Liana melirik ke arah pria itu, kemudian tersenyum kecil. Dia mengamati wajah Jeck dengan begitu lihainya, seperti memendam perasaan iba terhadap sosok laki-laki yang berdiri di depan mereka.
“Aku mengerti perasaan kamu. Mendekat ke mari, kita bisa merasakan sama-sama apa yang tidak pernah dirasakan olehmu.”
Sesaat sudah berada di depan Jeck, gadis itu menggenggam lengan pria di depannya erat-erat. Lantas, setelah mengamati apa yang dia lihat sekarang, tiba-tiba netranya harus berhadapan dengan sepasang netra milik Jeck juga. “Apa kamu benar-benar merindukan kebersamaan seperti ini? Aku bisa membantumu sekarang,” pekiknya dalam nada yang terdengar berbisik sangat pelan.
“Ya, aku menginginkan itu. Ibu dan ayahku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku sangat terkejut melihat kebersamaan keluarga ini,” balas Jeck secara terang-terangan pada sosok wanita di depan mata.
“Lupakan saja semua ini. Aku bisa membantumu merasakan semua yang tidak pernah dirasakan. Ayo, ikut bersamaku, kita sama-sama mencari sensasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya.”
Menarik lengan Jeck usai mengatakan itu, Liana sangat berjalan cepat untuk mendekatkan diri pria di dekatnya untuk bersama-sama dengan Dad dan Mom. Lantas, ketika sudah benar-benar dirasa yakin semua ini terlihat sangat pasti, baru Liana melepaskan tangan Jeck untuk bisa bebas dari genggaman tangannya.
“Aku akan melepaskan kamu, agar bisa mengamati begitu indahnya kebersamaan keluarga. Kita bisa, hanya saja tertunda oleh beberapa waktu dan alasannya. Ayo, jangan pernah ragu untuk melakukan itu, Jeck.”
Terdiam tanpa kata, pria tersebut hanya bisa terdiam kaku. Dia melirik berbagai sudut tempat, lantas balik menatap wajah dua sosok yang ada di depan sana. Bisa juga sangat kebetulan, saat itu Gregory memperlihatkan senyum hangat yang menjadikan jiwa Jeck merasa berhadapan dengan keluarganya sendiri.
“Jangan pernah takut untuk menjadikan saya orang tuamu. Kami bisa menerima semua alasan itu, asalkan kamu baik-baik saja dan bersikap sesuai manusiawi pada umumnya.” Gregory menegaskan secara mentah-mentah. Sedangkan Jean yang tengah terbaring di tempat, hanya bisa menahan kata-katanya dan masih baru saja membuka kedua pasang mata itu.
“Tapi saya percaya, kamu adalah anak yang baik. Semua teman Liana, saya yakin adalah orang yang baik-baik.”
Tersenyum haru saat mendengar kata-kata itu dari sudut bibir Gregory, Jeck yang semula kaku ekspresi tiba-tiba merespons dengan mata memejam sejenak. Kemudian, tidak lama dari itu, bisa dipastikan bahwa sekarang wajahnya tersemat pada tatapan ke arah Gregory dan Jean secara bergantian.
“Terima kasih. Tapi ... tapi aku baru mengenal Liana beberapa waktu lalu. Dia juga terlihat masih tidak yakin dengan keberadaan aku di sini,” jelasnya kemudian.
“Tidak. Aku sangat percaya padamu, Jeck. Hanya saja, aku memang mengamati seseorang dari kejauhan. Buktinya kamu memang orang yang baik, aku sadar itu.”
Saling melempar pandang dengan Liana, Jeck fokus dan terdiam kaku. Dia beralih tatapan usai menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya beberapa waktu lalu terkesan sangat benar-benar terjadi dan seperti itu kenyataannya. Tidak ada yang bisa ditandaskan, karena tentunya apa yang sudah mereka katakan sekarang memang terjadi sejak tadi.
“Aku bisa menjadi orang yang jahat, jika berteman dengan orang-orang yang salah. Tapi di sini, aku bertemu dengan orang-orang yang jauh-jauh lebih baik dari pada sosok sahabat sejati sekali pun. Mereka adalah keluarga ini,” ujar Jeck lagi dan lagi.
“Kami hanya berbuat sesuai apa yang kami terima. Ini kewajiban, tidak mungkin terbuang begitu saja dan secara sia-sia pula.”
Mendadak hening tanpa ada perkataan yang mampu terjadi, Jeck mendekap tubuhnya. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah, berharap pelukan yang diterima sangat erat memeluknya, walaupun hanya sebuah bayang-bayang saja saat itu terjadi.
“Aku merindukan kebahagiaan, izinkan aku untuk merasakan semua ini. Terima kasih,” ungkapnya.
Tidak seperti itu kenyataannya yang diterima, tiba-tiba saja sesosok pelukan yang bisa dia rasakan berada sangat nyata depan mata. Ya, Gregory sudah mendekap erat tubuh pemuda dengan penampilan kusutnya tersebut. “Biar saya yang menjadi pengganti ayahmu. Tidak masalah, bukan?”
Terbaring tidak berdaya di atas ranjang, sebenarnya Jean juga ingin sekali melakukan itu. Akan tetapi, sudah benar-benar dalam kondisi tidak mengharuskan, membuat dirinya terpaksa menerima apa yang tidak terjadi sekarang.
“Terima kasih, Ayah!”
Detik berputar terus menerus, jarum yang melengkapi ikut bekerja sesuai apa yang sudah menjadi konsep dunia. Setelah itu, bisa dipastikan secara terang-terangan bahwa sesungguhnya semua kesedihan tersebut belum juga selesai sampai di titik sekarang.
“Kenapa?” tanya Gregory ketika menyadari bahwa Jeck sudah melepaskan pelukan yang mereka lakukan.
“Sudah cukup. Ini sangat berharga dan akan menjadi titik paling bahagia dalam hidup. Liana, aku tidak pernah berpikir bisa bertemu dan menemukan kebahagiaan di sini, bersama kamu serta keluarga kecil ini.”
Balas membalas senyum kecil, mereka semua saling merasakan kebahagiaan yang tertunda. Selain kondisi Jean yang telah dinyatakan pulih, keberadaan Jeck juga seolah membuat Liana dan kedua orang tuanya sadar, bahwa titik tersulit yang mereka alami, ada yang mengalaminya dahulu, bahkan lebih parah pula.
Segala pembicaraan berakhir sampai di sana. Sekarang Jean yang menjadi topik pembicaraan karena mengingat kondisi dia yang telah benar-benar tak menentu seperti sekarang ini. “Mom,” panggil Liana dan langsung mendekat balik ke arah sana.
*
Dua jam berlalu sejak kejadian tadi. Tangisan yang sempat tertuang antara mereka semua sudah berubah menjadi candaan dan sesi obrolan yang terjadi sangat jelas.
“Untung saja Mom cepat sadarkan diri, tidak selama yang menjadi perkiraan dokter.” Liana angkat bicara di tengah-tengah posisi Jeck, Dad dan Mom yang seperti melingkari tempat.
“Iya, syukurlah. Itu artinya, Mom memang ditakdirkan untuk melihat wajahmu, Sayang.” Jean menjawab walaupun kata-katanya tertahan oleh suara terputus-putus.
“Liana bahagia banget, Mom. Sekarang Liana bisa melihat keluarga yang utuh lagi, bercanda bareng, makan bareng. Ini sudah beberapa waktu tidak kita rasakan, bukan?”
Tersenyum melihat wajah polos Liana sekaligus mendengar segala pembicaraan yang diucapkan oleh wanita itu, Gregory bersama kedua sang pendengar ikut berkaca-kaca netranya. Mereka tersenyum tipis, lantas menahan agar setetes bulir bening yang terjatuh tak sampai terjadi.
“Mom sudah sadarkan diri. Itu artinya, Liana dilarang bersedih lagi. Iya bukan?”
Menghapus air mata terharu yang sempat mengotori matanya, Liana bergerak untuk bangun. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap sang ayah bersamaan dengan pandangan ke arah Jeck selepas itu. “Liana tidak menangis. Lihat, Liana kuat!”
Saling berhadapan, mereka semua diselimuti oleh kesedihan yang tertahan cukup besar. Tidak ada lagi aksi untuk menetaskan air mata yang terjadi antara mereka semua, mengingat ini adalah segala bentuk dari jawaban dan harapan yang sudah direncanakan sejak awal.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.