Dinding gua bergetar, bukan karena raungan makhluk bayangan, tetapi oleh denyutan energi gelap yang memancar dari tubuh Senja. Seperti jantung yang berdetak dalam kegelapan, kekuatan itu berdenyut liar, menggetarkan udara. Matanya memancarkan kilatan merah pekat, bukan sekadar cahaya jahat, tetapi refleksi jiwa yang terbelah—antara cahaya yang hampir padam dan kegelapan yang semakin menguasai.
Di tengah kebingungan itu, bisikan ibunya menggema di pikirannya, terdengar seperti simfoni kematian. Suara itu memanggilnya untuk menerima takdirnya—takdir yang jauh lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan.
Gua yang remuk dipenuhi debu dan batuan yang melayang seperti kabut kelam. Senja berdiri tegak, dikelilingi aura gelap yang berdenyut dari tubuhnya. Di hadapannya, Bayu terbaring lemah, tubuhnya berlumuran luka. Matanya menatap Senja, dipenuhi ketakutan sekaligus harapan yang hampir pupus.
"Senja..." bisiknya dengan suara parau, memecah keheningan yang mencekam. "Kau... kau adalah harapan terakhir kita."
Namun, Senja tidak menjawab. Energi gelap di dalam dirinya berdenyut semakin kuat, membisikkan janji kekuatan tak terbatas. Godaannya begitu nyata, begitu menggiurkan. Tapi jauh di lubuk hatinya, secercah cahaya masih berkedip lemah, mengingatkannya pada janji yang pernah ia buat.
"Kau adalah kami, Senja," suara ibunya berbisik, semakin jelas. "Terimalah takdirmu, dan kita akan menguasai dunia ini."
Mata Senja berkedip, kilatan cahaya putih muncul sekejap, pertanda peperangan yang berkecamuk di dalam dirinya. Keraguan merayap, mencengkeram hatinya. Siapa dirinya sebenarnya?
Di sampingnya, makhluk bayangan menggeram rendah. Matanya bersinar merah menyala, penuh ancaman. Ia mengulurkan tangan, cakarnya yang tajam mengiris udara, menciptakan pusaran kegelapan yang berputar liar.
"Datanglah, Senja," raungnya, suaranya menggema di lorong-lorong gua yang retak. "Bersama, kita akan menaklukkan cahaya."
Tarikan itu begitu kuat. Bukan hanya dari makhluk itu, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Bayangan gelap mulai melingkari tangannya, terasa seperti bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi.
"Tidak..." bisiknya lemah. Air mata mengalir di pipinya, membelah debu yang menempel di wajahnya. "Aku bukan bagian dari kegelapan."
Ia mengangkat tangannya, cahaya putih berdenyut samar di telapak tangannya, berusaha melawan kegelapan yang menggerogoti tubuh dan jiwanya. Peperangan itu semakin sengit—cahaya melawan kegelapan, harapan melawan keputusasaan.
"Kau salah, Senja," suara itu kembali berbisik, kali ini lebih kuat. "Kau adalah keturunan Penjaga Kabut. Penguasa kegelapan dan cahaya. Kau tidak bisa melarikan diri dari takdirmu."
Gua tiba-tiba bergetar hebat. Gemuruh dahsyat mengguncang langit-langit, membuat retakan-retakan semakin lebar. Debu dan batuan berjatuhan, menciptakan kabut pekat yang menyelimuti segalanya.
"Grrahh..." makhluk bayangan itu meraung, matanya bersinar semakin ganas. "Waktunya telah tiba."
Dari balik kegelapan, sesosok bayangan raksasa muncul. Kehadirannya begitu menekan, begitu mencekam, seolah perwujudan kegelapan itu sendiri. Ia bergerak secepat kilat, cakarnya mengiris udara, menciptakan pusaran energi hitam yang semakin membesar.
"Tidak!" seru Bayu, mencoba bangkit. Tapi tubuhnya terlalu lemah.
Senja menatap makhluk itu, ketakutan menjalari setiap pori-porinya. Ia tahu ini bukan sekadar kegelapan biasa. Ini sesuatu yang lebih tua, lebih jahat, sesuatu yang siap menelan segalanya tanpa sisa.
"In—ini bukan kegelapan biasa..." gumamnya, suaranya bergetar.
Energi gelap dalam dirinya melonjak, liar dan tak terkendali, mencoba menyeretnya semakin dalam. Bayangan yang menyelimuti tangannya semakin tebal, semakin kuat.
"Senja... lepaskan dirimu," bisik suara itu, kini terdengar seperti simfoni kematian yang mencapai puncaknya. "Terima kegelapanmu.
Di tengah gua yang remuk, diselimuti kabut kelam dan gemuruh dahsyat, Senja berdiri tegak. Cahaya merah gelap di matanya semakin bersinar, tanda bahwa pertempuran dalam dirinya mencapai puncaknya.
Di antara raungan makhluk bayangan dan bisikan yang mengganggu pikirannya, ia mendengar suara yang berbeda. Bukan suara ibunya, bukan suara kegelapan—tetapi suara dirinya sendiri.
Suara yang membisikkan satu hal.
Ia harus memilih.
Pilihan yang akan menentukan nasibnya, nasib Bayu, dan nasib dunia mereka.
***
Gua itu terus bergetar, seakan-akan hendak runtuh dalam hitungan detik. Kabut kelam bergulung-gulung, menyelimuti udara dengan energi yang begitu pekat hingga sulit bernapas. Senja berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena pertempuran sengit yang terjadi di dalam dirinya. Cahaya putih dan energi gelap bertarung memperebutkan kendali atas dirinya, membuatnya terombang-ambing di antara dua sisi yang saling bertolak belakang.
Bisikan itu datang lagi. Kali ini lebih jelas, lebih nyata. Namun, bukan lagi suara ibunya.
“Terimalah dirimu yang sebenarnya…”
Suara itu seperti gema yang menyusup langsung ke dalam pikirannya, mengguncang keyakinannya. Matanya yang bersinar merah gelap berkedip, seolah meragukan semuanya. Bayu yang terbaring di tanah menatapnya dengan sorot mata yang sarat harapan dan kepedihan.
"Senja…" Bayu berusaha berbicara meski suaranya hanya keluar sebagai bisikan serak. "Jangan biarkan mereka menang… Kau lebih dari ini."
Tapi Senja tidak menjawab. Ia merasa tubuhnya semakin berat, seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menariknya ke dalam jurang kegelapan. Bayangan hitam melingkari tangannya, semakin pekat dan semakin kuat. Dari kegelapan, makhluk bayangan itu menggeram rendah, matanya menyala seperti bara yang membakar malam.
"Datanglah, Senja," suaranya mendesak, menggema di seantero gua. "Ini adalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa kau lakukan selain menerima."
Senja mengepalkan tangannya. Sebuah percikan cahaya putih bergetar di telapak tangannya, seperti lilin yang hampir padam diterpa angin ribut. Ia tahu, jika ia membiarkan kegelapan menang, maka bukan hanya dirinya yang akan hilang—tapi juga Bayu, dan dunia yang selama ini ia perjuangkan.
Tapi bagaimana jika mereka benar? Bagaimana jika ia memang bagian dari kegelapan?
Tiba-tiba, sebuah cahaya hangat menyentuh kulitnya. Lembut, penuh kehidupan. Senja menoleh dan melihat Bayu, tangannya terangkat lemah, namun dari telapak tangannya, cahaya putih berdenyut pelan. Energi itu terasa berbeda. Bukan hanya sekadar cahaya—tapi sebuah harapan.
"Bayu… Apa yang kau lakukan?" Suara Senja nyaris tak terdengar.
"Aku… Aku meminjam kekuatanmu…" Bayu tersenyum tipis, meski napasnya tersengal. "Cahaya kita lebih kuat dari kegelapan mereka. Kita hanya harus percaya."
Senja menatapnya lama, merasakan air mata hangat mengalir di pipinya, bercampur dengan debu dan keringat. Ia menutup matanya sejenak, membiarkan dirinya merasakan kehangatan itu, membiarkan dirinya mengingat siapa dirinya sebenarnya. Bukan kegelapan, bukan kehancuran. Ia lebih dari itu.
Cahaya di telapak tangannya berdenyut lebih kuat. Energi itu terasa semakin nyata, semakin besar. Ia mengangkat tangannya, membiarkan cahaya itu menyelimuti tubuhnya, membiarkan harapan Bayu menjadi kekuatannya.
"Tidak!" Makhluk bayangan itu meraung marah, matanya menyala penuh kemarahan. Ia melesat maju, cakarnya yang tajam mengiris udara, menciptakan pusaran kegelapan yang siap menelan mereka. "Kau milik kami, Senja!"
Tapi kali ini, Senja tidak goyah. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangannya, dan cahaya putih itu meledak dari tubuhnya, mengusir kabut hitam di sekelilingnya. Pusaran kegelapan yang diciptakan makhluk bayangan pecah seketika, berubah menjadi serpihan bayangan yang berhamburan ke segala arah.
Raungan kesakitan memenuhi gua. Makhluk bayangan itu tersentak mundur, tubuhnya bergetar hebat, seolah sedang terbakar dari dalam. Bayu, meski lemah, menatapnya dengan mata berbinar penuh harapan.
"Senja… Kau berhasil…"
Namun sebelum mereka sempat bernapas lega, sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi.
Dari dalam kegelapan, muncul sesosok bayangan yang lebih besar, lebih menakutkan. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam di antara reruntuhan, tetapi keberadaannya membuat udara di sekitar mereka semakin dingin, semakin pekat.
Bayangan itu tidak berbentuk seperti makhluk yang mereka kenal. Tidak memiliki wajah, tidak memiliki mata yang bersinar seperti makhluk sebelumnya. Namun keberadaannya menimbulkan rasa takut yang jauh lebih besar.
Senja menelan ludah, tubuhnya kaku di tempat.
"Ini… Ini bukan kegelapan biasa…" gumamnya, nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Bayangan besar itu bergerak perlahan, seakan mengamati mereka. Energinya bergetar, menciptakan gelombang yang membuat tanah di bawah mereka merekah. Suara bisikan terdengar lagi, namun kali ini lebih kuat, lebih mendominasi, seolah-olah langsung berbicara ke dalam jiwa mereka.
"Kau telah memilih jalurmu, Senja. Tapi ingat… Aku selalu mengawasimu."
Diantara cahaya yang berpendar dan bayangan yang menggeliat di sekelilingnya, Senja berdiri tegak, napasnya memburu. Ia berpikir semuanya telah berakhir, tapi ternyata ini baru permulaan. Bayangan besar itu masih ada, masih mengintai, dan dari dalam kegelapan, ia mendengar sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Sebuah suara, suara yang sangat familiar. Bukan suara ibunya, bukan suara dirinya sendiri. Tapi suara seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di sana.
"Senja… Aku sudah lama menunggumu."
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.