Dari cerita itu, Liana mengetahui kalau Sophia seorang yang humoris. Ia bisa membayangkan kalau banyak laki-laki yang menyukai Sophia karena kecantikan, kecerdasan, dan pribadinya—mungkin Carl adalah salah satunya.
"Well, menurutku perkenalan yang cukup unik. Tapi dari mana dia tahu kalau namamu Sophia?" tanya Liana, penasaran.
"Dia membaca namaku yang tertulis pada sampul buku," jawab Sophia, tersenyum lebar.
"Apakah setelah itu kalian berpacaran?" tanya Liana lagi.
"Yeah, setelah perkenalan itu kami sering bertemu, dan menemukan banyak persamaan di antara kami. Kami sama-sama suka bergurau, gemar membaca, juga memiliki impian besar yang besar."
"Carl senang bergurau?" Liana merasa heran.
"Iya. Apakah kamu baru tahu?"
Liana menghela napas, kemudian berkata, "Yang aku tahu, ia sering berkata, 'Mau apa kamu ke sini?', 'Pulanglah, Liana!', 'Bukan urusanku, Liana.', 'Jangan ikut campur!' sangat menyebalkan!"
Sophia tertawa kecil. "Carl dulu tidak seperti itu. Ia orang yang terbuka, riang, antusias, dan optimis. Aku pikir kejadian Albert menghilang mengubahnya menjadi seperti sekarang. Mungkin itu hanya asumsiku. Karena ketika kejadian itu, aku sedang tinggal di Amerika."
“Ya kamu benar. Hanya dalam satu malam, kejadian itu membuatnya kehilangan adik, karier, dan nama baik. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang dicintai. Sejak belasan tahun, aku sudah kehilangan sosok Ibu akibat sakit. Tapi saat aku baru tinggal bersamanya, kejadian Leona ni kembali merenggutnya dariku. Menyaksikan ibuku terbaring tak berdaya, membuat hatiku perih. Apalagi aku tidak sanggup berbuat apa-apa untuk menolongnya." Suara Liana tercekat, air mata pun mengalir dari kedua sudut netranya.
Sophia dapat merasakan kegetiran Liana. "Bersabarlah, Liana," hiburnya dengan suara lirih. "Setelah aku pindah ke Rio de Janeiro, aku memiliki sahabat bernama Dolores. Ia yang menunjukkan jalan-jalan di Rio, menjadi tempatku bercerita, bahkan membantuku merawat Pasien. Suatu hari ia menghilang, lalu tiga hari berikutnya sudah ditemukan dalam keadaan berbeda …" Sophia menghentikan kalimatnya dengan suara bergetar. Liana dapat melihat Sophia menangis, melalui pantulan kaca jendela.
Selama beberapa saat keadaan hening. Namun ketika Sophia sudah dapat menguasai dirinya kembali, ia pun berkata, "Skizofrenia."
"Ya ampun."
"Ironis. Ia sering membantuku merawat pasien lain, justru akhirnya harus menderita Skizofrenia seperti mereka. Berteriak-teriak, mencoba bunuh diri, berhalusinasi melihat sesuatu yang mengerikan, mengalami ketakutan yang luar biasa."
"Karena itu kamu datang untuk menemui Carl ?"
Sophia pun mengangguk. "Mungkin, jika misteri ini terungkap, dapat ditemukan petunjuk untuk membantu Pasienku," ucap Sophia, "Dengar Liana, sudah belasan orang bunuh diri akibat Skizofrenia di sana, kalau kita bisa menyingkap tabir misteri Edinburg dan mengetahui penyebabnya, mungkin kita bisa menyelamatkan banyak orang."
Wanita cantik tersebut tampak mencerna pikirannya, sebelum akhirnya berujar, "Aku menemui jalan buntu untuk mengungkapnya. Tidak ada saksi mata, dan juga hanya sedikit sekali ulasan mengenai kejadian itu. Yang pertama adalah artikel Oregon—dan kamu tahu, ulasan itu sama sekali tidak memberikan petunjuk berarti. Berikutnya ialah video-video yang sudah kutonton berulang kali. Sayang, aku tetap tak menemukan apa-apa."
"Bisakah nanti kamu tunjukan video-video itu?" pinta Sophia, berharap menemukan petunjuk.
"Tentu. Mungkin kalau kamu akan dapat menemukannya."
"Iya, semoga Liana," ujar Sophia, seraya mengambil rokok dari dalam kantong bajunya.
"Mmm ... Sophia, maaf no smoking," tegur Liana ramah.
"Oh ya, ya tentu … maaf, aku tidak tahu."
"Tidak apa-apa Sophia. Sebentar lagi kita sampai apartemen, dan kamu bisa merokok di sana."
"Ok. Tidak masalah."
Tak lama kemudian, mobil yang mereka kendarai masuk ke dalam sebuah apartemen yang berada di ujung jalan.
Mobil Liana parkir disebuah apartemen mewah yang terletak ditengah kota London. Liana mengajak Sophia turun dan Sophia pun mematuhinya dengan menggeret kopernya. Mereka naik Lift menuju ke unit apartemen Liana. Apartemen itu mewah karena merupakan gedung baru yang canggih. Namun berbeda kesan ketika mereka masuk kedalam unit Liana. Unitnya cerah dan menyenangkan. Ruangannya sangat luas, namun terasa sangat nyaman.
“Nice apartemen!” Puji Sophia tulus.
“Thank you! Maaf kecil dan sempit,” jawab Liana sambil tersenyum.
“Ini lebih dari cukup!” ucap Sophia lagi. Liana membuka jendelanya, dan terlihatlah kota London yang dihiasi lampu yang berwarna warni dan erkelap-kelip. “BAhkan pemandangannya pun mengagumkan.” Puji Sophia lagi.
“Ini adalah spot favoritku,” Ucap Liana. “Sedih, senang, semua kulewati disini. sangat menyegarkan.” Lanjut Liana lagi. “KAu benar. Ini sangat menyenangnkan. Aku rela tinggEthan di apartemen seperti ini seumur hidupku,” Sophia menyetujui.
“Baiklah, mari kita tidur dulu. Kamu bisa beristirahat dikamar tamu yang itu. Alu dikamar sebelehnya. Besok pagi kita bicarakan ang tadi ya…” Ucap Liana.
“Yeah. Okay! Thank you Once again, for all of this.” Sophia menunjuk ruangan itu.
“Nevermind!” jawab Liana sambil masuk ke kamarnya.
Malam itu dihabiskan oleh mereka berdua di dalam kamar masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
“Pagi Liana …” sapa Sophia.
“Pagi Sophia, kamu hendak kemana hari ini?” Tanya Liana ramah.
“Aku akan kembali ke apartemenku. Kamu kemana Liana?”
“Aku akan ke apartemen Leona bersama sepupuku. Kamu mau ikut?” Tanya Liana.
“Im so sorry Liana, sepertinya aku tidak bisa. Aku ada sedikit maah dengan pacarku, jadi aku ingin menyelesaikannya. “
“Oh baiklah. Ayo kita sarapan dulu.”
Liana dan Sophia kemudian beranjak keluar dari apartemennya dan segera sibuk dengan urusan masing-masing.
Sophia kembali mendatangi Carl, ingin mencoba peruntungan. Apakah Carl akan bersedia berubah pikiran.
Stret Coffee di pinggir Kota London. tampak lengang. Hanya dua orang pengunjung yang berada di sana. Mereka baru saja duduk di bagian luar. Meskipun berada di luar, jalanan yang sepi tidak mengganggu pembicaraan mereka.
"Hazel Brown Coffee seperti biasa, Carl?" tanya seorang perempuan Pramusaji, sambil memegang buku catatan.
"Tentu, Molly."
"Kalau Anda, Miss?"
"Panggil saja Sophia ," sahut Sophia , lantas kembali berkata, "Mmm … aku pesan cokelat hangat."
"Oke, aku segera kembali." Molly berlalu meninggalkan keduanya.
"Jadi kamu sering ke tempat ini?" tanya Sophia , mengalihkan pandangan dari Molly yang sudah menjauh.
"Iya. Kopi di sini spesial. Sayangnya, lokasi tempat ini di pinggir kota."
"Bukan karena Molly yang seksi?" seloroh Sophia , membuat Carl tertawa kecil.
"Molly memang seksi, tapi aku tidak mau mengencani sepupuku," terang Ethan, "Well, bagaimana, jadi apa yang hendak kamu tanyakan lagi kepadaku. Kamu tau aku tidak punya jawabannya kan? Atau jangan-jangan kamu rindu padaku?”
Wajah Sophia terlihat merah, “Aku sudah punya pacar Carl. Jangan bermimpi.” Ketus Sophia.
“Jadi bagaimana ceritanya kehilangan Albert?” lanjutnya lagi.
“Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu lagi. Akusudah bosan!”
“kalau kamu masih ingin menanyakan itu, maka aku akan ergi saja. Carl beranjak dari kopinya dan segera keluar dari coffee shop tersebut, meninggalkan Sophia yang kebingunan tanpa sempat menghadang kepergiannya.
**
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.