Edward dan Liana saling berdiam diri, melempar pandangan ke arah luar jendela pesawat. Sedangkan Rose yang duduk di sebelah Liana tidak bisa mencerna soal apa yang dilihatnya. Kepala dan tatapan gadis itu dari tadi hanya beralih tatapan ke bawah, tidak berani melihat apa yang berada di sekitarnya.
“Kamu masih takut, ya?” tanya Liana sembari menggenggam tangan Rose. “tenang aja, kamu sudah aman di tangan kami, kok. Sebentar lagi Edward akan membawamu ke rumah saudaranya di sana, aku yakin The Chess tidak akan bisa menemukan keberadaan kita lagi. Percayalah!”
“Benarkah? Terima kasih, Liana. Jujur, kalau tidak ada kalian, mungkin Queen akan menghabisi aku secara perlahan.”
“Syukurlah, berarti kamu masih dilindungi. Kami perantara untuk menyelamatkanmu.”
“Iya, aku tahu itu.”
“Sebentar. Memangnya bagaimana bisa kamu ada di genggaman The Chess? Apa yang terjadi?” Liana membenarkan posisi duduknya dan sekarang sedikit menghadap ke arah Rose.
“Entahlah! Yang jelas Queen menggunakan kemampuannya untuk melemahkan tenaga yang aku miliki. Mereka memang jahat, mereka licik!” Rose terlihat berkaca-kaca. Netranya dipenuhi bulir bening yang tertahan dan sebisa mungkin dia tahan agar tidak lirih seketika.
“Baiklah, kamu lupakan saja masalah itu. Lagi pula sekarang semuanya sudah berakhir, bisa kami pastikan The Chess, ataupun Queen tidak pernah bisa bertemu atau menemukan kamu lagi.”
Liana melirik Edward yang terduduk di kursi belakang, dilihatnya pria itu tengah memejamkan mata dengan mulut yang sedikit terbuka lebar. Sejurus kemudian Liana tersenyum tipis lantas menghela napas singkat. Yang ada di benaknya adalah sebuah perjuangan Edward dalam membantu segala kesusahan yang dirasakan Liana. Sebegitu besarnya upaya pria tersebut dalam menolong dan semaksimal serta sebisa mungkin membuat Liana aman dari orang-orang yang hendak menyakiti, terlebih The Chess.
Jika dipikir berulang kali, seharusnya Edward tidak memiliki urusan yang terlalu penting di dalam masalah hilangnya Rose. Akan tetapi, mengingat bahwa sikap saling tolong menolong dan juga bahu membahu, membuat pikiran untuk egois dan mementingkan diri sendiri terkubur dalam-dalam. Dari pada Liana harus berjuang ke sana ke mari mencari Rose, lebih baik Edward ikut menemani sembari menjaga gadis itu agar tidak kenapa-kenapa. Baginya, keselamatan Liana jauh lebih penting dari keselamatan dirinya sendiri.
‘Terima kasih, ya, Edward, kamu memang laki-laki terbaik dalam hidup aku. Aku menyayangimu, aku mencintaimu!’ batin suara Liana bersenandika. Senyum kecil mendarat di lekungan bibirnya.
Berangkat dari negara asalnya ke New Zealand, memerlukan beberapa waktu agar tiba di sana. Sepanjang perjalanan ketiga orang itu sudah melewati segala hiruk pikuk suasana langit yang begitu cerah, dan seakan mendukung perjalanan mereka agar cepat sampai ke tempat tujuan.
Akan tetapi, melirik arloji pada pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul waktu sore, ekspresi Liana berubah menjadi semringah. Ada harapan untuk segera sampai di New Zealand dan menuju ke rumah kerabat Edward, sesuai yang laki-laki itu katakan sebelumnya.
Pramugari dan beberapa pekerja di pesawat mulai memberikan alih-alih arahan bahwasanya mereka telah tiba di Bandara tujuan. Liana yang ikut andil dalam pesawat tersebut mulai membangunkan beberapa penumpang di dalamnya, terlebih Edward dan Rose yang juga sayup-sayup sudah tertidur cukup pulas.
“Edward, bangun! Kita sudah sampai,” bisiknya kecil. Setelah menyentuh lengan pria tersebut, Liana berbalik perlakuan pada gadis di sebelahnya. “Rose, bangun! Kita sudah sampai, hey!” sambungnya kemudian.
Semua orang-orangnya yang berada di dekatnya dan masih bisa dijangkau oleh gerak tangannya, terbangun serentak karena Liana membangunkannya. Rose yang merasa bingung dengan keadaan seketika mengerutkan dahi beberapa kali. “Ki-kita di mana, Liana?” tanyanya keheranan.
Edward yang sudah beranjak dari kursi penumpang menyerga di hadapan kedua wanita tersebut. “Kita sudah tiba di New Zealand, Rose! Di sini kamu akan tinggal, menetap sampai keadaan di sana benar-benar aman. Paling tidak, The Chess mulai bubar dan hancur perlahan, baru kamu bisa kembali lagi,” jelas Edward seraya menatap manik mata Rose.
“Iya, kamu jangan khawatir, karena kami juga sudah mempersiapkan tempat terkhusus untukmu meneduh. Hitung-hitung sembari bersembunyi dari kejaran mereka yang hendak menyakiti, bukan?” Liana menimpali.
“Baiklah, terima kasih. Akan tetapi, itu artinya aku harus siap-siap berpisah dengan kalian berdua, ya? Astaga, apa aku bisa?” lirihnya.
“Kamu pasti bisa, Rose! Udah, ayo, cepat turun. Semua penumpang sudah keluar. Kamu mau kembali ke rumah kita?” Edward memberi senyum bercanda kemudian langkahnya terlihat berjalan keluar lebih dulu. Liana yang berada di belakang dengan cepat menarik pergelangan tangan Rose dan membawa wanita tersebut ikut di belakang Edward.
Suasana New Zealand siang ini terlihat terik, tetapi matahari tak memberikan rasa gerah seperti di negara asal mereka sana. Penduduk pun terlihat lebih minim dan sepi, seperti benar-benar dunia hanya milik mereka berdua. Di jalanan bersih tanpa sampah satu pun, Edward berjalan memberi kompas bagi kedua wanita di belakangnya.
“Hey!” sapa Edward keras pada sosok laki-laki di depan sana.
Sedikit mempercepat langkahnya, Liana dan Rose merasa terburu sebagai pengikut di belakang.
“Untunglah, sudah sampai. Bagaimana perjalanan dari sana ke New Zealand?” tanya sosok pemuda berkulit putih dengan tinggi tubuh melebihi Edward sekalipun.
“Lancar, kok. Aman itu. Ya hanya sedikit lama saja, tetapi kalau sembari tidur, pasti perjalanan tidak terasa.” Di akhir ucapannya Edward melempar gelak tawa yang bisa didengar oleh beberapa orang sekitar. Namun, mengingat kehidupan kota, orang-orang di sana tidak terlalu ikut campur dalam gerak-gerik yang dilakukan seseorang.
“Oh iya, perkenalkan dulu ini teman aku. Yang sebelah kiri namanya Rose, dan yang kanan sendiri bernama Liana. Mereka begitu terlihat cantik, bukan?” Ledekan Edward membuat ketiganya tertawa serempak. Raut kebahagiaan begitu tergambar jelas, setibanya di New Zealand.
“Ah, kamu dari dulu hobi membuat suasana cair, ya. Ha-ha-ha!” balas tawa pemuda tersebut juga terdengar keras.
“Oh iya, saya James, saudara Edward. Kebetulan kami satu Nenek, dan dialah cucu yang tidak pernah dianggap, Ha-ha-ha!” Pemuda bernama James tersebut seakan menggoda agar Edward kesal kepadanya.
Melihat James menjabat tangan, Liana sigap membalasnya seraya ikut tersenyum tipis. “Saya Liana,” ujarnya.
“Saya Rose,” timpal gadis di sebelah Liana yang ikut mengarahkan tangannya ke arah James.
“Nona Liana dan Nona Rose, bukan? Nama yang indah, secantik kedua orangnya.” Edward sontak memukul lengan James, kemudian suasana dipenuhi tawa lagi.
“Yaudah, mari langsung saja ikut saya. Kebetulan rumah saya tidak jauh dari sini,” ujar James kemudian melangkah paling depan, memberi arah kepada tiga orang di belakangnya.
Mereka berjalan gontai, melewati jalanan dan beberapa rumah bergaya gedung yang berjajar di sepanjang jalan. Rose menatap takut setiap tempat yang dilihatnya. Terbesit cukup lebar rasa trauma saat dia berada di dalam naungan The Chess, dan kala itu Queen menyerap semua tenaganya agar tidak bisa bergerak sama sekali.
Berhenti di titik terakhir, lebih tepatnya sebuah rumah sederhana dari beberapa rumah di New Zealand, James berbalik arah. Pria tersebut tersenyum kemudian membungkukkan badan. “Selamat datang, ini rumah saya. Semoga kalian bisa memaklumi keadaan ini.”
Mengarahkan tangannya menyuruh ketiga orang di hadapan untuk masuk ke dalam, James tersenyum ramah. Pria itu memutar knop pintu yang jika dilihat secara rinci, rumah James lah yang paling sederhana di antara beberapa rumah yang ada.
Edward menarik tangan Liana dan Rose, membawa kedua wanita itu masuk dan menapak di dalam. Edward juga terlihat mengangguk, memberi anggukan kecil berulang kali ketika melihat beberapa lukisan pada dinding rumah ini memberi kesan yang membuat siapa saja terkesiap, termasuk dirinya sendiri.
“Wah, indah sekali lukisanmu. Begiru kelihatan estetik dan terkesan hidup.” Edward berbicara demikian, sementara penglihatannya tidak beralih sedikitpun dari lukisan-lukisan tersebut yang berjajar banyak memenuhi sebagian dinding pada rumah ini.
“Iya, kebetulan aku suka dengan lukisan serigala, bahkan bila ada hewannya langsung, mungkin aku akan merawat dia.” James spontan berbicara seperti itu, membuat seseorang di antara ketiganya terpukul batinnya.
“Aku juga hobi mencari informasi tentang makhluk mitologi seperti manusia serigala, Succubus, dan beberapa jelmaan lainnya. Mereka unik, dan aku percaya bahwa mereka ada di sekitar kita, berdampingan dengan hidup manusia biasa,” timpal ucapan James semakin membuat suasana panas.
Melangkah mendekat ke arah sofa yang terletak di ruang tamu, James duduk lebih dulu di sana. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi busa yang sudah memang disediakan pada rumah ini.
Liana dan Rose yang berdiri mematung sembari memerhatikan gerak-gerik Edward, perlahan ikut terduduk bersamaan. Keduanya berada pada satu sofa yang sama, dan tepat berhadapan dengan James yang berada di depannya.
“Sudah lama tidak ke mari, suasana rumah ini seperti ada yang berubah, ya. Lebih tepatnya lukisan-lukisan ini yang bahkan dulu tidak ada, sekarang berjajar banyak di sini. Keren, aku suka!” pekik Edward yang terlihat begitu takjub.
Perlahan mendekat dan berkumpul bersama ketiga orang yang sudah lebih dulu duduk di kursi busa, Edward mendudukkan tubuhnya juga di sana. Pria itu menghela napas panjang, kemudian sedikit dalam posisi setengah terbaring.
“Edward, jaga sikap! Kamu membuat malu saja, ya,” bisik suara Liana terdengar jelas di pendengaran semua orang.
“Sudah biasa, Nona Liana. Saya dan Edward memang sudah berteman sejak lama, sampai pada akhirnya kami bersahabat, dan hubungan kami sudah seperti saudara dekat.” James memangkas ucapan Liana.
“Sahabat? Bukannya memang kalian saudara?” Liana membelalakkan mata. Sejurus Edward tertawa kecil, diikuti James yang juga sama.
“Jadi, sebenarnya Edward ini hanya teman saya. Kebetulan dulu kami bertemu, dan Edward ini tidak mengingat siapa dirinya. Karena merasa kasihan, saya bawa dia ke mari, dan kami tinggal bersama dengan beberapa pekerja yang ada di sini. Lama-lama, orang-orang sering menganggap bahwa kami memiliki hubungan saudara, dan pada akhirnya semua terbiasa dengan anggapan itu,” jelas ucapan James membuat Liana mengangguk berulang kali.
“Maaf, kita beralih ke soal teman kalian saja, ya. Dengan Nona Rose, bukan?” James menarik alisnya ketika memandang wajah Rose di depannya.
“Iya, dia butuh tempat aman untuk bersembunyi. Jika tidak keberatan, kami akan menitipkan dia di sini, mungkin hanya untuk sementara waktu sampai keadaan di sana benar-benar aman.” Liana menjelaskan.
“Bisa, sangat bisa, Nona. Sebelumnya Edward juga sudah konfirmasi soal ini kepada saya melalui sambungan telepon,” jawab James setelahnya.
“Aku harap kamu bisa menjaga Rose baik-baik, karena dia adalah teman kami. Untuk ke depan, kami akan sering berkunjung ke mari untuk melihat keadaan Rose di sini.” Edward ikut menyambung.
“Baik, semua akan aman dengan saya. Saya berjanji akan menjaga Nona Rose sampai semua masalahnya selesai. Kebetulan ada beberapa asisten saya yang juga seorang perempuan, mungkin mereka bisa menjadi saudara Nona ketika berada di sini nanti.” James menatap manik mata Rose dalam-dalam, tetapi bukannya balik menatap, gadis tersebut mengalihkan penglihatannya.
“Bagaimana, kamu sudah siap tinggal di sini, bukan? Yakin dengan kami, ini semua juga untuk kebaikanmu. The Chess akan terus mencari keberadaan kamu jika terus berada di sana. Mereka akan kembali menculikmu, dan membawa pergi entah ke mana yang mereka mau. Ini membahayakan nyawamu.” Liana memegang lengan gadis di sebelahnya, kemudian penuh lemah lembut dia memeluk gadis tersebut.
“Iya, benar sekali. Kami menyangimu, Rose! Bukan karena apa pun itu, percayalah!” sambung Edward dari sisi kanan telinga Rose.
“Baik, aku siap! Terima kasih, aku juga menyayangi kalian.” Rose angkat bicara.
James yang melihat perpisahan singkat ketiga orang di depannya ikut merasa terharu. Dia memejam sejenak, kemudian napasnya diatur perlahan-lahan.
“Kalau saya boleh tahu, memang apa masalah yang terjadi? Nona Rose dalam bahaya apa?” titah pertanyaan James merenggang pelukan ketiga orang itu.
“Sebenarnya semua berawal dari The Chess, sekelompok orang-orang yang sangat membenci kami,” Edward berkata sekenanya.
“Kenapa bisa?”
“Entah, yang pasti The Chess memang berambisi untuk menghabisi nyawa Rose. Bahkan mereka memang tidak menyukai bangsa-bangsa seperti kami,” jelasnya lagi.
“Aneh, sebenci itu mereka dengan kalian?”
“Begitulah kira-kira. Maka dari itu mereka berusaha sebisa mungkin untuk menculik Rose lebih dulu, setelah itu pasti aku dan Liana yang menjadi target selanjutnya. Sebelum itu terjadi, kami menjaga-jaga. Benar, bukan?”
“Kenapa tidak kalian lawan saja? Jika terus tinggal diam dan berusaha lari dari kejaran mereka, maka rasa bangga bahwa kalian takut padanya tentu ada di pikirannya.”
“Biarkan saja, mereka akan mengira apa pun. Percuma melawan, cara The Chess cukup di luar dugaan. Mereka bisa bermain rapi saat berhadapan dengan kami.”
“Maksudnya?”
“Iya, saat penculikan itu terjadi, Queen sebagai pemimpin dari The Chess menghisap tenagaku. Aku benar-benar tidak mampu banyak bergerak. Untung saja Edward dan Liana datang tepat waktu, kalau tidak aku bisa mati di genggaman mereka semua.” Rose yang hanya terdiam seketika angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan.
Waktu beberapa waktu lagi menyudahi kunjungan mereka di rumah James. Edward dan Liana juga sudah kelihatan bergerak tidak semangat dengan perbicangan yang dibahas. Rose terus terdiam, mencoba menerima dan beradaptasi dengan lingkungan baru yang dirasakannya.
Beberapa asisten James terlihat keluar satu per satu, memperlihatkan wujudnya di hadapan Edward, Liana, dan Rose. Semuanya sangat memiliki sifat ramah dan begitu menghargai akan kehadiran mereka bertiga.
“Jangan takut, di sini Nona terjamin aman. Kebetulan saya juga jarang di rumah, karena ada beberapa tugas luar kota yang harus disiapkan. Lebih seringnya rumah ini memang untuk tempat tamu-tamu saya biasanya, termasuk Edward sendiri.”
Berbisik di telinga Liana dan Rose, Edward mengatakan beberapa hal akan dia sampaikan. “James ini bukan orang sembarangan. Dia salah satu pengusaha muda di New Zealand. Ini hanya rumah tempatnya singgah sebentar, setelah benar-benar selesai, dia akan kembali ke luar kota untuk menyelesaikan semua urusannya,” bisik perkataan Edward membuat Rose dan Liana membelalak spontan sembari menatap heran.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.