Harapan untuk menginjakkan kaki di luar gua remuk seketika, luluh lantak di hadapan presensi yang jauh lebih menggentarkan. Pekikan melengking induk kawanan, sebuah seruan yang menusuk gendang telinga, menjadi pertanda kedatangan sang penguasa kegelapan ini. Cahaya hijau pucat menyelimuti udara, membawa serta hawa dingin yang merambat di tulang, membekukan keberanian yang tersisa. Dalam pusaran kebingungan dan ketakutan yang mencengkeram, mata mereka bertiga terpaku pada kebangkitan kekuatan purba dari perut bumi, dari kedalaman gua yang gelap gulita. Sosok raksasa menjulang, kehadirannya mengisyaratkan ancaman yang jauh melampaui sekadar gerombolan makhluk lapar.
Mendengar pekikan memilukan itu, gerak seluruh kawanan terhenti bagai patung. Serentak, tubuh-tubuh kurus itu berputar, menghadap ke arah kegelapan pekat di ujung gua yang berlawanan dari jalur kedatangan mereka. Dan dari sana, dari dalam kelam yang mengintai, menyemburat cahaya yang aneh. Bukan pijar redup mata-mata lapar itu, melainkan kilau yang lebih terang, hijau pucat bagai kabut beracun, memancarkan aura dingin yang menusuk hingga sumsum tulang. Bersamaan dengannya, terdengar suara gemeretak yang aneh, kretek... kretek..., seolah ada bongkahan tulang dan otot yang teramat besar sedang bergerak dalam kegelapan.
Suara kretek... kretek... itu kian membahana, dan cahaya hijau pucat semakin garang, menerangi dinding-dinding gua yang dipenuhi pahatan alam yang runcing dan tajam. Perlahan, samar-samar, wujud raksasa mulai terukir dalam kegelapan. Tingginya menjulang melampaui langit-langit gua yang masih utuh, kepalanya hampir menyentuh stalaktit yang menggantung bagai gigi-gigi iblis. Tubuhnya kekar dan berotot, dibalut kulit bersisik kelam yang memantulkan cahaya hijau dengan mengerikan. Dua mata besar menyala dengan pijar hijau yang sama, menatap mereka dengan tatapan kosong namun sarat ancaman yang tak terucap.
Induk kawanan kembali melolong, kali ini pekikannya terdengar seperti ratapan ketakutan bercampur kepatuhan buta. Seluruh kawanannya merunduk serempak, tubuh-tubuh mereka menempel ke tanah, memberi jalan bagi sang raksasa untuk mendekat dengan langkah-langkah berat.
"Apa... apa itu?" bisik Bayu tercekat, cahaya sucinya bergetar lemah di telapak tangannya, tak mampu menembus aura dingin yang membentengi makhluk mengerikan itu.
Arya membeku, pedangnya terangkat setengah hati, gerakannya tertahan oleh aura menindas yang terpancar dari sang raksasa. Kekuatan yang terpancar darinya terasa berbeda, purba dan jahat dalam perpaduan yang menggetarkan jiwa.
Senja merasakan energi aneh berdenyut di udara, deg-deg, sebuah getaran yang terasa familiar namun jauh lebih kuat dan lebih gelap dari sisa-sisa Inti Kegelapan yang pernah mereka hadapi. Jantungnya berdebar kencang, duk-duk-duk, merasakan bahaya yang mengancam eksistensi mereka.
Raksasa itu melangkah maju, bruk... bruk..., tanah bergetar di bawah setiap pijakannya yang berat. Suara gemeretak tulang-tulangnya semakin jelas, kriyet... krauk..., seolah makhluk itu baru saja terbangun dari tidur abadi yang mengerikan.
"Ini... jantung kegelapan yang baru?" gumam Arya penuh kekhawatiran, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh langkah raksasa.
Raksasa itu berhenti tepat di hadapan mereka, tatapan mata hijaunya yang kosong tertuju langsung pada Senja. Ia mengulurkan tangan besarnya, jari-jarinya berakhir dengan cakar-cakar tajam yang berkilauan mematikan dalam cahaya hijau pucat.
"Pergilah," kata raksasa itu, suaranya rendah dan bergetar, grrr..., namun mengandung kekuatan yang luar biasa, mengguncang udara di sekitar mereka. "Tempat ini bukan lagi milik kalian."
"Kami tidak akan pergi," jawab Senja dengan berani, meskipun lututnya terasa lemas. Kekuatan bintang di dalam dirinya berdenyut kecil, pyar... pyar..., memberikan secercah keberanian di tengah lautan ketakutan.
Raksasa itu menggeram marah, RAUM!, aura dinginnya semakin pekat, membungkus mereka dalam kabut es yang tak kasat mata. "Kalian menentang kebangkitan kekuatan sejati."
Induk kawanan itu mengeluarkan pekikan histeris, WIIT!, dan seluruh kawanannya mulai bergerak maju, krak... krak..., mengepung mereka dari segala arah. Mereka terjebak di antara raksasa yang mengancam dan lautan makhluk lapar yang siap menerkam.
"Kita harus bertarung," kata Bayu, meskipun suaranya tercekat oleh keputusasaan.
"Tidak," sahut Arya cepat. "Kita tidak bisa mengalahkannya dengan kekuatan biasa. Kita harus mencari cara untuk melarikan diri."
Namun, jalan keluar mereka telah tertutup rapat oleh kehadiran raksasa dan gerombolan pengikutnya. Mereka terperangkap dalam lingkaran kematian.
Tiba-tiba, Senja merasakan tarikan yang kuat dari liontin bintang di dadanya. Cahayanya berdenyut semakin terang, klap... klap... klap, dan bisikan lembut kembali terdengar di telinganya, kali ini lebih jelas, lebih mendesak, bagai hembusan angin di tengah badai.
"Gunakan warisanmu. Ingatlah pengorbanan."
Senja memejamkan mata, mencoba menangkap makna bisikan itu. Warisan? Pengorbanan? Kilasan ingatan tentang ibunya, tentang kekuatan misterius yang terhubung dengan bintang-bintang, melintas di benaknya.
Ia membuka mata, tekadnya menguat bagai baja yang ditempa. Ia tidak bisa menyerah. Ia harus melindungi teman-temannya, menghormati pengorbanan ibunya dengan keberaniannya sendiri.
Senja mengangkat liontin bintangnya tinggi-tinggi. Cahayanya memancar semakin benderang, SWOOSH!, mengalahkan kilau hijau pucat yang mengerikan dari sang raksasa.
"Kami tidak akan pergi," kata Senja dengan suara lantang, penuh keyakinan yang baru ditemukan. "Kami akan menghentikanmu."
Raksasa itu menggeram marah, matanya berkilat hijau bagai bara neraka. Ia mengangkat tangannya yang besar, cakar-cakarnya siap mencabik.
Namun, sebelum cakar maut itu sempat bergerak, liontin bintang di tangan Senja memancarkan gelombang energi yang dahsyat, WHOOSH!, bukan hanya cahaya, melainkan proyeksi gambar-gambar langit malam yang luas, membentang tanpa batas, dipenuhi miliaran bintang yang berkelip-kelip bagai permata yang tersebar di beludru hitam. Dan saat gambar-gambar kosmik itu memenuhi seluruh ruang gua, suara gemuruh yang dahsyat terdengar dari atas, RUUUUUM!, bukan suara reruntuhan, melainkan suara sesuatu yang teramat besar sedang bergerak mendekat, sesuatu yang merespons panggilan bintang-bintang.
Raksasa berkulit sisik itu tertegun, mata hijaunya yang kosong memandang dengan kebingungan yang kentara pada proyeksi langit malam yang tiba-tiba memenuhi seluruh ruang gua. Induk kawanan dan anak-anaknya mendesis gelisah, SSSST!, mundur beberapa langkah dari cahaya bintang yang tak terduga itu. Aura dingin yang sebelumnya menyelimuti raksasa itu tampak sedikit meredup, seolah terpengaruh oleh pemandangan kosmik yang ajaib ini.
"Apa... apa ini sihir?" geram raksasa itu, suaranya yang dalam bergetar karena kebingungan dan ketidakpercayaan.
Arya dan Bayu terpana, mulut mereka menganga melihat pemandangan luar biasa yang diciptakan oleh liontin Senja. Mereka merasakan kehangatan dan kedamaian yang terpancar dari cahaya bintang, sebuah kontras yang mencolok dengan kengerian yang baru saja mereka alami.
"Ini bukan sihir biasa," bisik Arya, matanya terpaku pada proyeksi langit malam yang memukau. "Ini adalah kekuatan bintang, kekuatan yang sangat kuno."
"Ibu Senja pasti tahu tentang ini," sahut Bayu dengan nada suara penuh kekaguman.
Senja sendiri merasakan hubungan yang semakin kuat dengan liontin itu, berdenyut... berdenyut..., seolah ia adalah saluran bagi energi kosmik yang tak terbatas. Bisikan lembut yang ia dengar sebelumnya kini terasa lebih jelas, lebih membimbing, bagai melodi dari angkasa.
"Ingatlah rumah bintangmu. Mereka mendengar panggilanmu."
Tiba-tiba, langit-langit gua yang retak mulai memancarkan cahaya yang sama dengan liontin Senja. Retakan-retakan itu melebar dengan suara gemeretak, KRAK! KRAK!, memperlihatkan sekilas langit malam yang sebenarnya di atas mereka, dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkelip-kelip bagai mata-mata malaikat. Suara gemuruh dari atas semakin keras, DUUUUM! DUUUUM!, dan debu-debu berjatuhan seiring dengan semakin lebarnya retakan.
Raksasa itu meraung marah, GRAAAAAWR!, menyadari bahwa kekuatan baru ini mengancam kekuasaannya. Ia mengayunkan tangannya yang besar, mencoba menghancurkan proyeksi langit malam dan menyerang Senja dengan amarah yang membabi buta.
Namun, sebelum cakarnya yang mengerikan sempat menyentuh Senja, seberkas cahaya bintang yang sangat terang, ZZZWOOSH!, jatuh dari langit-langit gua yang terbuka, menghantam tangan raksasa itu dengan kekuatan yang luar biasa. Raksasa itu meraung kesakitan, ARRRGH!, menarik tangannya mundur, kulit bersisiknya tampak terbakar dan berasap oleh energi bintang yang membara.
Induk kawanan dan anak-anaknya mendesis ketakutan, HISSS! HISSS!, mundur lebih jauh dari cahaya yang menyilaukan. Mereka tampak merasakan aura kekuatan yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan dari raksasa yang selama ini mereka puja.
"Apa yang terjadi?" tanya Bayu terkejut, menatap langit-langit gua yang kini terbuka lebar, memperlihatkan hamparan bintang yang tak terhingga.
"Bintang-bintang menjawab panggilannya," jawab Arya dengan nada kagum yang bercampur keheranan. "Kita tidak sendirian."
Suara gemuruh dari atas semakin mendekat, WUUUUUM!, dan bayangan besar mulai terlihat bergerak di langit malam yang terbuka. Bayangan itu semakin lama semakin jelas, membentuk siluet makhluk yang sangat besar, jauh lebih besar dari raksasa berkulit sisik di hadapan mereka. Makhluk itu tampak terbang dengan sayap yang lebar dan berkilauan seperti taburan bintang.
Raksasa berkulit sisik itu menatap ke atas dengan ketakutan yang jelas terpancar di mata hijaunya yang kosong. Ia mundur beberapa langkah, gedebuk... gedebuk..., seolah menyadari bahwa ia bukan lagi penguasa mutlak di tempat ini.
"Tidak mungkin..." geram raksasa itu, suaranya bergetar hebat.
Makhluk bintang itu akhirnya tiba tepat di atas gua yang terbuka, cahayanya menerangi seluruh ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Wujudnya megah dan menakjubkan, tubuhnya tampak terbuat dari cahaya bintang murni, dan matanya bersinar lembut namun penuh kekuatan, bagai dua buah galaksi yang jauh. Ia mengeluarkan suara gemuruh yang lembut namun penuh otoritas, HOOOOOM, seolah menyapa Senja dengan kelembutan kosmik.
Senja merasakan hubungan yang mendalam dengan makhluk bintang itu, bergetar... beresonansi..., seolah ia adalah bagian dari dirinya yang telah lama hilang dan kini ditemukan kembali. Ia mengulurkan tangannya ke arah cahaya bintang itu, dan makhluk itu merespons dengan mendekat perlahan, auranya yang hangat dan damai perlahan menghilangkan rasa dingin yang sebelumnya menyelimuti gua.
Raksasa berkulit sisik itu meraung putus asa, ROAAAAAR!, menyadari bahwa kedatangannya telah memicu kekuatan yang jauh lebih besar, kekuatan yang bahkan ia sendiri tak mampu pahami. Ia bersiap untuk melancarkan serangan terakhir, upaya putus asa untuk mempertahankan kekuasaannya yang mulai runtuh.
Namun, sebelum raksasa itu sempat menyerang, makhluk bintang itu mengeluarkan suara gemuruh yang lebih keras, WUUUUUUUUUM!, dan dari tubuhnya memancar gelombang energi kosmik yang dahsyat, PYAAAAAR!, bukan hanya ke arah raksasa, melainkan ke seluruh gua, termasuk Senja, Bayu, dan Arya, membuat mereka merasakan kekuatan yang tak terbayangkan mengalir melalui tubuh mereka, desir... desir..., seolah mereka sedang bersatu dengan alam semesta itu sendiri.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.