Senja dan Bayu saling bertatapan, kelelahan fisik terasa begitu nyata, namun rasa ngeri yang baru saja mereka alami jauh lebih mendalam, meninggalkan bekas yang dingin di hati mereka. Kemenangan mereka atas makhluk kegelapan yang mengerikan itu terasa hampa, digantikan oleh perasaan bahwa mereka baru saja menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi. Gua "Gerbang Cahaya" yang tadinya memancarkan harapan kini tampak seperti mulut jurang yang menganga, kegelapan di dalamnya terasa lebih pekat dan mengancam dari sebelumnya.
"Kita harus pergi dari sini," bisik Bayu, suaranya parau. Ia memegangi lengannya yang masih terasa nyeri akibat sambaran petir. Matanya terus memandang ke arah gua yang hancur, seolah-olah masih bisa melihat bayangan makhluk itu berkelebat di sana, menari-nari dalam kegelapan yang pekat.
Senja mengangguk, rasa dingin merayap di sekujur tubuhnya, bukan hanya karena udara pegunungan yang menusuk, tetapi juga karena firasat buruk yang semakin kuat. Ia merasakan denyut energi aneh di udara, energi yang terasa purba dan berbahaya, seperti napas dari sesuatu yang telah tertidur lama dan kini mulai terjaga, menggerakkan bayangan-bayangan di sekeliling mereka.
Mereka berdua mulai melangkah menjauhi gua, langkah mereka berat dan ragu-ragu, setiap langkah terasa seperti menginjak duri-duri ketakutan. Setiap suara gemerisik daun kering, setiap hembusan angin yang melewati pepohonan, membuat mereka menoleh dengan waspada, mata mereka memindai kegelapan di sekitar mereka. Puncak gunung yang tadinya terasa sebagai tempat perlindungan, kini terasa seperti arena yang baru saja dibuka untuk pertarungan yang lebih mengerikan, pertarungan yang mungkin akan menelan mereka berdua.
Saat mereka berjalan, Senja memperhatikan detail baru di sekitar mereka, detail yang luput dari perhatiannya saat mereka fokus pada pertempuran. Batu-batu di sekitar gua tampak lebih tua, permukaannya dipenuhi ukiran-ukiran aneh yang samar-samar terlihat dalam cahaya rembulan yang mulai muncul, seperti bisikan-bisikan kuno yang terukir dalam batu. Ukiran-ukiran itu tampak seperti simbol-simbol kuno, menggambarkan makhluk-makhluk aneh dan pertempuran yang tak pernah mereka ketahui, seperti catatan sejarah yang hilang dari peradaban yang terlupakan.
"Bayu, lihat ini," kata Senja, menunjuk ke sebuah batu besar yang permukaannya dipenuhi ukiran, jari telunjuknya gemetar saat menyentuh permukaan batu yang kasar.
Bayu mendekat, mengamati ukiran itu dengan seksama, matanya menyipit, mencoba memahami makna dari simbol-simbol yang rumit itu. "Aku pernah melihat simbol-simbol seperti ini di beberapa buku kuno yang k****a," gumamnya, suaranya pelan, seolah takut memecah keheningan malam yang mencekam. "Simbol-simbol ini... mereka terkait dengan kekuatan primordial, kekuatan yang jauh lebih tua dari sihir yang kita kenal, kekuatan yang seharusnya tidak pernah dibangkitkan."
Firasat buruk mereka semakin menguat, merayap di hati mereka seperti kabut dingin. Mereka merasa seperti telah mengusik sesuatu yang seharusnya tidak mereka ganggu, sesuatu yang kekuatannya jauh melampaui pemahaman mereka, sesuatu yang akan membawa kehancuran.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara aneh, suara yang tidak bisa mereka definisikan, suara yang terasa seperti berasal dari kedalaman bumi itu sendiri. Suara itu seperti dengungan rendah, yang semakin lama semakin keras, seolah-olah sesuatu yang sangat besar sedang bergerak di dalam gunung, sesuatu yang sedang terbangun dari tidur panjangnya.
NGUNG... NGUNG... Suara itu bergema di antara tebing-tebing, menciptakan resonansi yang aneh dan menakutkan, membuat udara di sekitar mereka bergetar. Tanah di bawah kaki mereka kembali bergetar, getarannya terasa lebih kuat dan lebih teratur dari sebelumnya, seperti detak jantung raksasa yang mulai berdetak.
"Apa itu?" tanya Senja, suaranya dipenuhi ketidakpastian, matanya memindai kegelapan di sekitar mereka, mencari sumber suara yang mengerikan itu.
Bayu menggelengkan kepalanya, matanya tertuju ke arah puncak gunung yang gelap, bayangan-bayangan hitam yang menari-nari dalam cahaya rembulan. "Aku tidak tahu," jawabnya, suaranya terdengar tegang, matanya memancarkan ketakutan yang mendalam. "Tapi kurasa, kita tidak sendiri di sini. Sesuatu yang lain ada di sini, sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya."
Mereka memutuskan untuk turun gunung secepat mungkin, meninggalkan gua yang mengerikan itu, tempat di mana mereka telah membangkitkan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi. Namun, setiap langkah terasa berat, seolah-olah gunung itu sendiri menahan mereka, tidak ingin mereka pergi, tidak ingin mereka melarikan diri dari takdir mereka.
Saat mereka berjalan menuruni lereng yang curam, suara dengungan itu semakin keras, dan kini bercampur dengan suara gemuruh yang lebih dalam, seperti guntur yang bergulir di dalam perut bumi, suara yang membuat tulang mereka bergetar.
GRUUUM... GRUUUM... Suara-suara itu datang dari berbagai arah, menciptakan simfoni kekacauan yang menakutkan, simfoni yang membuat darah mereka membeku. Mereka merasa seperti berada di tengah badai yang tak terlihat, badai yang energinya terasa sangat berbeda dari badai alam biasa, badai yang terasa seperti kekuatan purba yang sedang mengamuk.
Senja merasakan energi magis yang aneh di udara, energi yang terasa dingin dan gelap, seperti bayangan yang hidup, bayangan yang mengintai dan mengawasi mereka. Ia merasakan kehadiran yang kuat, kehadiran yang mengawasi mereka dari kegelapan, kehadiran yang seolah-olah adalah perwujudan dari kegelapan itu sendiri.
Tiba-tiba, di tengah kegelapan yang pekat, mereka melihat cahaya aneh muncul di kejauhan, cahaya yang berwarna merah darah, berdenyut-denyut seperti jantung yang sekarat, jantung yang memompa kegelapan ke seluruh dunia. Cahaya itu berasal dari arah yang berlawanan dengan desa mereka, dari kedalaman hutan yang belum pernah mereka jelajahi, hutan yang menyimpan rahasia-rahasia mengerikan.
"Apa itu?" gumam Bayu, matanya terpaku pada cahaya misterius itu, matanya memancarkan rasa ingin tahu dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.
Senja menggelengkan kepalanya, hatinya dipenuhi rasa ingin tahu dan ketakutan yang sama. "Aku tidak tahu," jawabnya, suaranya berbisik, seolah takut membangkitkan sesuatu yang tersembunyi di dalam kegelapan. "Tapi kurasa, kita harus mencari tahu. Kita harus tahu apa yang kita hadapi."
Mereka berdua memutuskan untuk mengubah arah, menuju cahaya misterius itu, mengikuti jejak kegelapan yang memanggil mereka. Mereka merasa ada sesuatu yang menarik mereka ke sana, sesuatu yang mungkin menjadi kunci dari semua misteri ini, atau mungkin hanya akan membawa mereka ke dalam bahaya yang lebih besar, bahaya yang akan menguji keberanian dan kekuatan mereka hingga batasnya.
Saat mereka mendekat, cahaya merah itu semakin kuat, menerangi pepohonan dengan warna yang mengerikan, warna darah dan kematian. Mereka mendengar suara bisikan samar, bisikan yang terasa seperti berasal dari ribuan suara yang berbeda, bercampur menjadi satu kesatuan yang aneh dan menakutkan, seperti paduan suara kegelapan yang memanggil mereka.
BISIK... BISIK... Suara itu memanggil mereka, seolah-olah memanggil jiwa mereka, menarik mereka lebih dalam ke dalam kegelapan, ke dalam jantung kegelapan itu sendiri.
Mereka tiba di sebuah tempat terbuka di tengah hutan, di mana cahaya merah itu berasal, tempat yang terasa seperti altar kuno yang dibangun untuk memuja kegelapan. Di tengah tempat itu, berdiri sebuah batu besar yang aneh, batu yang permukaannya dipenuhi ukiran-ukiran aneh dan simbol-simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, simbol-simbol yang terasa seperti kunci untuk membuka pintu ke dunia lain. Dan di atas batu itu, melayang sebuah bola cahaya merah yang berdenyut-denyut, memancarkan energi yang kuat dan jahat, energi yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri.
Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, muncul sosok-sosok bayangan, sosok-sosok yang lebih kecil namun lebih banyak jumlahnya dari penjaga kabut yang pernah mereka hadapi, sosok-sosok yang bergerak seperti bayangan, tanpa suara, tanpa jejak. Mata mereka merah menyala, seperti bara api yang membakar kegelapan, dan mereka bergerak dengan gerakan yang cepat dan berbahaya, seperti tarian kematian yang mematikan.
"GRRRR!" Raungan serentak keluar dari mulut makhluk-makhluk bayangan itu, suara yang penuh kebencian dan ancaman, menggema di hutan yang sunyi, memecah keheningan malam yang mencekam, suara yang membuat darah mereka membeku. Mereka mengepung Senja dan Bayu, membentuk lingkaran yang rapat, siap untuk menyerang dari segala arah, mengincar nyawa mereka dengan tatapan haus darah, tatapan yang penuh dengan kegelapan.
Dan di tengah kepungan yang mematikan itu, Senja merasakan sesuatu yang dingin dan keras menyentuh punggungnya, sensasi yang membuatnya menoleh dengan cepat, naluri waspadanya yang tajam langsung bereaksi, namun terlambat. Ia hanya sempat melihat bayangan hitam besar yang bergerak dengan cepat, bayangan yang memiliki mata merah menyala yang lebih besar dan lebih mengerikan dari sebelumnya, bayangan yang seolah-olah adalah perwujudan dari kegelapan itu sendiri, siap untuk menelan mereka tanpa ampun, tanpa ampun.
Dan di tengah kegelapan yang semakin pekat, suara gemuruh yang lebih keras dan lebih dekat terdengar, seolah-olah gunung itu sendiri sedang bersiap untuk melepaskan kekuatan yang tak terbayangkan, kekuatan yang akan mengubah segalanya, kekuatan yang mungkin akan mengakhiri segalanya, mengakhiri dunia yang mereka kenal.
Di tengah kepungan makhluk-makhluk bayangan yang mengerikan, di bawah tatapan mata merah yang membara, dan di hadapan bayangan hitam besar yang mengancam, Senja merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, hawa dingin yang bukan berasal dari udara malam, tetapi dari kegelapan yang merayap di dalam dirinya, kegelapan yang seolah-olah memanggil kegelapan yang lebih besar, kegelapan yang akan menelan segalanya. Dan di tengah suara gemuruh yang semakin dekat, Senja menyadari bahwa mereka tidak hanya menghadapi musuh-musuh yang terlihat, tetapi juga musuh-musuh yang tersembunyi di dalam kegelapan, musuh-musuh yang akan menguji keberanian dan kekuatan mereka hingga batasnya, musuh-musuh yang akan menentukan nasib mereka, nasib desa mereka, dan mungkin nasib seluruh dunia.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.