16

The Westfallen Twin 1655 words 2021-12-13 12:41:53

Setelah menerima cacian, makian dan semua pertanyaan tajam, suasana hati Sophia seharian itu akhirnya semakin runyam. Kepuasan yang dirasakan setelah menghancurkan dan mengobrak abrik apartemen Vincenn lenyap dalam waktu singkat. Kepenatan ini seperti menjadi racun dalam hidup Sophia. Suasana hatinya muram. Dia sangat terpuruk. Sepertiny semua-semua menjadi kesalahannya. Sophia ingin kabur rasanya dari semua orang. Dia dan Laura baru saja sampai didalal sebuah coffeeshop yang berada di lantai dasar perkantorannya. Setelah memilih meja, mereka duduk sebelum memesan, namun tiba-tiba Sophia histeris.

“Sepertinya aku resign aja deh Laura,” Sophia menundukkan wajahnya. Matanya sudah tidak bisa membendung airmataa lagi. Bulir-bulir bening itu membanjiri mata lentiknya. Laura kaget melihat Sophia yang sangat emosional. Selama ini Sophia adalah wanita tenang yang tidak meluap-luap. Namun sepertinya kali ini, dia benar-benar tidak bisa menahannya lagi.

“Sophia, jangan resign. Kamu kan tau mencari kerja itu tidak gampang. Ditambah jabatanmu sudah sangat tinggi disini. aku saja sudah bekerja 5 tahun, belum juga jadi Manajer. Stuck saja di asisten manajer. Jadi kamu jangan berhenti. Sayang sekali Ver…” Laura menyemangati.

“Tapi aku sudah tidak tahan. Kerjaan ini seperti menjadi beban berat buatku… aku melakuukannya dengan sepenuh ati. Semua kemauan mereka aku penuhi. Tapi kenapa aku seolah-olah dibuat bagaikan pencuri? Tidak ada sepeserpun dana proyek-proyek yang aku tangani selama ini yang masuk ke dalam rekening pribadiku. Tapi apa? Aku selalu merasa dituduh melakukan sesuatu. Dituduh mengambil uang. Untuk apa coba aku ambil uang perusahaan?” Sophia menangis sejadi-jadinya. Laura sangat prihatin melihat keadaan Sophia. “Sabar yah Ver… kamu orang baik. Kamu pasti akan mendapatkan jalan yang baik.

Sophia menggeleng frustasi. “Aku tidak sanggup lagi. Benar-benar tidak sanggup. Hu hu hu…” Tangisnya semakin pecah. Laura memegang tangannya untuk menguatkan Sophia. “Kita pesan makanan dulu deh. Kamu mau apa?” Tanya Laura. Sophia menggeleng. “Aku tidak bisa memikirkan apapun saat ini,” jawabnya.

“Baiklah aku pesankan saja ya,” Ucap Laura. Sophia diam tak bergeming. Dia masih menangis dengan tersedu. Laura beranka ke kasir dan memesan makan dan minuman. Tidak lama dia kemHawai membawa dua gelas latte dingin.

“Ini, minum dulu. Nanti makanan kita diantar.” Ucapnya. Sophia mengambil dan menenggak minumannya dengan cepat. Tidak lama pramusaji mengantar makanan mereka.

“Ayo makan dulu, biar lebih tenang.”

“Aku tidak lapar Laura,” Jawabnya.

“Paksakan makan. Ayoo makan!” ucap Laura maksa.

Sophia mencoba menelan makanan yang disajikan pramusaji itu. Dengan berat dia akhirnya bisa menelan beberapa suap makannannya.

“Aku sudah memikirkan, menurutku lebih baik kamu cuti saja beberapa lama. Unpaid leave for a long time. Bagaimana? Kamu bisa manfaatkan waktu itu dengan berjalan-jalan bersenang-senang, liburan, atau mungkin dirumah saja.” Saran Laura. Sophia menatap Laura.

“Adakan cuti seperti itu? Setauku cuti hanya boleh 3 hari. Terlama seminggu.”

“Seingatku ada di peraturan kita, bahwa boleh cuti panjang for a reason jika kau sudah mencapai jabatan pada tahap tertentu.”

“Benarkah?” Tanya Sophia antusias. Dia mulai menghapus air matanya.

“Iya, aku yakin. Jadi kamu email saja surat permohonan cuti kamu, nanti ketika dibalas, kamu bisa langsung libur.” Jawab Laura lagi.

“Baiklah. Malam ini aku akan mengirimkan email permohonan cutiku.” Jawab Sophia mantap.

“Benar! Selamat bersenang-senang ya Sophia… Semoga selesai liburan pikiranmu akan lebih fresh lagi, dan kamu bisa kemHawai produktif,” Harap Laura.

“Amin! Aku benar-benar harus pergi sebentar dari perusahaan ini. Ini sungguh tidak sehat, kalau memang sayang untuk resign. Maka lebih baik aku cuti saja. Itu lebih baik daripada aku gila.”

“Benar Sophia. Pergilah… Kamu mau kemana rencananya? Sudah ada rencana?”” Tanya Laura.

“Aku belum ada planning. Namun dari tadi pagi aku memang kepikiran untuk prig kesuatu tempat. Menurutmu aku kemana ya? Kamu punya ide tidak?” Sophia bertanya.

“Hmmm… Paris? Venice? Roma? Belanda? London? New York? Seoul? Jepang? Kuala Lumpur? Bali? Hawai ?” Jawab Laura memberikan pandangan.

“What? Bali? Hawai? Itu jauh sekali… tidak ada kah yang lebih dekat?”

“Well, aku tidak tau pasti. Hanya sering mendengar, tempat itu paradise, laut yang indah, sinar matahari yang panas, kebudayaaan yang unik. Yah hanya sebatas itu yang aku tahu. Coba kamu browing lagi malam ini.” Ujar Laura. 

Sementara it di belahan lain kota London.

Edward Westfalllen dan Liana Westfallen sedang berada di dalam taxi yang membawa mereka menuju ke apartemen Leona, keduanya sampai sekarang belum memiliki clue atas kejadian kehilangan Leona Westfallen ini. apakah Leona diculik, atau melarikan diri, atau bersembunyi, atau bahkan bunuh diri. Keduanya tidak tau apapun. Edward merupakan sepupu dekat Liana.


“Liana, memangya Leona tidak pernah bercerita apapun?” Tanya Edward


“Apa mmaksudmu? Cerita apa?” Tanya Liana tidak paham arah pertanyaan Edward


“Kamu dan Leona kan kembar, apakah Leona tidak pernah memberikan kode bahwa dia mau pergi?”


“Tidak. Itu yang aku heraan. Dia tidak pernah cerita apapun. Padahal kami sering menghabiskan waktu bersama. Namun dia tidak bercerita sedikitpu perihal ini.” Jawab Liana.


“Apa mungkin dia sedang patah hati? Jadi ingin sendiri for a while?”


“Kamu pikir dia ABG yang sedang galau? Dia tidak mungkin begitu. patah hati ya sudah patah hati, tapi tidak akan berpengaruh sampai dia akan keluar dari succubus. Sekarang ini memang aneh. Aku tidak paham apa yang ada di dalam pikiran Leona,”


“Aku pikir pasti terjadi sesuatu kepadanya. Mungkin da benar-benar sedang patah hati. Memangnya dia tidak cerita kepadamu?” Edward  memaksa.


“Hmmm setelah aku ingat-ingat lagi sih, dia memang tidak pernah menceritakan apapun kepadaku. Kami dekat, tapi tidak terlalu bercerita masalah pribadi. Aku tau dia punya pacar, namun aku tidak tau apakah dia sedang putus atau sedang baik-baik saja saat ini,” Liana berkata sambil berpikir.


“Berarti kalian Fake twin sister, iya kan?” ucap Edward  sinis.


“Kenapa kau berkata begitu? kami benar-benar bersaudara dengan baik. Walaupun dia lebih senior dariku, namun kami saling menyayangi, dan sangat baik sesama. Tidak mungkin kami fake sepeti katamu!” Liana tidak terima hubungannya dengan Leona dituduh palsu. Namun perkataan Edward  membuat dia banyak berpikir, bahwa memang dia benar-benar bisa dibilang tidak tau apapun mengenai Leona. Ah adik  macam apa aku ini pikir Liana sedih. Jangan-jangan benar Leona sedang mempunyai banyak masalah. Namun dia tidak mau bercerita kepadaku. Pikir Liana sedih.

“Kenapa kamu jadi diam?” Tanya Edward

“Nope. Nothing!” jawab Liana singkat.

“Perkataanku menyadarkanmu sesuatu, huh? Bahwa kau benar-benar bukan kembaran yang baik bagi Leona? Benar kan?” Sindir Edward  lagi sambil tersenyum sinis.


“Diam! Aku sedang menganalisa kemana kira-kira Leona menghilang. Bukan sedang berpikir hal-hal yang tidak penting!” Jawab Liana berbohong.


“Setidaknya kalau kau memang benar-benar adiknya, kau tau setidaknya 1 saja masalah berat yang dia hadapi. Namun ini tidak kan? Kau tidak tau apapun mengenai itu kan?”


“Iya memang tidak. Kamu kenapa sih? kenapa jadi mendesakku terus?” Tanya Liana kesal.


“Tidak. Aku sedang menggali, agar pencarian kita lebih mudah. Tidak seperti mencari jarum didalam tumpukan jerami,” Jawab Edward  santai.


“Iya dia memang tidak pernah menceritakan secara specific kepadaku. Namun dia sering bercerita secara garis besar bahwa kehiduan dia baik-baik saja. Kehidupan percintaannya pun baik-baik saja. Pacarnya baik dan sayang kepadanya. Aku rasa hal itu sudah cukup untuk diketahui para sahabat.” Jawab Liana tidak mau dikatakan tidak memahami sahabatnya.


“Baiklah … baiklah …” Jawab Edward  tidak mau memperpanjang.


“Kita belok kiri saja di depan Sir,” ucap Liana kepada supir taxi. Taxi berbelok kekiri dan mulai erjalan dijalanan ang lebih smepit dibandingkan dengan jalan raya tadi.


“Apartemennya disekitar sini harusnya.” Ucap Liana.


“Pelan-pelan saja tuan,” Ucap Edward .


Taxi berjalan dengan pelan menyisiri daerah perumahan dan apartemen menegah, tampak gedung-gedung berukuran sedang berbaris rapi, ketiga pasang mata itu mencari-cari no gedung apartemen Leona.


“Stop … stop … aku rasa di gedung yang ini Edward . itu lihat nomornya.” Edward  melirik sekilas kearah yang ditujukk Liana.


“Baiklah ayo turun,” Ajak Edward . dia memberikan kartunya kepada supir taxitersebut. Setelah selesai ursan embayaran. Merekaa beranjak keluar dari taxi, dan masuk langsung melalui Lobby. 


“Kamu punya Aksesnya?” Tanya Edward .


“Karena pasti susah kita masuk kedalam jika tidak punya kartu aksesnya,” Lanjt Edward  lagi.


“Hmm kau benar. Tapi aku tidak punya aksesnya. Bagaimana ini?” Tanya Liana bingung.


“Aahhh … kenapa hal ini baru terpikir olehku?” ucap Edward  frustasi.


“Ayo kita putar otak. Aku yakin salah satu dari orang-orang it dbisa membantu kita. Sekarang kita tinggal pikirkan apa yang harus kita katakan agar mereka mau membantu kita,” Ujar Liana.


“Baiklah. Ayo Kita jujur saja, bilang bahwa teman kita hilang, dan kita butuh masuk ke apartemennya untuk mencari petunjuk. Bagaimana?” Tanya Edward .


“Baiklah. Ayo kita coba.” Liana tidak mau berdebat berlama-lama dengan Edward . dia asal setuju saja, asalkan cepat solusinya. Mereka berdua mendatangi resepsionis dan bercerita perihal kehilangan Leona. Awalnya sang resepsionis tidak mempercayai cerita mereka.


“Bagaimana aku tau kalian berbohong apa tidak? Ini masalahnya adalah masuk kedalam property orang lain. Hal yang melanggar peraturan dan melanggar hukum.” Jawab gadis cantik dengan rambut digelung keatas itu.


“Anda dan para petugas kemanan boleh ikut kam nona, untuk memastikan bahwa kami tidak akan melakukan apapun disana ataupun mencuri apapun. Ini agar anda yakin,” Jawab Edward .


“Hmm kami punya banyak pekerjaan lain disini tuan.” Gadis itu tampak malas kala disuruh pergi meninggalkan meja resepsonisnya.


“Jadi bagaimana nona?” Desak Edward  sabar. Namun beda cerita dengan Liana, Liana sudh tidak sabar melihat ke ogah-ogahan si gadis resepsionis tersebut.


“Begini saja nona, kamu punya sahabat, sahabatmu saat ini hilang. Kamu ingin mencarinya. Namun usaha pencariannya dihalangi oleh orang lain. Apakah kamu punya hati?” Tanya Liana kesal.


“Bukan menghalangi nona. Aku tidak bisa sembarangan membukakan pintu rumah orang untuk orang lain nona,” gadis tersebut menjawab dengan nada tidak enak.

Previous Next
You can use your left and right arrow keys to move to last or next episode.
Leave a comment Comment

Waiting for the first comment……

Please to leave a comment.

Leave a comment
0/300
  • Add
  • Table of contents
  • Display options
  • Previous
  • Next

Navigate with selected cookies

Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.