Raungan itu bukan sekadar gema dalam jurang, melainkan seruan kemarahan yang membangkitkan entitas purba, kekuatan yang tertidur di kedalaman waktu. Cahaya merah yang menguar, bukan sekadar ancaman, melainkan pertanda bangkitnya murka, kekuatan yang mampu menelan dunia dalam kegelapan abadi. Di tengah getaran dahsyat, Senja dan Bayu merasakan kehadiran yang mengintai, sebuah entitas yang lebih besar dari jurang itu sendiri.
"Kalian telah membangunkan aku," raung suara itu, gema mengguncang jurang. "Dan sekarang, kalian akan merasakan murkaku."
Senja dan Bayu saling bertukar pandang, ketakutan mencengkeram hati mereka. Mereka bukan hanya menghadapi monster, melainkan sesuatu yang lebih tua, lebih kuat, sesuatu yang terikat dengan jurang itu sendiri.
"Apa itu?" bisik Bayu, matanya memindai kegelapan, mencari sumber suara itu.
"Sesuatu yang tak seharusnya bangkit," jawab Senja, suaranya bergetar, matanya terpaku pada cahaya merah yang kian terang.
Dari kedalaman jurang, muncul sosok raksasa, bayangan kelam yang menjulang tinggi, matanya berkilauan merah, memancarkan kebencian purba. Ia bukan sekadar makhluk, melainkan perwujudan kegelapan itu sendiri, penjaga jurang takdir, dan kini, ia marah.
"Kalian berani mengusik tidurku," geramnya, suaranya menggema di seluruh jurang. "Kalian akan membayar mahal atas kelancangan ini."
Sosok itu menggerakkan tangannya, pusaran energi kelam tercipta, berputar-putar di sekitarnya, siap menghancurkan segalanya. Senja dan Bayu merasakan tekanan dahsyat, seolah jurang itu sendiri mencoba menelan mereka.
"Kita tak bisa menghadapinya dengan kekuatan biasa," ucap Senja, matanya menatap Bayu, mencari solusi. "Kita harus menemukan titik lemahnya."
"Titik lemah?" tanya Bayu, matanya memindai sosok raksasa itu, mencari celah. "Tapi, dia terlihat tak terkalahkan."
"Setiap makhluk memiliki kelemahan," jawab Senja, matanya berkilat penuh tekad. "Kita hanya perlu menemukannya."
Ia memejamkan mata, mencoba merasakan energi yang mengalir di jurang itu, energi yang terhubung dengan sosok raksasa itu. Ia menemukan titik lemah, bukan di tubuhnya, melainkan di jiwanya, di masa lalunya.
"Masa lalu," bisiknya, matanya terbuka, menatap Bayu. "Kita harus menggunakan masa lalunya untuk melawannya."
"Masa lalu?" Bayu menatap Senja dengan bingung. "Bagaimana caranya?"
"Kita harus memanggil ingatan yang tersembunyi di dalam jurang ini," jelas Senja, matanya berkilat penuh tekad. "Ingatan tentang masa lalunya, tentang kelemahannya."
Ia mengulurkan tangannya, cahaya putih terpancar dari telapak tangannya, mencoba merobek tabir waktu, memanggil ingatan yang terlupakan. Bayu mengikuti jejaknya, cahaya mereka berpadu, membentuk energi yang lebih kuat.
"Ingatan jurang takdir," seru Senja, suaranya menggema di jurang. "Tunjukkan dirimu!"
Jurang itu bergetar hebat, adegan-adegan masa lalu muncul di dinding-dinding gua, memperlihatkan sosok raksasa itu di masa lalu, bukan sebagai makhluk menakutkan, melainkan sebagai jiwa yang terluka, terperangkap dalam kegelapan.
"Tidak!" raung sosok raksasa itu, matanya memancarkan kemarahan dan ketakutan. "Jangan tunjukkan masa laluku!"
Ia mencoba menghancurkan ingatan itu, tetapi cahaya Senja dan Bayu terlalu kuat. Mereka berdua terus memanggil ingatan itu, memperlihatkan kelemahan sosok raksasa itu, kelemahan yang tersembunyi di balik topeng kegelapan.
"Kau bukan kegelapan," teriak Senja, suaranya menggema di jurang. "Kau adalah jiwa yang tersesat, yang membutuhkan cahaya!"
Sosok raksasa itu terhuyung mundur, matanya memancarkan kebingungan dan kesedihan. Ia merasakan cahaya Senja dan Bayu menyentuh jiwanya, mencoba menyembuhkan luka-lukanya.
"Tidak... aku tidak bisa berubah," gumamnya, suaranya bergetar. "Aku terlalu lama terperangkap dalam kegelapan."
"Kau salah," sahut Bayu, matanya memancarkan keyakinan. "Cahaya selalu ada di dalam dirimu, kau hanya perlu menemukannya."
Senja dan Bayu melesatkan cahaya mereka ke arah sosok raksasa itu, mencoba merobek tabir kegelapan yang menyelimuti jiwanya. Cahaya mereka bersentuhan dengan kegelapan, menciptakan ledakan energi yang dahsyat.
Ledakan itu mengguncang seluruh jurang, cahaya dan kegelapan berbenturan, menciptakan pusaran energi yang mengerikan. Di tengah pusaran itu, sosok raksasa itu meraung, bukan raungan kemarahan, melainkan raungan kesakitan, raungan perubahan. Dan di tengah raungan itu, Senja dan Bayu mendengar bisikan yang samar, bisikan yang bukan berasal dari sosok raksasa itu, melainkan dari kedalaman jurang, bisikan yang mengatakan bahwa pertempuran ini belum berakhir, bahwa sesuatu yang lebih besar akan bangkit.
"Apa itu?" desis Bayu, matanya memindai pusaran energi, mencoba mencari sumber bisikan itu.
"Aku tak tahu," sahut Senja, suaranya bergetar, merasakan firasat buruk yang merayap di benaknya. "Tapi, itu terasa... mengerikan."
Pusaran energi itu kian menguat, cahaya dan kegelapan berputar-putar, menciptakan kekacauan yang dahsyat. Sosok raksasa itu terhuyung-huyung, tubuhnya bergetar hebat, seolah jiwanya sedang bertarung melawan kegelapan yang menggerogotinya.
"Tolong aku..." rintihnya, suaranya parau, matanya memancarkan keputusasaan. "Aku tak bisa mengendalikannya..."
Senja dan Bayu saling bertukar pandang, keraguan mencengkeram hati mereka. Mereka ingin membantu, tetapi mereka tahu, jika mereka mendekat, mereka akan tersedot ke dalam pusaran energi itu.
"Kita harus melakukan sesuatu," ucap Senja, matanya berkilat penuh tekad. "Kita tak bisa membiarkan dia hancur."
"Tapi, bagaimana?" tanya Bayu, matanya memindai pusaran energi, mencari celah. "Kita tak punya kekuatan yang cukup."
"Kita punya," sahut Senja, matanya menatap Bayu, dan cahaya mereka berpadu. "Kita punya cahaya dan bayangan, kekuatan keseimbangan."
Ia mengulurkan tangannya, cahaya putih dan bayangan kelam terpancar dari telapak tangannya, membentuk energi yang berbeda dari sebelumnya, energi yang lebih kuat, lebih murni.
"Kita satukan kekuatan kita," serunya, suaranya menggema di jurang. "Kita tunjukkan padanya, kekuatan keseimbangan."
Bayu mengangguk, mengulurkan tangannya, dan cahaya mereka berpadu, membentuk energi yang dahsyat, energi yang mampu menembus pusaran energi itu.
Mereka berdua melesatkan energi gabungan itu ke dalam pusaran energi, mencoba merobek kekacauan itu, mencoba mencapai jiwa sosok raksasa itu. Energi mereka bersentuhan dengan pusaran energi, menciptakan ledakan yang lebih dahsyat dari sebelumnya.
Pusaran energi itu bergetar hebat, cahaya dan kegelapan di dalamnya berbenturan, menciptakan gelombang kejut yang mengguncang jurang. Sosok raksasa itu meraung, suaranya bercampur dengan raungan kesakitan dan kebingungan.
"Apa yang kalian lakukan?" teriaknya, suaranya menggema di jurang. "Kalian menghancurkan aku!"
"Tidak," sahut Senja, suaranya menggema di jurang. "Kami membebaskanmu."
Cahaya dan bayangan mereka terus merobek pusaran energi, mencoba mencapai inti jiwa sosok raksasa itu. Mereka melihat bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di dalam pusaran energi, memperlihatkan luka-luka yang tersembunyi, trauma yang belum sembuh.
"Kau tak sendirian," ucap Bayu, suaranya menggema di jurang. "Kami di sini bersamamu."
Cahaya dan bayangan mereka bersentuhan dengan inti jiwa sosok raksasa itu, dan untuk sesaat, jurang itu hening. Kemudian, cahaya putih yang terang benderang terpancar dari dalam pusaran energi, mengusir kegelapan yang mengelilinginya.
Sosok raksasa itu terhuyung mundur, matanya memancarkan kebingungan dan kelegaan. Ia merasakan beban berat terangkat dari jiwanya, beban masa lalu yang selama ini menghantuinya.
"Terima kasih," bisiknya, suaranya parau, matanya menatap Senja dan Bayu dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Kalian telah menyelamatkan aku."
Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, jurang itu bergetar hebat, dan suara gemuruh yang dahsyat mengguncang seluruh ruangan.
"Apa lagi ini?" desis Bayu, matanya memindai kegelapan jurang.
Senja terdiam, merasakan firasat buruk yang merayap di benaknya. Ia merasakan energi gelap yang kuat, energi yang lebih kuat dari energi sosok raksasa itu, energi yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri.
Dari kedalaman jurang, muncul cahaya merah yang mengerikan, cahaya yang memancar dari mata raksasa yang tak terlihat. Dan dari dalam kegelapan itu, terdengar suara yang menggema, suara yang bukan berasal dari makhluk apa pun, melainkan dari kedalaman jurang itu sendiri.
"Kalian telah mengganggu kedamaianku," raung suara itu, suaranya mengguncang jurang, dan jurang itu mulai runtuh. "Sekarang, kalian akan merasakan murka yang sebenarnya."
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.