Pagi hari berada di New Zealand tidak pernah Rose rasakan sebelumnya. Apalagi membayangkan bahwa dia akan pergi ke sini, dalam rangka menghindari penculikan yang nantinya akan terjadi untuknya. Tentu rasa kecewa sedikit dia rasakan, mengingat orang-orang datang ke mari untuk liburan, sementara dia sendiri berniat lari dari kejaran The Chess.
Berjalan sedikit gontai keluar kamar, Rose menjejaki ruangan tempat dia akan menetap sampai keadaan di sana benar-benar aman. Sebelum itu, Rose juga sempat melirik Liana yang terbaring pulas di atas ranjang, dengan mata masih memejam. Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi dini hari, Rose tidak tega berniat membangunkan sahabatnya itu.
Knop pintu kamar dibukanya perlahan, setelah itu dia keluar dan melangkah ke dapur untuk melihat makanan apa yang sudah tersiapkan di pagi hari begini. Rasa lapar tiba-tiba juga memenuhi rasa di perutnya, mengingat beberapa jam lalu gadis tersebut tidak makan ataupun sekadar minum.
Samar-samar Rose berjalan kecil, menuju dapur sembari melirik ke sana ke mari. Dilihatnya baik-baik setiap sudut tempat ini, dan nyatanya tidak ada seorang manusia pun yang berada di sini. Semua orang pagi ini terlihat seperti tidak ada di rumah, entah ke mana, Rose juga tidak tahu betul.
Melewati kamar di sebelahnya, yang menjadi tempat Edward dan Tuan James tidur, Rose sedikit merasa tidak enak. Hatinya menyuruh dia untuk memastikan bahwa kedua lelaki itu masih tertidur pulas, sama seperti Liana. Namun, dia berpikir kembali bahwa caranya akan terkesan tidak sopan, apa lagi itu kamar lawan jenis yang ingin dilihatnya.
Aroma masakan tercium pekat di indra penciuman Rose, dan seperti menusuk. Dari arah dapur bau ini berasal, dengan mempercepat langkahnya Rose segera berjalan ke sana. Wanita tersebut memastikan bahwa ada seseorang yang berada di dapur, mungkin saja si Ma’am, asisten Tuan James.
“Permisi, Ma’am!” sapa lembut Rose membuat lawan bicara tersentak tiba-tiba. Sebab Rose datang tanpa ada derap langkah kaki yang bisa didengar wanita paruh baya tersebut.
“Astaga, Nona membuat saya terkejut saja. Ah, sampai hampir jantungan, loh.” Tawa kecil Ma’am seperti memberi tanda bahwa wanita itu sedang bercanda saja.
“Ah, Ma’am bisa saja. Oh iya, ini lagi apa? Masak, ya? Aromanya sampai ke penciuman saya, loh,” titah ucapan Rose diikuti senyum tipis.
“Serius, Nona? Padahal hanya masakan biasa, tapi baunya ke mana-mana, ya. Bisa habis diserbu tetangga, ini.” Kembali tertawa bercanda, wanita paruh baya tersebut bersikap sangat ramah kepada lawan bicara. Bagaimana Rose tidak betah berada di sini, sebab asisten pemilik rumah saja begitu terlihat sangat baik.
“Ini namanya sayur spesial kesukaan Tuan James. Saya sengaja memasaknya, karena Tuan bilang kalian juga akan menyukai ini pastinya,” sambung wanita setengah baya itu lagi.
“Ah, yang benar saja? Saya jadi tidak sabar untuk mencobanya, loh.”
“Iya, sebentar, Nona. Satu menu lagi, kita akan makan di depan. Biasanya Tuan James selalu menyuruh kami untuk ikut bersama tamunya. Terkadang juga saya dan Pak supir merasa tidak enak, seorang asisten selalu ikut campur.” Sontak Rose terkesiap dengan ucapan yang dikatakan wanita paruh baya itu.
“Kenapa Tuan kalian seperti itu? Bukannya kebanyakan, majikan para asisten di luaran sana tidak mungkin sebaik beliau, dengan membiarkan pekerjanya ikut makan di satu meja bersamanya.”
“Ah, Nona seperti tidak tahu Tuan James saja, ya. Beliau memang begitu baik. Selain tampan dan bijaksana, Tuan James juga rendah hati. Dia tidak pernah membedakan seperti apa derajat dan jabatan orang-orang di sekitarnya.”
“Serius?”
“Iya, Nona, mana mungkin saya berbohong. Memang seperti itulah Tuan. Banyak orang-orang yang menjadi tamunya, dan menetap di sini. Tapi kebanyakan dari saudaranya sendiri. Tuan tidak mau menerima konsekuensi jika dia menampung orang-orang yang bukan ada sangkut pautnya dengan yang dia kenal, ataupun saudara. Ini bisa berdampak buruk untuk karir Tuan James sendiri,” ujar wanita itu menambahkan.
“Wah, baik sekali, ya, majikan rumah ini. Saya juga mau jadi asistennya kalau seperti itu cara beliau,” timpal Rose.
“Bukannya memang Nona Rose akan tinggal di sini? Lebih tepatnya, Nona hanya tamu di sini. Tidak perlu mengerjakan apa pun jika Nona tidak mau, karena tugas sudah saya yang handle.”
“Iya, sih, saya akan tinggal di sini sampai keadaan di tempat saya sana benar-benar aman. Jujur saya tidak enak dan merasa sedikit malu, tetapi ini demi kebaikan, dan ucapan sahabat saya ada benarnya juga.”
“Iya, Nona, sebaiknya tunggu semua benar-benar merenggang dan tidak terdesak. Bila perlu Nona tinggal di sini saja, sampai selamanya. Saya sering kali kesepian, kalau Pak supir mengantarkan Tuan ke luar kota, kadang sampai hampir satu Minggu.”
“Wah, lama sekali. Memangnya supir itu siapa? Wajahnya asing dan saya sedikit takut dengan beliau.” Rose sigap tersenyum cengengesan.
“Oh, dia suami saya, Nona. Kebetulan kami sudah lama tidak dikaruniai anak, sehingga membuat sikap suami saya kepada anak seusia kalian sedikit malu. Sebenarnya dia baik, kok, saya benar-benar mencintai dia.”
Sedikit tidak percaya dan membelalakkan mata, Rose merasa rumah ini memang menyuguhkan orang-orang yang memiliki hubungan saudara. Setelah diketahuinya bahwa Edward dan James saudara sepupu, kini pembantu di rumah Tuan James dan Pak supir ternyata juga suami istri. Ini benar-benar di luar dugaan dia sebelumnya.
“Maaf, saya bukan bermaksud membuat sakit hati, tetapi saya benar-benar tidak tahu. Maafkan saya.” Sembari melipat kedua telapak tangan menjadi tanda permintaan maaf, Rose memejamkan mata. Dia sedikit membungkuk badan di depan asisten Tuan James.
“Ah, tidak masalah, Nona. Lagi pula ini hanya masalah kecil. Bukan suatu hal yang pantas diperpanjang,” ujar sang asisten dengan nada suara benar-benar ramah dan lembut.
Mematikan kompor dan menempatkan masakannya di dalam mangkuk yang sudah dipersiapkan, asisten tersebut berjalan kecil meletakkan beberapa piring hasil masakannya di atas meja. Dia terlihat begitu bersemangat menyambut hari ini, dan terlihat bahagia ada Rose yang menemaninya sampai selesai memasak.
Memerhatikan wanita paruh baya di depannya berjalan ke sana ke mari dan berbalik arah lantas terus begitu, Rose mengerutkan dahi. Sepertinya sedari tadi, dari aktivitas dia bersama asisten Tuan James, pemilik rumah ini tidak juga keluar dari kamar. James juga berada di sana, dan sangat kebetulan mereka tidak terlihat keluar. Liana yang tadi sempat tertidur pulas pun juga tidak keluar-keluar. Rasa tidak enak tentu Rose yang merasakan, melihat wanita paruh baya itu selesai masak, tetapi tidak ada yang menyentuh masakannya untuk saat ini.
“Maaf, Tuan James ke mana, ya? Sepertinya dari tadi saya tidak melihat dia. Edward juga belum kelihatan bangun, atau memang mereka semua masih sama-sama tertidur pulas?” tanya Rose ragu-ragu pada lawan bicara di depannya. Sontak wanita setengah baya tersebut memperlihatkan senyum miring.
“Astaga, Nona. Tuan James sudah keluar sejak tadi pagi, rapi mengenakan kemeja putih dan celana hitam, malah sudah benar-benar tampan. Nona pikir beliau masih tertidur?” titah si asisten rumah tangga itu.
“Wah, saya kira beliau masih tertidur. Kebiasaan seorang majikan, kan, memang begitu. Mereka tertidur dan tidak mau tahu pekerjaan asistennya. Setibanya bangun, semua perkejaan rumah sudah beres sebelum mereka membuka kelopak matanya.”
“Tuan James memang sangat berbeda dari yang lain, Nona. Ini yang membuat saya betah bekerja walaupun di sini tidak mendapatkan gaji. Kebaikan beliau sudah sangat lebih dari sekadar uang yang diberikannya.”
Mengangguk dan menyimak semua perkataan wanita di depannya, Rose bisa menyimpulkan bahwa Edward dan Liana ternyata memang tidak membawa dia ke tempat yang salah. Bahkan di sini, Rose merasa lebih dihargai dari sebelumnya. Benar-benar seperti ratu yang tinggal memerintahkan anak buahnya.
“Nona mau makan lebih dulu? Kelihatannya Nona pasti lapar,” ungkap perkataan si pembantu membuat Rose membelalak hebat. Mengapa wanita itu bisa tahu bahwa dirinya benar-benar kelaparan.
“Se-sebenarnya saya memang lapar, tapi tidak mungkin saya makan lebih dulu dan meninggalkan sang pemilik rumah ini. Di mana letak kesopanan saya jika sampai itu terjadi. Baurlah, saya tahan dulu untuk beberapa waktu ke depan.”
“Nona yakin akan kuat? Nanti bisa sakit, loh. Buruan makan saja lebih dulu, lagi pula masakannya ada saya pisahkan, dan nantinya itu bisa untuk Tuan James. Di mana letak kesalahan yang tidak sopan?” Wanita setengah baya tersebut balik bertanya dan sontak membuat Rose harus menjawab dan beralasan apa lagi.
“Baiklah, saya akan memanggil teman-teman saya dulu. Termasuk Edward yang saya yakin masih terlelap.” Berjalan meninggalkan wanita tersebut, Rose melangkah ke arah kamar tempat Edward tertidur. Dia memutar knop pintu dan untung saja Tuan James atau Edward sendiri tidak menguncinya.
“Permisi, aku masuk, Edward!” Sembari berjalan masuk melangkahkan kaki ke dalam kamar, Rose sontak terkejut melihat nuansa dinding kamar Tuan James dipenuhi dengan foto seorang wanita yang cantik.
Sebelum benar-benar bertindak membangunkan Edward, Rose sempat memandangi foto-foto itu dengan sangat lekat. Ada raut kebahagiaan di wajah Tuan James pada foto tersebut.
Mengarahkan pandangannya ke satu foto di antara beberapa foto lainnya, Rose semakin terkejut, saat melihat ternyata Tuan James ada di sana bersama seorang wanita yang mengenakan gaun putih. Sepertinya mereka berdua tengah prewedding untuk acara pernikahan yang biasa dilakukan oleh pasangan-pasangan zaman sekarang.
“Cantik sekali, pasangan harmonis!” Rose bergeming sembari terus menatap foto itu tanpa henti. Matanya fokus pada objek di depan sana yang menempel pada dinding.
Terlamun dan seperti sedang meratapi sesuatu, tiba-tiba sentuhan keras di pundak membuat tubuh Rose tersentak hebat. Tangan siapa yang terasa meraba pundaknya.
“Astaga!” ujar Rose sangat terkejut.
Berbalik arah dan melirik siapa yang ada di belakangnya, tiba-tiba seorang gadis yang tadi masih tertidur pulas, sekarang sudah berdiri di hadapan. “Liana?” ucap Rose lemah lembut.
“Kamu sedang apa di sini? Ini kamar laki-laki, dan kamar Tuan James. Bisa habis kamu kalau ketahuan beliau,” ucap suara Liana seakan membuat lawan bicara takut.
“Kamu apa-apaan, sih, aku hanya ingin membangunkan Edward. Dari tadi tidur tidak bangun juga. Udah siang, lihat jam berapa ini!” Rose menyodorkan pergelangan tangannya yang tersemat lekat jam tangan di sana.
“Astaga, kami terlambat!” Merespons dengan gerak terkejut, Liana sontak mengarah ke ranjang dan menggoyangkan tubuh Edward. Dia berteriak di telinga pria tersebut, kemudian sembari terus menepuk lengan seseorang di depannya.
“Bangun, Edward! Kita sudah terlambat, ini. Wah, gawat!” Memegangi rambutnya dan terlihat benar-benar panik, Liana bingung harus bagaimana.
Rose yang berdiri di tempat juga menatap heran, dan merasa ada yang juga lupa di benaknya. Akan tetapi, mengenai apa dan ini soal hal apa.
“Edward, bangun! Kita sudah tertinggal pesawat, hei!” Sekali lagi berteriak cukup keras, membuat laki-laki itu langsung terbangun spontan. Edward menatap ke sana ke mari, terlihat bingung juga dengan apa yang didengarnya usai bangun dari tidur pulas.
“Pesawat? Maksudnya?” Mulai mengumpulkan nyawa sedikit demi sedikit, Edward tidak mengingat apa-apa. Pikiran itu buyar seketika.
“Kita gagal pulang ke sana, terpaksa! Aku yakin pesawat sudah berangkat sejak tadi. Ah!” Liana terdengar berdecak kesal. Dia mengacak rambutnya berulang kali.
“Eh, aku baru ingat! Iya, kita sudah tertinggal pesawat. Bagaimana ini?” Edward pun kelihatan panik.
“Terpaksa, semuanya ditunda sampai besok pagi lagi. Untuk malam nanti, kita akan beristirahat lagi di sini, bukan?” Liana mengangkat kedua alisnya.
“Iya, terima saja lah! Lagi pula ini bukan salah kita.”
“Terus, salah siapa? Hantu?!” ketus suara Liana terdengar. Dia memainkan matanya dan sedikit kesal dengan laki-laki di hadapan.
“Ini bukan kita sengaja. Mungkin Tuhan menakdirkan untuk kita kembali pulang esok hari. Tenang, James masih menampung keberadaan kita, kok.” Tersenyum miring dan seperti menganggap remeh, Edward beranjak dari ranjang kemudian berdiri, hendak melangkah keluar.
Rose dan Liana yang berdiri di tempat hanya bisa saling pandang, memerhatikan tingkah Edward dengan sikap biasa saja. Tidak ada penyesalan di benaknya, mengingat dia terbiasa berlama-lama di rumah James dengan sekadar bersenang-senang.
Berjalan satu per satu dan kumpul di meja makan, ketiga sahabat itu terlihat sudah bersiap-siap untuk makan pagi. Ditemani si asisten rumah tangga dengan Pak supir yang juga ikut bersama mereka, membuat Liana menatap sedikit heran. Pasalnya, dia tidak pernah melihat sebelum-sebelumnya bahwa ada pekerja yang ikut berkumpul di satu meja makan dengan majikannya.
“Maaf, Nona, kami memang sudah terbiasa seperti ini. Sekali lagi mohon maaf, Tuan James yang memerintahkan,” titah ucapan Pak supir terdengar takut-takut untuk mengatakannya.
Rose yang duduk di sebelah Liana sontak menyenggol lengan sahabatnya. “Eh, semua ini memang sudah menjadi kebiasaan mereka. Tuan James yang menyuruh mereka, kamu jangan terlihat heran gitu!” bisik kecil Rose di telinga Liana.
Melihat Edward yang sudah biasa dengan hal ini, Rose bisa menyimpulkan bahwa memang pria tersebut sering tinggal bersama Tuan James. Bagaimana mungkin dia tidak mengetahui segala hal yang dilakukan dan terjadi di rumah ini, kalau dia sendiri memiliki hubungan kerabat dengan sang pemilik rumah.
“Aku hanya terkejut aja dikit. Jarang-jarang asisten rumah tangga bisa sebebas ini makan bersama kita. Selebihnya, tidak masalah, sih. Aku juga paham cara menghargai semua manusia,” balas Liana dengan nada berbisik juga di telinga Rose.
“Cepat selesaikan makannya, Sa! Kita akan pergi ke Bandara, untuk berangkat hari ini.”
“Berangkat? Bukannya kita sudah ketinggalan pesawat?” Liana sigap terlihat keheranan.
“Iya, berangkat! James sudah ada di sana, menunggu kita. Keberangkatan pesawat dari New Zealand ke negara tempat kita sana, biasanya waktu siang nanti. Kamu langsung siap-siap, kita tidak mungkin gagal kembali hari ini.” Terus memasukkan sesuap makanan di dalam mulutnya, Edward sesekali menatap Liana yang ada tepat di depannya.
“Ah, mendadak. Aku kira gagal untuk perjalanan hari ini!”
Berubah ekspresi menjadi murung seketika, Rose merasa setelah ini dia akan sendiri di sini tanpa kedua sahabatnya.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.