Malam ini, berhubung tidak mungkin Edward dan Liana langsung kembali ke negaranya, maka mereka harus bermalam terlebih dahulu di rumah James. Sudah biasa keberadan Edward di sini hanya untuk sekadar liburan ataupun bersenang-senang. James bersikap biasa saja, dan tidak mempermasalahkan soal ini.
“Kalian mau langsung pulang terus ke sana?” tanya James sembari mengangkat kedua alisnya. Pria itu menatap serius wajah Edward yang terduduk di hadapan.
“Eh, tidak mungkin lah! Kemungkinan malam ini kami akan tidur di sini dulu, dan menghabiskan waktu sampai besok sore. Untuk kembali ke negara kami, kemungkinan kami mau ambil tiket penerbangan malam, jadi tidak terasa terlalu lama di dalam pesawat. Beneran pusing!” ujar Edward kepada semua orang yang ada di tempat, sembari menatap wajah ketiganya secara bergantian.
“Oke, tidak masalah. Nona Rose tidur di kamar depan bersama Nona Liana. Saya dan Edward biar tidur di kamar sebelahnya,” ucap James kemudian.
Mengangguk mengiyakan, Liana dan Rose segera membawa peralatannya ke dalam kamar depan, sesuai yang dikatakan James baru saja. Kedua wanita itu melangkah kecil, sedikit gontai dan memutar knop pintu yang berada di depannya.
“Tuan James!” panggil Liana ketika tubuhnya sudah tiba di depan benda berbahan dasar kayu tersebut. Dia berbalik arah kemudian menatap sang pemilik rumah dengan ekspresi serius.
“Iya, Nona, ada apa? Ada yang salah, atau bisa saya bantu?” James beranjak dari duduknya dan menatap ke arah wanita tersebut.
“Bukan, Tuan. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak, sudah sangat berbaik hati untuk menolong sahabat kami. Jarang-jarang ada manusia seperti Tuan yang begitu berjasa,” jelas Liana kemudian diikuti Rose yang menatap gadis itu pelan-pelan.
“Ah, biasa saja, Nona. Saya memang tidak pernah memandang siapapun jika ingin menolong. Bukannya manusia memang seperti itu?” James tersenyum hangat, memperlihatkan senyum hangatnya yang begitu lekat di wajah.
“Baik, Tuan, terima kasih. Edward, jangan lupa istirahat, aku dan Rose istirahat lebih dulu.” Beralih kepada wajah laki-laki di sebelah James, Liana tersenyum tipis. Lekungan tawanya seperti malu-malu saat berbicara pada laki-laki di depan sana.
“Terima kasih, Sa, kamu tenang saja. Aku laki, aku gampang!”
Perbincangan usai antara keempatnya. Dua orang wanita di antara mereka sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sore ini. Melalui beberapa jam sampai tiba di sini, tentu rasa lelah bisa dirasakan mereka. Apalagi perjalanan ke New Zealand memang bisa dikatakan sangat memakan waktu yang panjang, menyebabkan daya tahan fisik langsung terasa sakit.
Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, Liana terlihat benar-benar menikmati nuansa kamar ini perlahan-lahan. Gadis tersebut memejamkan mata dan sayup-sayup hampir saja tertidur dan larut dalam rasa kantuknya. Namun, kedua kelopak mata itu tiba-tiba terbelalak, saat mengingat dia tidak sendiri di sini. Ada Rose yang kebetulan lebih butuh banyak waktu untuk dijaga, berselang waktu perpisahannya dengan sahabatnya.
“Astaga. Maaf, ya, aku hampir saja ketiduran.” Liana beranjak dari ranjang dan dalam kondisi terduduk. Wanita itu menyibakkan rambutnya kemudian kembali menatap lawan bicara dengan lekat.
“Iya tidak apa-apa, Liana. Kamu memang seharusnya istirahat, karena banyak sekali aktivitas yang kamu lakukan hanya untuk aku, termasuk Edward juga yang ikut berjuang.”
“Bukan seperti itu, Rose! Kami tidak pernah mengarahkan pikiran ke sana. Lagi pula kami ikhlas dan tulus, karena kamu itu sahabat kami. Bagaimana mungkin seorang sahabat bisa membiarkan temannya dalam kesusahan?” Memegang lengan Rose, Liana tersenyum kecil. Wajahnya beradu tatapan dengan gadis di hadapan.
“Makasih, ya, Liana. Mungkin aku akan mati hari itu, di tangan Penculik sendiri. Mereka memang jahat, kejam!” Rose hampir saja kembali menangis, tetapi dengan cepat Liana memegang kedua lengan sahabatnya itu sembari mengarahkan pandangan Rose menatap matanya dalam-dalam.
“Rose, berhenti! Jangan menangis, karena kamu masih punya semangat hidup dan hari-hari yang lebih indah! Ingat, ada Edward dan aku yang sepenuhnya melindungi keberadan kamu dari orang-orang yang ingin berbuat jahat, termasuk Penculik sendiri, dan Queen sebagai pemimpinnya.”
“Tapi aku takut, Liana, aku tidak bisa secepat itu untuk melupakan semuanya.”
“Kita sudah aman, Rose! Di rumah James ini keberadaanmu akan baik-baik saja dan terjaga, tanpa ada siapapun yang tahu. Penculik tidak mungkin bisa dan tahu kalau kamu di sini, jadi santai saja, semua sudah diatur oleh kita sendiri. Kami punya cara yang lebih cerdas untuk menjebak Queen dan teman-temannya.”
“Aku tidak yakin sepenuhnya, Liana. Penculik banyak memiliki cara yang bisa membuat siapa saja tertipu dan tidak sadar. Buktinya saja, aku bisa berada pada genggamannya selama beberapa hari ke depan. Padahal sudah jelas-jelas, mereka menculik aku, dengan cara yang sangat rapi. Aku sendiri tidak sadar.”
“Benarkah? Aku dan Edward juga heran, kenapa kamu bisa berada di genggaman mereka. Jelas-jelas seorang Rose sangat paham terhadap gerak-gerik kejahatan musuhnya.”
“Entahlah, Liana, semua terjadi begitu saja. Penculik memang sangat tidak menyukai aku, dengan alasan yang tidak aku tahu. Sepengetahuan aku, seperti bangsa-bangsa kami tidak pernah menyakiti atau memiliki masalah dengan mereka. Akan tetapi, amarah mereka seperti terselubung dalam garis dendam!” Rose sekuat mungkin menahan agar air matanya tidak lolos begitu saja dari netra. Di satu sisi, Liana juga melarang bahwa gadis tersebut menangis hanya karena masalah tersebut.
“Aku juga heran kenapa mereka tidak menyukaimu, Rose! Atau jangan-jangan karena kamu termasuk berbeda bangsa dengannya? Bisa jadi, bukan?” Liana membelalak mata ke arah lawan bicara. Sigap Rose menggeleng kecil.
“Aku juga berpikir ke sana, Liana. Apa mungkin ini ada kaitannya dengan bangsa yang kumiliki? Tetapi apa pengaruhnya? Kami tidak pernah menganggu mereka-mereka!”
Berpikir keras satu sama lain dan saling menggeleng tidak yakin, kedua gadis itu hanya bisa menatap heran ke sembarang arah. Yang terbesit dalam pikiran mereka tidak memiliki tanda-tanda jawaban dari pertanyaannya. Jika dilihat baik-baik, Penculik memang hanya membenci Rose, tetapi tidak dengan Liana dan Edward yang sudah jelas-jelas teman Rose sendiri.
“Yaudah, jangan terus berpikir ke sana, ya. Kamu intinya sudah baik-baik saja, dan jauh dari mereka. Kita di New Zealand, sangat terpaut jarak yang jauh dengan mereka di sana. Tidak perlu khawatir, karena ini benar-benar tempat yang sangat aman untukmu.”
“Iya, Liana, aku akan mencoba melawan rasa ini. Sampaikan terima kasih ini kepada Edward dan Tuan James. Kalian semua berjasa dalam keselamatan aku,” titah ucapan Rose membuat Liana tersenyum hangat. Kedua gadis itu saling beradu tatapan, kemudian berpelukan satu sama lain.
“Sebentar!” ujar Liana sembari melepaskan pelukan Rose. Gadis itu merubah raut wajahnya menjadi seperti bertanya-tanya.
“Kenapa?” Rose menatap heran kepadanya.
“Cara Penculik menculikmu saat itu bagaimana? Terkadang aku dan Edward bertanda tanya, seorang Rose bisa jatuh di tangan Queen. Seorang penjahat terbesar di sekeliling kita,” tegas Liana dan menatap ke luar jendela kaca yang menjadi bagian dari rumah ini.
“Ceritanya panjang, tetapi aku akan tetap ceritakan sekarang. Ini antara nyambung atau tidak, dan mungkin kamu tidak percaya dengan ucapanku.” Rose menundukkan kepala, melirik jari jemarinya yang dia rapatkan di atas lipatan kaki.
*
Siang itu, Rose sempat kebingungan mencari keberadaan Liana dan Edward yang seperti tidak ada di rumah. Kedua sahabatnya itu entah sedang di mana atau bahkan pergi ke mana. Rose benar-benar berjalan ke sana ke mari, demi mencari keberadaan kedua sahabatnya.
Mengunjungi beberapa tempat yang biasa digunakan untuk mereka menikmati nuansa alam dan memang menjadi tempat kebiasaan, Rose juga berjalan ke sana. Harapannya, Liana ataupun Edward berada di sana, walau hanya sekadar menikmati hal yang terlihat sepele.
“Pasti mereka di sana, di Taman yang biasa kami datangi. Liana tidak akan pergi ke mana-mana selain berada di sana untuk sekadar menikmati nuansa sekelilingnya,” ucap kecil Rose sembari terus berjalan menapak dan berusaha tiba di tempat tujuan.
Berniat untuk membuat sahabatnya itu terkejut, tetapi ternyata Liana dan Edward tidak ada di sana. Mereka entah ke mana di siang-siang seperti ini, dan sangat jarang-jarang Rose tertinggal dan tidak diajak.
Berjalan lagi ke sana ke mari menyusuri Taman ini, Rose terus memandang segala arah, berharap bahwa ada Liana atau Edward yang berdiri di sudut tempat. Bukan tidak mungkin, kedua sahabatnya itu berpindah tempat, mengarungi sudut yang lebih terlihat lebih dari tempat biasa dijejaki.
“Liana ... Edward ...,” teriak keras Rose menggema seisi Taman, sebab siang ini biasanya memang tidak ada pengunjung yang datang. Jika malam tiba, atau sore menjelang malam, semua orang silih berdatangan untuk hanya menikmati beberapa tempat yang menghasilkan nuansa suasana alam yang begitu melekat di jiwa masing-masing.
Berputus asa dan merasa bahwa Liana bersama Edward telah meninggalkannya dan pergi tanpa ada keberadannya, Rose menangis tersedu-sedu. Taman itu menjadi saksi bahwa tangisnya pecah seketika.
“Kalian jahat, kalian tega meninggalkan aku dan pergi berdua? Tidak menyangka ternyata Liana bukan sebaik yang aku pikirkan,” titah suara Rose hanya bisa terdengar di ambang pendengarannya sendiri. Gadis itu meratapi kesedihan yang belum usai dalam waktu secepat mungkin.
Berjalan sedikit gontai dan seakan tertatih-tatih, Rose terus menapak langkah menuju ke apartemen Edward, tempat mereka bertiga tinggal. Mungkin setelah ini, gadis itu akan membereskan semua barang-barangnya dan pergi dari tempat itu.
Perasaan tidak enak membayang jelas di batin Rose, mengingat perlakuan tega Edward dan Liana yang tega meninggalkan dia sendiri, padahal gadis itu hanya berpamitan pergi ke supermarket untuk membeli barang-barang yang habis.
“Aku harus pergi, mungkin memang diriku hanya menjadi beban di kehidupan Edward dan Liana. Mereka butuh ketenangan, dan siapa tahu kehadiran aku malah membuat keduanya terganggu. Ah, ini di luar batas perasaanku yang akan sakit sebelum salah satu di antara mereka berbicara langsung.”
Sesampainya di apartemen tempat mereka tinggal beberapa waktu ini, Rose mendapati Liana dan Edward sudah berdiri di halaman depan dengan ekspresi sedikit terlihat aneh. Keduanya berbalik arah dan sigap mendekati Rose yang baru saja sampai.
“Kamu dari mana?” tanya Liana dengan nada suara yang terdengar sedikit aneh. Akan tetapi, Rose tidak berpikir sampai sana dan meraba ke mana-mana.
“Iya, kenapa tidak ada di rumah? Kami menunggu kamu dari tadi, loh.” Edward yang berdiri di sisi kanan Liana terdengar menimpali. Gerak wajah dan mata laki-laki tersebut juga terlihat ada kejanggalan.
“Maaf, aku harus pergi! Aku tahu, di sini keberadaan aku hanya menganggu hubungan kalian.” Terdengar ketua dari mulut Rose, wanita itu melontarkan ucapan yang sontak membuat kedua lawan bicara di hadapan membelalak heran.
“Maksud kamu apa, sih? Kami benar-benar tidak paham,” sambung Liana yang berdiri di depan Rose.
Menerobos Liana dan Edward yang mencoba menghalangi jalan Rose, wanita tersebut mencoba menolak keduanya. Rasa ingin keluar dari rumah tersebut tentu saja sudah cukup matang dipikirkan baik-baik oleh Rose. Apa pun resikonya, dia sudah siap menghadapinya.
Belum sempat berhasil menerobos masuk apartemen, tiba-tiba Edward dan Liana menarik tangan gadis itu dan membawanya lari ke suatu arah. Gerak-gerik kedua orang yang sedang memaksa tubuh Rose untuk ikut bersamanya ini samar-samar terlihat aneh dan bisa gadis itu rasakan. Namun, pikirannya tidak terlalu berlebihan, mengingat Liana sering kali meminta maaf dengan cara-cara unik dan menbuat takjub. Ah mungkin, memang Liana ingin membawa dan melakukan hal yang sama kepada Rose, saat gadis itu dalam keadaan marah seperti ini.
“Kalian mau bawa aku ke mana? Hentikan, Liana, hentikan!” Sekuat upaya Rose berontak dan mencoba lolos dari genggaman keduanya. Akan tetapi, sepertinya mereka lebih memiliki tenaga yang lebih kuat dari Rose sendiri.
Pasrah dan menganggap bahwa pasti ada kejutan yang diberikan oleh Edward dan Liana, ternyata dugaan Rose salah. Sesampainya di dekat perbatasan hutan yang mengelilingi apartemen mereka, kedua orang yang sempat dilihat sosoknya adalah Liana dan Edward tiba-tiba tidak bisa lagi dilihat oleh Rose. Degan spontan, pukulan di pundak gadis tersebut terasa sangat keras, sehingga membuat dia jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri lagi. Sekilas yang Rose lihat, dua orang di depannya bukanlah Liana dan Edward lagi.
*
“Jadi begitu ceritanya, Liana, soal penculikan aku bisa berada di tangan Penculik. Tiba-tiba saja setelah aku bangun dari pingsan, aku sudah berada di kapal dan sepertinya saat itu Queen sebagai pemimpinnya mau membawa aku pergi jauh dan otomatis tidak akan selamat untuk sampai ke tempat kita lagi. Selamanya aku akan mati di tangan mereka, dan tidak pernah bisa bertemu dengan kalian lagi.” Nada bicara Rose seketika terdengar lirih.
“Kamu yang sabar, ya. Semuanya sudah selesai, kok.” Liana yang berada di depan Rose mencoba menenangkan hati sahabatnya. Gadis itu memeluk kembali tubuh kecil Rose.
“Aku bisa menyimpulkan, bahwa Penculik mencoba menjadi aku dan Edward, untuk menipumu. Permainannya sangat rapi, ya, membuat kamu sendiri tidak paham dengan sahabatmu sendiri.” Liana menimpali lagi.
“Iya, seperti itulah, Liana. Mereka begitu terlihat cerdas, bukan?”
“Bukan cerdas, Rose! Mereka hanya licik!” tegas suara Liana membuat suasana menjadi lebih hening.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.