diatur, ya, agar saya bisa pulang cepat hari ini."
"Baik, Bu," angguk Maya.
Kedua wanita itu berjalan bersama menuju ruang rapat yang telah dijadwalkan. Ada pertemuan penting dengan perusahaan rekanan.
"Silakan, Bu," ujar Maya, mempersilakan atasannya untuk masuk lebih dahulu ke dalam ruang rapat yang sudah dipenuhi banyak orang.
"Selamat siang!" Dengan ramah Binar menyapa.
Mereka kompak berdiri saat mendengar suara merdu itu menyapa. "Selamat siang, Bu."
"Maaf sudah membuat Anda semua menunggu. Silakan duduk."
Wanita itu bersiap untuk mendaratkan diri di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya sambil mengedarkan pandangan hingga tatapan berhenti pada sosok seorang pria.
Deg!
Jantung tiba-tiba berdetak kencang, wajah memucat. Lututnya bergetar hebat hingga kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Pun jatuh terduduk di atas lantai. Kursi yang seharusnya ia duduki tergeser menjauh.
"Astaghfirullah ... Bu Binar? Ibu tidak apa-apa?" Maya memekik saat melihat atasannya jatuh dengan wajah pucat pasi. "Minum. Tolong ambilkan air minum!''
***
"Ibu gak apa-apa?" tanya Maya dengan cemas.
Binar menggeleng. Ia dibantu Maya dan salah satu karyawan perempuan yang lain untuk bisa sampai ke ruang kerjanya.
"Lebih baik ibu pulang dan istirahat. Saya akan minta sopir untuk antar ibu," ujar Maya sambil bangkit berdiri.
"Maya!"
"Iya, Bu?" Maya kembali duduk.
"Yang tadi itu siapa?"
"Yang mana, Bu?"
"Laki-laki yang ngasih botol minum tadi ," jawab Binar.
Saat ia jatuh karena terkejut, pria itu yang paling sigap menyodorkan air minum tepat setalah Maya selesai meminta.
"Oh, itu Pak Andra, Bu. Putra dari Pak Ilyasa—pemilik perusahaan rekanan kita. Kabarnya mulai sekarang Pak Andra yang menggantikan Pak Ilyasa memimpin perusahaan," jelas Maya.
"Andra?" gumam Binar dengan kening mengernyit.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.