Getaran merayap di tulang belakang, bukan sekadar gempa biasa, melainkan denyut jantung kegelapan purba yang memanggil, membisikkan takdir yang tak terhindarkan. Suara itu, bukan lagi raungan monster, melainkan gema masa lalu yang terlupakan, kebenaran mengerikan yang tersembunyi di balik bayang-bayang. Lalu, bayangan raksasa itu bergerak, bukan sebagai musuh, melainkan penuntun, membawa mereka ke tepi jurang takdir yang menganga.
Di tengah ledakan energi yang menyilaukan, cahaya Senja dan Bayu berpadu, menerangi kegelapan yang mengancam. Namun, goncangan dahsyat dari bayangan raksasa di belakang monster itu membuyarkan fokus mereka. Suara itu, bukan raungan mengerikan, melainkan bisikan familiar, menggema di telinga mereka, "Ikuti aku."
"Tidak!" seru Bayu, suaranya tercekat, matanya memancarkan ketakutan. "Kita takkan mengikut kegelapan ini!"
Senja terdiam, pandangannya terpaku pada bayangan itu. Ada tarikan kuat dalam dirinya, bukan sekadar paksaan eksternal, melainkan dorongan dari dalam, seolah kegelapan itu adalah kepingan yang hilang dari dirinya.
"Senja, jangan!" Bayu meraih tangannya, cemas. "Ini jebakan! Mereka akan menghancurkan kita!"
"Aku... aku tak tahu," gumam Senja, suaranya bergetar, matanya diliputi kebingungan. "Tapi aku merasa... kita harus melihat apa yang ada di sana."
"Apa katamu?" Bayu menatapnya tak percaya. "Kau gila? Mereka akan membunuh kita!"
"Mereka akan menunjukkan kebenaran," jawab Senja, suaranya penuh tekad, meski keraguan mencabik hatinya.
Ia melangkah maju, mengikuti bayangan raksasa itu. Bayu menatapnya dengan putus asa, tapi ia tahu, ini keputusan Senja, takdir mereka.
Lorong gua berliku dan kelam, suara gemuruh reruntuhan kian keras, seolah gua itu sendiri meratap.
"Ke mana kita pergi?" tanya Bayu, suaranya berbisik, matanya memindai kegelapan yang menyesakkan.
"Ke jantung kegelapan," jawab Senja, suaranya dingin, matanya terpaku pada bayangan itu.
Mereka tiba di ruangan besar, jurang menganga di tengahnya, kegelapan pekat terpancar dari sana, menggoda dan menakutkan.
"Ini dia," bisik Senja, suaranya tercekat. "Jurang takdir."
Bayangan raksasa melayang di atas jurang, matanya berkilat merah. "Masuklah," raungnya, suaranya menggema, "Kebenaran menanti di bawah sana."
Senja menatap jurang itu, rasa takut dan keraguan bercampur aduk dalam dirinya. Ia tahu, di bawah sana, kebenaran mengerikan akan terungkap, mengubah segalanya.
Di bibir jurang takdir, bayangan raksasa mengawasi, suara gemuruh gua mengiringi langkah ragu Senja. Di kedalaman jurang, sesuatu bergerak, sesuatu yang kelam dan besar, sesuatu yang memanggilnya. Dan di tengah kebingungan itu, bisikan familiar kembali terdengar, bukan dari bayangan, melainkan dari dalam dirinya sendiri.
“Lompatlah, Senja. Kau adalah kami.”
"Tidak," bisik Senja, suaranya bergetar, matanya terpaku pada jurang yang menganga. "Aku bukan bagian dari kalian."
“Kau salah,” desis suara itu, terdengar seperti hembusan angin dingin yang menusuk tulang. “Kau keturunan penjaga kabut, penguasa kegelapan dan cahaya. Kau tak bisa menyangkal takdirmu.”
Senja menggelengkan kepala, air mata mengalir di pipinya. Ia merasakan pertarungan sengit dalam dirinya, antara cahaya yang meredup dan kegelapan yang menguat.
“Aku takkan menyerah,” gumamnya, suaranya penuh tekad, meski hatinya diliputi keraguan. “Aku akan melawan, hingga akhir.”
Bayu, dengan sisa tenaga, merangkak mendekati Senja. Matanya memancarkan harapan yang hampir padam, tetapi juga tekad yang kuat.
“Senja, jangan dengarkan mereka,” bisiknya, suaranya parau. “Mereka coba mengendalikanmu.”
“Aku tahu,” jawab Senja, suaranya bergetar. “Tapi aku… aku harus tahu kebenaran.”
Ia melangkah maju, mendekati tepi jurang. Bayangan raksasa itu menggeram rendah, matanya bersinar semakin terang.
“Masuklah, Senja,” raungnya, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kebenaran menantimu di bawah sana.”
Senja menatap jurang itu, merasakan tarikan kuat, tarikan yang bukan hanya dari jurang itu, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Ia merasakan kegelapan merayap dalam dirinya, coba mengambil alih, mengubahnya menjadi sesuatu yang lain.
“Apa yang ada di bawah sana?” tanya Senja, suaranya berbisik, matanya memindai kedalaman jurang.
“Masa lalu,” jawab suara itu, terdengar seperti bisikan angin malam yang dingin. “Masa lalu yang akan menentukan masa depanmu.”
Senja menarik napas dalam-dalam, coba menenangkan diri. Ia tahu, jika ia masuk ke jurang itu, ia akan menghadapi kebenaran mengerikan, kebenaran yang akan mengubah segalanya.
“Baiklah,” katanya, suaranya bergetar, tetapi penuh tekad. “Aku akan masuk.”
Ia melangkah maju, melompat ke dalam jurang. Bayu berteriak, coba meraih tangannya, tetapi Senja sudah terlalu jauh.
Senja jatuh ke dalam jurang, kegelapan menelannya sepenuhnya. Ia merasakan energi gelap mengalir di sekitarnya, energi yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri.
“Senja!” teriak Bayu, suaranya menggema di jurang.
Namun, Senja tak menjawab. Ia terus jatuh, kian dalam ke dalam kegelapan. Ia melihat bayangan aneh berkelebat di sekitarnya, bayangan tentang masa lalu yang terlupakan, tentang kekuatan kegelapan yang purba.
Ia melihat dirinya sendiri, bukan sebagai Senja yang ia kenal, melainkan sosok lain, sosok kelam dan kuat, sosok yang menguasai kegelapan dan cahaya.
“Tidak…” bisik Senja, suaranya tercekat, air mata mengalir di pipinya. “Aku bukan bagian dari ini.”
Namun, kian ia menyangkal, kian kuat bayangan itu muncul. Ia merasakan kegelapan merayap dalam dirinya, coba mengambil alih, mengubahnya menjadi sosok itu.
“Kau salah, Senja,” desis suara itu, terdengar seperti tawa iblis yang dingin. “Kau adalah kami, dan kami adalah kau.”
Senja merasakan pertarungan sengit dalam dirinya, pertarungan antara cahaya yang meredup dan kegelapan yang menguat. Ia tahu, ia mesti membuat pilihan, pilihan yang akan menentukan nasibnya, nasib Bayu, dan nasib dunia mereka.
Tiba-tiba, di tengah pusaran kegelapan, cahaya kecil muncul. Cahaya itu bukan dari luar, melainkan dari dalam dirinya. Cahaya itu bergetar, seolah mencoba menembus gelap yang mengelilinginya.
“Kau bukan milik mereka, Senja,” suara lain terdengar, kali ini lembut, menenangkan, tetapi penuh kekuatan. “Kau punya pilihan.”
Senja melihat cahaya itu kian terang. Ia merasakan sesuatu yang selama ini tersembunyi—kekuatan yang lebih besar dari sekadar kegelapan atau cahaya. Kekuatan yang lahir dari keseimbangan.
Dengan gemetar, ia mengulurkan tangan ke arah cahaya itu. Saat jemarinya menyentuhnya, kehangatan menyebar di seluruh tubuhnya. Cahaya itu meluas, mengusir bayangan yang coba menguasainya.
“Tidak…!” suara kegelapan meraung, menggema di seluruh jurang. “Kau milik kami! Takdirmu telah ditentukan!”
Senja menggeleng. “Tidak. Takdirku adalah pilihanku.”
Saat itu juga, ia merasa gravitasi berubah. Ia tak lagi jatuh—ia melayang. Cahaya dalam dirinya menguat, membentuk sayap cahaya yang membawanya ke atas. Kegelapan berusaha menariknya kembali, tetapi cahaya itu terlalu kuat.
Namun, saat ia hampir mencapai permukaan, sesuatu muncul dari bawah—sesuatu yang kelam dan besar, sesuatu yang bergerak dengan kecepatan luar biasa.
Bayangan itu melesat ke arahnya, matanya merah membara. “Kau tak bisa lari dariku, Senja.”
Sebelum ia sempat bereaksi, sesuatu menggenggam pergelangan kakinya. Tarikan kuat menyeretnya kembali ke dalam jurang. Senja menjerit, cahaya di sekelilingnya bergetar. Ia melihat Bayu di atas sana, berusaha meraihnya, tetapi ia sudah terlalu jauh.
Dan dalam sekejap, kegelapan menelannya kembali.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.