24

The Westfallen Twin 2282 words 2021-12-21 11:20:41

Siang itu, seorang wanita dua puluh tahunan bersama pria yang tak berbeda jauh umur dengannya, sedang melangkah sedikit gontai menuju mobil di halaman rumah. Mereka Liana dan Edward, dua orang yang memiliki tujuan untuk menyelamatkan temannya dari sekapan penjahat, dan teman-temannya. Mereka tidak tahu, bahaya yang menanti saat bertemu Queen yang merupakan seorang penjahat sewaan.

Mobil hitam bergaya Pajero sport, bak ditunggangi oleh kedua insan itu. Mereka tampak terburu-buru, dengan dilihatnya mobil berjalan melaju dengan kecepatan tinggi.

Sesekali wanita tersebut melirik arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya, dan juga berdecak mengecapkan mulut lantas terlihat gelisah.

“Edward, lebih ngebut lagi! Nyawanya dalam bahaya, bagaimana kalau mereka membawa dia pergi?” Wanita yang sempat diketahui namanya adalah Liana memberi penekanan. Dia seolah mempercepat kemudi yang ada di bawah naungan lelaki di sebelahnya.

“Sabar, Liana, ini darurat. Jalanan mulai ramai dan sepertinya di depan ada macet,” ujar Edward sembari sesekali melirik lawan bicaranya.

“Ah, kenapa harus di saat-saat seperti ini, sih? Aku khawatir dia keburu kenapa-kenapa, Edward!”

“Tenang, Liana, yakinlah orang yang kita khawatirkan tidak apa-apa. Dia kuat, dia pasti bisa.”

Memberi sekali anggukan yang menyerga, Liana memasang mimik wajah serius. Ekspresi tegang ada di sudut wajahnya, mengingat ini bukan waktunya untuk bersantai-santai. Telat satu menit saja, orang yang sedang mereka bicarakan keburu pergi dibawa penculik jahat itu.

“Kamu tau kita mau ke mana, Liana? Ke mana mereka membawa dia pergi?” Edward angkat pertanyaan. Dia memandang wajah Liana lamat-lamat.

“Aku tau, Edward! Penjahat-penjahat itu bawa Albert dan Leona pergi jauh, dan sebelumnya kita harus ke dermaga untuk melihat dan memastikan bahwa dia ada di sana,” ungkap Liana penuh keseriusan. Dia begitu terlihat meyakinkan, dan tahu apa yang sebenarnya.

“Kok, kamu bisa tau? Memangnya—“

“Ya, pembicaraan sekilas tadi ada terdengar di telingaku. Mereka akan ke dermaga lebih dulu, karena memang itu rute atau akses untuk menuju ke tempat yang mereka mau.”

“Mereka sebenarnya siapa? Apa tujuan mereka membawa Albert dan Leona pergi? Ini sama saja penculikan, bahkan bisa dikatakan pembunuhan!” Sejurus Liana menggeleng mendapat pertanyaan dari lawan bicaranya. Dia hanya menghela napas seraya menatap jalanan dari kaca mobil.


“Entahlah! penculiknya memang punya sebuah dendam pribadi dengan Albert dan Leona. Asal usul sebenarnya aku juga kurang tau, Edward!” ucapnya lirih.

Mengangguk-angguk tanda mengerti dan paham, Edward semakin mempercepat gerak mobilnya. Akan tetapi, di persimpangan jalanan empat tikungan, mobil mereka terpaksa berhenti karena lampu lalu lintas memperlihatkan warna merah. Tentu pengendara berbaris di tengah keramaian macet yang membelah jalanan riuh ini.

“Ah, sial! Bisa telat kalau ceritanya begini,” decak Edward setelahnya.

“Terobos saja Edward? tidak bisakah? Ini darurat, kita harus cepat sampai me sana.”

“Its too dangerous Liana. Bisa kena undang-undang lalu lintas kalau kita menerobos kemacetan ini. Gimana kalau semisalnya ada hal tak diinginkan? Itu jadi lepas tanggung jawab kita, Sa,” titah lelaki itu pada wanita di dekatnya.

Panas dingin merasakan rasa bingung, Liana terlihat menyadarkan kepalanya pada kursi mobil. Edward juga memukul stir kemudi beberapa kali. “Ya Tuhan, kami harus bagaimana?” lirih Liana sembari mengusap wajahnya.

Bagaimana mereka bisa tenang? Kemacetan ini kemungkinan akan berlangsung cukup lama, karena sudah menjadi hal lazim jalanan kota memang rawan seperti ini. Bukan satu atau dua menit, bahkan bisa memakan waktu ber jam-jam hanya karena menunggu satu per satu kendaraan melaju berkendara. Ini yang menyebabkan Edward dan Liana semakin gelisah parah. Hendak menerobos, tak ada guna lagi karena mobil bersama kendaraan lain sudah mengepung keberadaan mobil mereka.

Di belakang, klakson mobil dengan sangat berisik saling bersahutan. Tentu rasa tak sabar dan hal yang dirasakan Liana bersama Edward juga dirasakan pengendara lainnya. Walaupun tidak satu masalah yang sama, tetapi semua orang juga menginginkan agar cepat tiba di tempat tujuan.

Semua menghela napas secara serentak, sebab akhirnya lampu sudah berubah menjadi hijau, itu artinya pengendara diperbolehkan melanjutkan jalan tanpa halangan lagi. Edward dan Liana juga tersenyum puas, akhirnya bisa bebas dari hukum rambu-rambu lalu lintas.

“Edward, ngebut lagi! Kita sudah kehilangan banyak waktu.”

Tak menjawab, tetapi Edward menuruti ucapan lawan bicaranya. Dia menambah kecepatan mobil sampai berada pada titik di atas rata-rata. Ya, geraknya begitu terlihat sangat kencang.

Hampir sampai di perbatasan, Liana menghela napasnya. Yang mereka harapkan hanya satu, Albert dan Leona belum terlanjur hilang tanpa meninggalkan jejak. Itu akan sulit dicari, bahkan tidak bisa ditemukan lagi.

“Akhirnya, sampai juga, Edward. Ayo, cepat turun!” Liana yang sudah lebih dulu turun berjalan mondar mandir dengan perasaan panik. Pasalnya, banyak kapal yang berlalu lalang pergi ataupun pulang. Ini sangat sulit untuk membedakan mana kapan yang mereka tuju.

“Mana, Liana? Kamu memangnya paham jenis kapal yang Mereka tumpangi? Di sini banyak kapal-kapal yang mirip, Liana.” Setibanya keluar mobil, Edward memegang lengan Liana. Keduanya sama-sama sedang memerhatikan kapan yang berlayar ke sana ke mari.

“Hah? Itu, Edward! Aphrodite yang kumaksud!” pekik Liana di tengah kebingungan yang merasuki diri keduanya. Sejurus Edward merasa yakin dan tidak.

“Are you sure Liana? Jangan sampai kita salah sasaran.”

“Enggak. Aku yakin itu kapal yang ada Albert dan Leona di dalamnya. Yakinlah, Edward, cepat kita ke sana.”

Sedikit kebingungan, Edward berjalan gesit menuju tempat boat berlalu lintas, bisa dikatakan pangkalan boat yang ada di dermaga ini.

“Liana, kita naik itu! Ini jalan satu-satunya,” ucap Edward serius. Dia mengarahkan pandangan ke arah pangkalan boat yang berjajar rapi.

“Iya, bisa. Asal Albert dan Leona selamat, aku tidak masalah. Cepat, ayo!”

Dengan berjalan cepat, keduanya menghampiri pangkalan boat. Sesampainya di sana, sudah ada penjaga yang tentu akan menjadi jalur p********n, atau bisa dikatakan pemilik boat tersebut, bisa jadi.

“Tuan, boleh kami bertanya?”

“Iya, ada apa Tuan? Ada yang bisa saya bantu?”

“Boat ini kami sewa untuk mengejar kapal Aphrodite yang ada di tengah itu, apakah boleh? Soalnya—“ Belum usai bicara, Liana mengode Edward untuk tak melanjutkan ucapan yang sebenarnya.

“Hust, jangan bilang-bilang. Nantinya malah buat suasana semakin rumit,” bisik Liana di telinga kanan Edward.

“Ehm ... maaf Tuan, kami mau mengejar teman kami yang ada titip barang sesuatu. Ponsel dia tertinggal sebelum pergi tadi,” ucap Edward berbohong. Pria itu tersenyum cengengesan.

“Iya, Tuan, boleh. Untuk sekali pelayaran, tiga ratus ribu, ya, Tuan. Selain jarak tempuhnya jauh, ini boat ekslusif yang bisa dibilang elit, lah. Itu pun kalau Tuan mau,” jelas penjaga boat itu sembari menaikan kedua alisnya.

“Ah, Tuan, nggak bisa kurang? Kan, cuma sekali putaran. Lagi pula memang biasanya seratus lima puluh ribu, Tuan.” Edward ikut menawar harga.

“Edward, sudahlah! Kita enggak punya banyak waktu lagi, plis kumohon!” Liana berbisik lagi di telinga sang lawan bicara.

Menarik sekali napas, Edward mengeluarkan dompet yang ada di kantung celana. Dia merogoh beberapa kali, sampai merasa ketar-ketir sendiri.

“Sa, gawat! Kayaknya aku lupa bawa dompet yang tadi sempat kuletakan di atas ranjang. Ah, sial! Gimana?” Edward memandangi wajah Liana dengan ekspresi panik. Dia terlihat bingung.

“Astaga. Aku juga nggak bawa uang. Kupikir semua ini urusanmu!”

Sama-sama saling pandang, mereka menatap wajah penjaga boat dengan senyum cengengesan. Sungguh malu yang menghantam harga diri, bisa mengalami hal seperti ini.

“Tuan, sebenarnya kami mau mengejar teman yang ada di kapal Aphrodite itu, dia korban penculikan.” Edward berkata lamat-lamat. Dia menatap wajah penjaga penuh pengharapan.

“Ah, tuan dan Nyonya serius? Jangan-jangan kalian hanya ingin membohongiku, ya?”

“Ya ampun Tuan, ini serius. Ini benar-benar tanpa settingan sedikitpun. Justru itu kami harus bergerak cepat untuk mengejar kapal itu sebelum hilang jejak,” timpal Liana kemudian.

“Hm, baiklah. Jadi berapa harga yang kalian minta?”

“Kami cuma punya uang seratus Dolar, Tuan. Ini juga sisa bensin yang nyangkut di kantung. Dompetku ketinggalan, pasti Tuan tidak percaya kalau aku bicara seperti ini lagi.” Edward menambahkan lagi.

“Ya sudah, tidak masalah. Ini demi nyawa seseorang, lebih baik aku lepas saja.”

Seketika senyum semringah tersemat di wajah Edward dan Liana. Keduanya saling bertukar tatap kemudian menghela napas panjang. “Terima kasih banyak, Pak. Sekali lagi kami sangat berterima kasih,” ujar Edward sembari mencium tangan penjaga boat.

Sedikit gontai menjejakkan langkah ke arah boat, keduanya sudah bersiap-siap untuk naik. Untung saja kapal Aphrodite masih terlihat dari pandangan mata, ada kemungkinan bisa dikejar walaupun tertinggal jauh.

Sudah berada di atas boat sambil lengkap mengenakan pengaman, Edward dan Liana berlayar kencang menunggangi transportasi air tersebut. Dalam penglihatan, kapal Aphrodite seperti berada di dekat pelupuk mata.

“Lebih cepat, Edward! Kapal itu juga kelihatannya ngebut,” ucap Liana di telinga Edward.

“Sabar, Sa, nanti boat kita berbalik. Bapak itu juga sudah semaksimal mungkin lebih cepat geraknya. Kamu nggak dengar juga udah semaksimal mungkin aku menyuruh Bapak ini ngebut?”

Semakin dekat dan semakin maju, boat yang ditumpangi kedua orang itu hampir sampai di depan sisi kapal Aphrodite. Teriakan demi teriakan Liana terdengar memecah suara mesin transportasi air tersebut.

“Berhenti, hey berhenti!”

“Kumohon berhenti! Ada sahabat kami di sana.”

“Tolong ... tolong berhenti!”

Sampai akhirnya nahkoda memberhentikan kapalnya di batas akhir sebelum sampai ke tempat yang seharusnya memang akan mereka hinggapi.

Awak kapal sepertinya sadar akan teriakan Liana yang sedari tadi terdengar keras, mengalahkan suara mesin Aphrodite.

“Ada apa? Kalian siapa dan apa tujuan memberhentikan pelayaran kapal kami?” tanya salah satu awak kapal.

“Ada teman kami di dalam, Tuan, dia salah satu korban penculikan. Kami mau menyelamatkan dia, sebelum penjahat-penjahat itu membawanya pergi.”

“Ah, benarkah? Jangan berbohong, kalian bisa terkena denda atau sanksi,” ucap si lawan bicara.

“Benar, Pak, mereka memang sedang mencari keberadaan temannya yang hilang. Menurut informasi yang mereka katakan, temannya itu diculik oleh penjahat yang dicurigai di sewa oleh Carl, seorang penjahat besar.” Bapak yang ada bersama Edward dan Liana, menjadi pengemudi boat pun menimpali. Sejurus awak kapal terlihat baru percaya.

“Baiklah, naik ke mari dan cari teman kalian. Bagaimanapun ini menyangkut soal nyawa taruhannya.”

Menyetujui dengan keputusan yang membuat Edward dan Liana tersenyum semringah, akhirnya kedua orang itu naik ke atas kapal. Mereka segera bergerak cepat mencari ke seluruh ruangan dan sekitar kapal besar yang muat ratusan penumpang tersebut.

Satu demi satu sisi kapal tak ada juga keberadaan orang yang mereka cari. Sebab, dari tadi Albert dan Leona tak ada di sini. Bahkan penumpang terlihat asing dan menatap mereka sinis. “Ada apa? Kalian teroris, ya?” tanya salah satu penumpang. Sejurus Liana menggeleng kemudian berkacak pinggang.

“Maaf, Nyonya, kami masih punya pekerjaan lain selain jadi seorang teroris. Terima kasih, ini bukan saatnya untuk berdebat karena hal nggak penting!”

Liana menarik pergelangan tangan Edward kemudian berlalu pergi. Sesampainya di tempat awal mereka naik ke kapal Aphrodite ini, awak kapal masih menunggu. Sementara kapal sedari tadi ternyata sudah berlayar kembali.

“Gimana? Ada teman kalian di sini?” tanya awak kapal kemudian. Dengan ragu-ragu keduanya menggeleng kecil. “Enggak, Pak, kami tidak menemukan orang yang menjadi tujuan.” Edward menjawab.

“Hah?! Apa jangan-jangan dugaan saya dari awal benar? Kalian ini sebenarnya teroris, ‘kan? Apa tujuan kalian sebenarnya?”

“Astaga. Kami tidak seperti itu, Tuan. Teman kami memang benar-benar diculik.” Kali ini Liana yang angkat bicara.

“Pergi dari sini sekarang juga atau kalian akan kami tindaklanjuti? Banyak kejanggalan dari sikap aneh kalian!”

Sama-sama kebingungan dan bertukar pandangan, Edward bersama Liana menengadah kepala ke arah langit. Ini begitu membingungkan, karena Albert dan Leona tak ada di dalam sini.

“Ah, sudah kubilang berapa kali? Kamu sudah yakin dengan kapal yang ditumpangi mereka untuk membawa Albert dan Leona pergi? Nyatanya mereka memang enggak ada di sini. Ah, bagaimana ini?” Edward turut mengalahkan Liana sepenuhnya.

“Maaf, Edward, tapi memang kapal Aphrodite yang sempat aku tau. Kenapa bisa tidak ada?!”

“Entah! Aku juga bingung, Liana, karena kita sudah dianggap teroris.”

Membelalak hebat, Liana seperti mengingat sesuatu. “Astaga, aku baru ingat, Edward. Aphrodite 0308 yang ditumpangi mereka , bukan ini.” Bergerak liar ke sana ke mari, Liana mencari penuh teliti Aphrodite apa yang sekarang mereka tumpangi. “Aphrodite 0307? Ah, kita sial lagi, Edward!”

“Terus bagaimana ini? Ki-kita terlanjur—“

“Ada apa? Apa yang kalian rencanakan? Ada polisi di sini, jangan macam-macam!” ancam awak kapal itu. Dia menatap sinis ke arah Edward dan Liana.

“Maaf, Tuan, kami salah target. Aphrodite 0308 yang kebetulan ada teman kami di dalamnya. Bukan Aphrodite 0307 yang saat ini kami tumpangi,” jelas Liana ragu-ragu.

Menghela napas lelah, awak kapal menggeleng kecil. “Banyak alasan! Bilang saja yang sebenarnya, bahwa kalian memang teroris, ‘kan? Ayo ngaku!”


Edward dan Liana menggeleng terus menerus. Karena memang bukan itu fakta sebenarnya yang mereka punya saat datang ke mari. Alam terkadang memang suka membuat manusianya khilaf, bahwa bukan ini yang sebenarnya terjadi.

“Kami mencari Aphrodite 0308, Tuan, bukan ini. Wajar tidak ada teman kami di sini. Ini mutlak tanpa unsur pembohongan.”

“Aphrodite 0308 masih di belakang. Kemungkinan sekitar beberapa menit lalu mereka baru berlayar. Ini jurusan sudah dari tadi, sebelum Aphrodite yang kalian maksud itu berangkat.”

“Terus? Kami harus bagaimana ini, Tuan? Setidaknya Tuan percaya, itu saja.”

“Hm, gini saja. Kalian ikut di sini, sampai Aphrodite 0308 nanti berangkat. Setelah nanti saling berpapasan, jangan lupa membuktikan bahwa yang kalian katakan memang benar. Jika tidak ada bukti, maka kalian benar-benar menjadi tersangka sebagai kasus teroris,” ancam awak kapal dengan sedikit mengeraskan ucapannya.

Mematung sejenak, Liana dan Edward merasa ketakutan. Yang ada di benaknya, jika tidak ada Albert dan Leona di dalam sana, maka mereka akan tersangka menjadi seorang teroris.

Ah, itu bukan suatu mimpi yang diharapkan sebelumnya.

===Bersambung

Previous Next
You can use your left and right arrow keys to move to last or next episode.
Leave a comment Comment

Waiting for the first comment……

Please to leave a comment.

Leave a comment
0/300
  • Add
  • Table of contents
  • Display options
  • Previous
  • Next

Navigate with selected cookies

Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.