Jam kuliah selanjutnya masih satu jam lagi, jadi Zita memutuskan untuk duduk di kursi kantin sambil menikmati semangkok bakso panas di siang yang tak kalah panas. Moza dan Kayla duduk pada sisi meja yang lain, asyik dengan bakmi ayam dan segelas es teh yang tampak menyegarkan.
Saat Zita hendak mengambil es jeruk yang berada di samping mangkok baksonya, tapi gelas minumnya lebih dulu diserobot oleh seseorang.
"Hah ... leganya," ungkap Theo usai menenggak habis minuman Zita, efek kelelahan setelah bermain basket di lapangan outdoor pada cuaca yang terik.
PLAK!
"Akh ...," keluh Theo sambil mengusap belakang kepala yang baru saja mendapat geplakan dari Zita. Theo kontan melirik sengit yang dibalas pelototan. "Santai kali. Sori. sori. Gue udah pesen minum, kok. Cuma keburu dehidrasi kalau nungguin Bu Kantin. Jadi, minum punya lo dulu, nanti punya gue buat lo. Bentar!"
Theo yang berambut curtain diwarna coklat terang itu lantas berdiri dan pergi ke arah kerumunan di depan salah satu stan kantin. Tak berapa lama, ia kembali dengan dua gelas es jeruk dan memberikan salah satunya pada Zita. Gadis itu masih mencebik bibir karena kesal, sedangkan Theo hanya nyengir tak berdosa.
"Lo kemaren bolos ke mana?" tanya Kayla mengingat kemarin Theo tidak menampakkan diri di kelas.
"Kurang tidur," jawab Theo kelewat enteng. "Main PS, online match sampek subuh. Jadi, ya udah, gue lanjut tidur aja."
Tiga orang yang mendengarkannya lantas menggeleng tak habis pikir. Ini sudah kesekian kalinya Theo bolos dengan alasan yang sama. PS addict!
"Oh, ya, Ta!" Theo memutar badan menghadap Zita sambil mengambil sesuatu dari saku celananya. Diberikannya botol polos tanpa label itu pada Zita setelah membisikkan sesuatu.
"Apa, sih, bisik-bisik?" Kayla kepo.
"Gue cuma bilang, ini vitamin mahal, jangan dibagi sama si Uler," jawab Theo dengan melirik sinis pada Kayla.
"Thanks." Zita meletakkan botol itu di meja, lalu menatap benda itu dengan raut datar.
Theo adalah sepupu Zita. Siska—Mama Theo sekaligus dokter spKJ-nya—adalah adik dari Andri, papa Zita. Sejak SMP, Zita sudah tinggal bersama keluarga Theo. Namun, sejak beberapa bulan terakhir Zita memilih untuk tinggal sendiri dengan menyewa sebuah kamar kos. Bukan karena keluarga Theo terlalu mengekang atau sejenisnya. Zita hanya merasa ingin mencoba suasana baru. Seperti kata Siska, Zita perlu berada di tempat yang ramai untuk menyesuaikan diri, berbaur dengan banyak orang untuk belajar menghilangkan kecemasannya. Jadi, indekos yang notabene-nya ramai tentu jadi pilihan tepat dibanding tetap tinggal di rumah sang Tante yang lebih sering sepi karena penghuninya sibuk dengan aktivitas dan perkerjaan masing-masing.
"Enak, ya, jadi keponakan dokter. Bisa dapet vitamin gratis. Gue minta, dong. Biar always strong gitu," celoteh Kayla.
Menyadari kilatan di mata Kayla, buru-buru Zita ambil botol itu dan memasukkan ke dalam tas.
Melihat respon itu, Kayla auto mencebik, lalu mengalihkan tatapannya ke Theo dengan sorot memelas. "Yoo ... gue mau dong kalau dikasih vitamin gratis kayak Zita."
"Boleh," jawab Theo sambil menyeringai usil. "Tapi, jadi pacar gue, ya?"
"Oke!" jawab Kayla dengan semangat tanpa pikir panjang.
Zita dan Theo terkejut, sedangkan Moza tersedak minuman yang sedang diteguknya. Mereka semua tahu, ucapan Theo hanyalah candaan, terlebih jika itu pada Kayla yang anti mengikat hubungan. Kontan saja, jawaban Kayla yang penuh antusias itu mengejutkan mereka.
"Lo sakit, ya?" tanya Moza seraya menyentuh dahi Kayla.
"Perkara jadi pacar doang apa susahnya?" jawab Kayla sambil menurunkan tangan Moza. "Apalah arti sebuah status, yang penting dapet vitamin gratis. Nanti tinggal diputusin aja kalau udah dapet banyak. Dijual dapet untung, ya, nggak?"
Kayla menaik turunkan alis sambil menatap Theo penuh cinta. Yang ditatap kontan bergidik sambil menatap ngeri.
Theo lantas berbisik pada Zita. Bisikan yang masih bisa terdengar jelas oleh Kayla. "Temen lo ini kayaknya lebih butuh obat biar waras, bukan vitamin."
Tawa Zita berderai, Moza tersenyum sambil geleng-geleng kepala, sedangkan yang disindir mendengkus kesal.
"Makelar, dasar!" cibir Theo. "Apa-apa diduitin. Masa harga diri dan filosofi hidup lo tergadai vitamin gratis?"
"Itu namanya efisiensi." Kayla menjawab sok bijak dengan gerakan tangan layaknya seorang motivator kondang. "Ngapain mesti repot kalau ada yang gampang? Ngapain harus beli kalau ada yang gratis? Lo nggak paham prinsip ekonomi, ya?"
Theo mengelus d**a. "Untung cuma temen seangkatan. Bukan sepelaminan."
"Gue juga ogah kali," balas Kayla.
Moza dan Zita sama-sama tertawa mendengar pertengkaran dua anak manusia yang tak pernah akur itu. Tiada hari tanpa perdebatan. Meski begitu, entah kenapa dua orang yang selalu bertengkar itu justru sering duduk bersebelahan saat di kelas. Lebih dari itu, keduanya pun punya satu kesamaan. Sama-sama tidak mau jauh-jauh dari Zita. Hal yang terkadang sampai membuat Zita risih karena selalu diikuti oleh dua makhluk paling berisik itu. Beruntung dirinya selalu sukses lebih dulu duduk dekat dinding di sebelah Moza, dibanding memilih salah satu di antara dua mahkluk yang hobi bikin sakit kepala.
Alasan dua orang itu mengikuti Zita pun sebenernya terlalu absurd. Kayla ingin selalu dekat Zita karena merasa perlu mengajari Zita tentang bagaimana cara menikmati pesona para mahkluk ciptaan Tuhan yang berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, nyatanya hanya Zita dan Moza yang dirasa paling sabar menghadapi sikap tak waras dan jiwa fangirling Kayla yang gampang berubah haluan.
Berbeda dengan Theo. Sebagai sepupu, Theo jelas cukup protektif jika itu menyangkut saudara perempuannya. Apalagi lawannya adalah Kayla. Mana mungkin Theo akan membiarkan gadis itu memberi pengaruh buruk pada Zita untuk bergenit-genit manja pada para pria.
Moza tersenyum memperhatikan tiga orang yang kini saling melontar hujatan satu sama lain. Seketika merasa jadi manusia paling waras di antara ke-gesrek-an teman-temannya. Hingga kemudian ekor matanya menangkap sosok Ridan yang berjalan ke arah meja mereka. Oh, tidak. Lebih tepatnya, cowok itu sedang menghampiri Zita.
"Bisa ngobrol berdua sebentar?" Ridan meminta izin.
Zita terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk. Gadis itu lantas berdiri, berjalan meninggalkan teman-temannya bersama Ridan yang berjalan di belakangnya.
"Siapa?" tanya Theo pada Kayla dan Moza setelah dua orang itu menjauh.
Kayla memukul dahi Theo dengan sendok tehnya. "Makanya, kalau di kelas jangan tidur mulu. Masa ada makhluk seganteng itu lo nggak tahu?"
"Gantengan juga gue!" timpal Theo tak terima yang langsung mendapat ekspresi jijik dari Kayla. "Eh, seriusan gue nanya, dia siapa? Ada urusan apa sama Zita? Mereka saling kenal?"
"Nanya satu-satu kali," timpal Moza sambil terus melirik ke arah Zita dan Ridan yang berjalan ke area belakang kantin.
"Ya, udah, jawab satu-satu," sungut Theo.
"Namanya Ridan," jawab Moza sambil mengaduk-aduk es yang mulai mencair di dalam gelasnya.
"Sebenernya kakak tingkat," sambung Kayla. "Cuti dua semester. Baru balik kuliah semester ini. Jadi, sekarang satu angkatan sama kita."
"Urusannya sama Zita?" Theo menatap Moza dan Kayla bergantian, tapi dua gadis itu kompak mengendikkan bahu tanda tak tahu.
Moza kembali menatap punggung Ridan yang semakin menjauh dengan alis berkerut. Begitu pula dengan Theo yang entah kenapa perasaannya tidak nyaman melihat kehadiran lelaki itu. Itu bukan rasa cemburu atau semacamnya. Hanya seperti firasat. Ada perasaan takut seperti sesuatu yang buruk akan terjadi.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.