Seorang laki-laki berbadan tegap dan atletis menaikkan kerah mantel saat melintasi jalanan bersalju. Sesekali pandangannya mencermati keadaan sekitar sambil terus berjalan. Setibanya di sebuah bangunan tua yang sudah tak layak, ia mendongak dan melihat ada yang melambaikan tangan dari pucuk bangunan. Senyumnya mengembang, kemudian ia pun berlari kecil menaiki anak tangga sampai tiba di puncak bangunan. Rasa lelahnya seketika hilang, tatkala memandang perempuan di hadapannya.
Perempuan itu berparas cantik. Rambutnya yang cokelat gelap dan berkilau dibiarkan tergerai sampai sebatas punggung. Wajahnya yang oval membingkai atribut-atribut rupawan: sepasang mata lebar berhias bulu mata lentik, hidung mancung, serta bibir yang merah merekah. Kulitnya putih dan selembut salju. Ia mengenakan mantel hitam bermodel serupa dengan laki-laki tersebut.
"Liana ...," sapanya sembari menghampiri perempuan cantik bernama Liana.
"Albert ...." Liana memeluk laki-laki itu.
Momen seperti ini selalu dinantikan mereka lantaran sangat jarang keduanya bisa bertemu. Pasangan kekasih tersebut memanglah saling menyayangi, tetapi hubungan mereka harus disembunyikan dari kedua keluarga yang merupakan saingan bisnis.
Albert Winston adalah CEO Black Diamond, yang anak perusahaan Diamond Corporation pimpinan ayahnya. Ia merupakan anak terkecil dari tiga bersaudara. Sementara itu Liana Westfallen merupakan anak tertua dari dua bersaudara yang juga kembarannya, Leona Westfallen. Ia merupakan anak pemilik perusahaan Yellow Rain.
Perseteruan dua keluarga terpandang di Britania Raya tersebut, sudah berlangsung dari masa ke masa. Mereka saling berebut lahan usaha, dan mencoba menjatuhkan saingannya dengan berbagai cara. Namun, sampai kini mereka tidak ada yang mengungguli satu sama lain, sehingga makin memperuncing permasalahan di antara mereka. Tentu sangat wajar jika setiap momen kebersamaan itu sangat berharga bagi Albert dan Liana. Sayang, sebentar lagi semuanya usai ketika dua orang berlari menaiki tangga lalu muncul di puncak bangunan.
"Albert!" Laki-laki berkumis dan berperawakan mirip Albert, baru saja muncul dari tangga. Ia bersama laki-laki lain berambut putih.
Teriakan itu serta-merta membuat Albert dan Liana menoleh. Keduanya terkejut melihat kedatangan mereka. Kekhawatiran yang selama ini membayangi, akhirnya terjadi.
"Carl ...." Mata Albert melebar, tak percaya kedua kakaknya sudah berada di sana
"Ternyata benar desas-desus yang kami dengar! Memalukan!" bentak laki-laki berkumis yang bernama Carl Winston.
Rodrick Winston, aki-laki berambut perak, menyeringai. "Kamu memang cerdik, Al. Jika aku tidak menyuruh anak buahku mengikutimu, kami tidak akan menyangka kalau kalian selalu datang ke bangunan tak terpakai ini.
Alih-alih surut, Albert justru melawan. "Apa salah kami?! Apakah salah apabila kami saling mencintai?! Kalau bukan karena persaingan bodoh dua keluar—"
"Tutup mulutmu! Sekarang ikut kami!" Pukulan Carl mendera adiknya dengan keras. Tenaga Tom memang lebih kuat, ia menyeret Albert ke arah tangga.
"Lepaskan! Lepaskaaan!" Albert mencoba berontak, tetapi pukulan bertubi-tubi mengunjam dengan keras, hingga membuatnya tak sadarkan diri.
Melihat kekasihnya berdarah-darah, Liana pun menjerit pilu. "Jangaaan! Tolong hentikan ...."
"Jangan pernah berani mendekati Albert, atau kamu akan merasakan akibatnya nanti," ancamnya kemudian berlalu bersama kedua adiknya. Rodrick Winston meludah seraya mendengkus.
Berita tentang kejadian itu akhirnya tersebar. Liana dan Albert dihukum keluarga masing-masing dan melarang mereka bertemu. Meski begitu, mereka masih diizinkan keluar dengan pengawalan ketat.
Satu bulan berselang sejak kejadian itu, kerinduan Albert pada Liana kian memuncak. Sejak perpisahan mereka, Albert merancang siasat supaya bisa menemui Liana dan mengajaknya tinggal sejauh mungkin dari kedua keluarga. Beruntung, salah satu pengawas bersedia membantunya. Mereka pun menetapkan hari ini sebagai pelaksanaan rencana.
Selepas jam kantor, Albert sengaja mengadakan rapat mendadak di kantor. Namun, sesungguhnya rapat tersebut hanya untuk mengalihkan pengawasan. Anak buahnya yang tidak tahu mengenai rencana Albert pun menunggu kedatangannya di ruang rapat, tanpa ada kejelasan kapan Albert datang. Sementara itu, dengan bantuan salah seorang pengawas, Albert berhasil terlepas dari pengawas-pengawas lainnya. Ia segera pergi ke kediaman Liana.
Setelah sampai di kediaman Liana, Albert mencoba mengelabui beberapa penjaga. Tidak mudah. Pasalnya penjagaan di sana terbilang ketat. Namun, berkat kecerdikannya, ia berhasil menyelinap lalu bergegas ke balkon kamar Liana yang berada di lantai dasar. Setibanya di sana, pandangannya menyelisik sesaat sampai terpaku pada seorang perempuan yang terlihat di balik kaca jendela.
"Itu Liana ...." Albert mengetuk jendela beberapa kali, sampai perempuan itu menghampiri.
"Albert!"
"Sssst!" Albert menempelkan telunjuk di bibirnya. "Ayo kita pergi!"
"Pergi?" tanya perempuan itu, heran.
"Iya. Dari dulu kita sering berandai-andai akan pergi jauh dari keluarga kita. Dan sekaranglah saatnya.
"Tapi, aku bu—"
"Nanti saja bicaranya. Ayo!" Albert menarik tangannya dan berlari ke balik pepohonan.
"Eh, dengarkan aku dulu. Aku bu—"
"Nanti saja."
Setiap kali mau berbicara, Albert selalu saja menyela ucapannya. Apalagi genggaman Albert yang hangat membuat lidahnya beku; seluruh tubuhnya lemas; wajahnya pun bersemu merah. Akhirnya mereka sampai di pesawat sewaan.
Saat pesawat sudah berada di udara, Albert menghempaskan tubuhnya di kursi seraya menghela napas lega. "Akhirnya kita bisa pergi ke New Zealand."
"Albert dengarkan a—"
"Kamu tahu? Aku sengaja menyewa pesawat ini, soalnya kalau menggunakan pesawat pribadi mereka lebih mudah melacak kita. Kebetulan pesat kecil ini milik sahabatku. Jadi rahasia kita pun aman," sergah Albert.
"Albert, tolong dengarkan aku kali ini sa—"
"Nanti di New Zealand, aku ingin kita memiliki keluarga kecil. Aku mau dua anak: laki-laki dan perempuan. Hmmm ..., kira-kira kita beri nama ap—"
"Albert! Aku Leona!" Perempuan itu berteriak.
"A-Apa? Kamu bercanda, kan?!"
"Aku Leona! Saudara kembar pacarmu! Dulu aku juga satu kuliah denganmu, bahkan kita pernah satu kelompok belajar! Masa kamu tidak ingat?!"
"Oh, Tuhaaaaan! Kenapa kamu baru bilang?" Albert menggeleng-geleng sambil menunduk.
"Dari tadi kamu tidak memberiku kesempatan berbicara! Padahal aku mau bilang kalau Liana sedang ke minimarket!" seru Leona, kesal.
"Ya ampun! Kenapa harus kamu?! Tomboy, pemarah, nyebelin! Aku mau Liana ...."
"Aku juga tidak sudi bersama kamu!" Leona mendengkus, kesal.
"Aku mau meminta pesawat ini memutar balik dan mengembalikanmu sekaligus mengajak kekasihku!" Baru saja beranjak, pesawat berguncang keras.
"Perhatian! Kencangkan sabuk pengaman! Pesawat dalam kondisi darurat!" Terdengar peringatan dari speaker pesawat.
"Oh, tidaaaak!"
Tiba-tiba muncul cahaya menyilaukan yang menebus kaca jendela pesawat. Tak lama kemudian cahaya itu pun lenyap, disusul guncangan keras ketika pesawat mendarat paksa. Beruntung, Leona dan Albert selamat.
"Di mana kita?" gumam Albert melihat dari jendela pesawat. Namun apa yang dilihat membuatnya terkejut. Tak jauh dari tempatnya berada, berdiri sebuah istana megah.
"Ini bukan seperti cerita dalam film, kan?"
Albert menggeleng. "Bukan. Lebih tepatnya, ini seperti cerita dalam novel ...."
Bersambung ke bab selanjutnya, ya!
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.