Ridan meninggalkan Zita yang masih duduk di bawah pohon. Sambil jalan ia keluarkan ponsel untuk menghubungi sebuah nama.
“Gue nggak yakin,” ucapnya langsung pada inti begitu teleponnya tersambung. “Cara berpakaian, tatapan mata, dan gestur tubuhnya, gue ragu dia itu Mila.”
Terdengar embusan napas di seberang sana. Ridan menunggu jawaban seraya terus berjalan, hingga melewati meja tempat teman-teman Zita tadi berada.
Ia tersenyum saat matanya berserobok dengan Moza. Ia mengerling sebelah mata yang sontak membuat Moza mengerutkan kening, sedangkan gadis di sampingnya memekik heboh. Ridan mendengkus tawa geli sambil terus melangkahkan kaki. Tak peduli pada sepasang mata lain yang tengah menatap tajam penuh curiga.
“Biar gue cari tahu sendiri,” sahut pria di ujung sana. “Kalau dia memang Mila, mungkin dia bisa nipu lo, tapi nggak bakal bisa nipu gue.”
Sambungan diputus sepihak. Ridan memandang sejenak layar ponsel hitamnya sebelum memasukkannya ke kantong celana. Kakinya lanjut berjalan melewati selasar penghubung antara kantin dan gedung fakultas Fisipol. Bukannya menuju lift, ia justru berjalan ke arah tangga darurat. Ia buka pintu penghubung, masuk, dan menutupnya kembali. Tubuhnya lantas berbalik, bersandar pada dinding sambil menghadap ke arah pintu.
“Tiga ....”
Ia mulai menghitung mundur.
“Dua ....”
Sebaris senyum tipis penuh keyakinan tersungging di bibir.
“Satu ....”
Kepala Ridan sedikit miring, dahinya mengernyit samar karena pintu itu setia tertutup. Bukankah seharusnya hitungannya sudah tepat, atau ia yang menghitung terlalu cepat?
Tepat saat Ridan berniat menghitung ulang, gagang pintu bergerak diikuti suara pintu terbuka yang menampakkan seorang gadis tanpa ekspresi.
Ridan tersenyum. “Long time no see."
...
Lewat tengah malam, seorang lelaki bertopi hitam berlari di sebuah gang kecil dengan keringat bercucuran. Napasnya tak karuan dengan kepala sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Secara asal, ia masuk ke pekarangan sebuah rumah. Bodo amat jika ia dianggap maling. Untuk sekarang keselamatannya jauh lebih penting.
Ia menyentuh knop dan sungguh mujur baginya karena pintu tidak terkunci hingga ia tidak perlu bersikap layaknya maling sungguhan dengan adegan membobol paksa.
Begitu berhasil masuk dan menutup pintu, tubuhnya merosot dan terduduk lemah di lantai. Dadanya naik turun dengan cepat diiringi napas yang menderu hebat.
Aman. Seharusnya ia sudah aman.
Di sisi lain, mendengar suara pintu terbuka kemudian ditutup, seorang gadis berkacamata yang tengah tiduran di atas sofa ruang tengah beranjak menghampiri sumber suara.
Dahi gadis itu berkerut saat melihat lelaki asing duduk di depan pintu utama. “Kamu mal—“
Belum selesai kalimatnya terucap, lelaki itu dengan cepat beranjak untuk membekap. Sayangnya, gadis itu tak kalah gesit. Ia tangkap satu tangan yang terulur ke arah mulutnya, lalu memutar lengan lelaki itu ke arah punggung.
“Gue ... bukan ... maling,” kilah sang lelaki di sela alur napas yang belum koheren.
Begitu merasakan cekalan di tangannya mengendur, buru-buru lelaki itu memutar badan. Pergelangan tangannya turut memutar untuk balas mencekal tangan sang gadis.
Dalam satu tarikan, sang lelaki berhasil membalik keadaan. Tangan gadis itu dipelintir ke belakang, sedangkan mulutnya sukses ia bekap dengan tangan yang lain.
Lelaki itu menelan ludah. Dengan napas yang masih tersengal, ia berbisik, “Gue ... cuma numpang ... sembunyi. Sebentar. Jadi, please ... jangan teriak ....”
Gadis itu meronta, tapi cekalan yang dirasakannya justru semakin erat. Ia kontan menoleh, membuat pandangan keduanya bertemu. Lelaki itu memasang wajah memohon, berharap sang gadis memberi bantuan. Gadis berambut pendek sebatas leher itu merotasi mata, tapi kemudian menganggukkan kepala tanda setuju.
Lelaki itu langsung melepas cekalannya dengan modal percaya. Setelahnya, ia kembali merosot duduk di lantai. Mengais oksigen sebanyak-banyaknya untuk menetralkan napas. Toh, sepertinya gadis berambut bob itu cukup kooperatif dengan tidak meneriakinya sebagai maling.
Baru saja merasa tenang, ponsel di dalam jaketnya bergetar.
“Udah aman?” tanya seseorang di ujung sambungan.
“Aman,” jawab lelaki itu sambil melirik si gadis yang sepertinya kembali masuk ke bagian dalam rumah.
"Gue kirim lokasi. Mila ada di situ. Cek keadaannya dan buruan bawa pergi. Gue akan alihin perhatian biar kalian bisa pergi dengan aman,” titah penelepon.
"Give me five minutes. I need to breath," balasnya dengan embusan napas berat.
“Five minutes, nggak lebih!”
Sambungan pun diputus sepihak, disusul satu pesan berisi sebuah lokasi yang masuk ke ponselnya. Ia cek lokasi itu yang ternyata tak jauh dari tempatnya berada, hanya beda gang yang kira-kira butuh tiga menit jika ditempuh dengan berlari.
Lelaki itu kembali menyandarkan diri ke dinding. Matanya memejam sambil mengatur aliran oksigen ke dalam paru-paru. Namun, matanya otomatis terbuka saat merasakan sesuatu menempel di pipinya.
Sebotol air mineral.
Ia menggerakkan maniknya ke atas, menatap gadis berambut bob dengan kacamata bertengger di pangkal hidung yang sebelumnya hanya mengenakan kaos putih polos, kini sudah mengenakan jaket varsity warna navy.
Gadis itu menggerakkan botol di tangannya sebagai isyarat untuk diterima. Tak ada ekspresi apa pun yang gadis itu tunjukkan selain wajah datarnya.
“Thank’s.” Lelaki itu menerima dan segera meneguk cairan bening itu hingga tandas. Rasa segar seketika menjalar dan menyegarkan kerongkongan yang terasa kering.
Tanpa menghiraukan keberadaannya, gadis itu mengenakan sepatu yang tergeletak di dekat pintu.
Alis lelaki itu tentu saja berkerut. Ia lirik jam di pergelangan tangannya yang masih menunjukkan pukul dua pagi. Tentu ia merasa aneh melihat seorang gadis berkeliaran di jam sedini itu.
“Mau ke mana?” tanyanya penasaran.
“Kalau keluar, jangan lupa tutup pintu," pesan gadis itu tak acuh seraya berdiri, lalu menghilang di balik pintu.
Meninggalkan pria asing di rumahnya? Lelaki itu mendengkus sambil geleng-geleng kepala. "Nice.”
Perlahan napasnya mulai tenang, jantungnya pun berdetak lebih normal. Ia lantas berdiri, memasuki rumah itu lebih dalam untuk mengamati. Lagi-lagi alisnya dibuat berkerut. Haruskah ia mengatakan jika rumah itu terlihat seperti hunian yang telah lama ditinggalkan?
Tidak ada benda elektronik atau benda berharga lainnya. Hanya ada perabot tua. Beberapa furniture bahkan tampak berdebu karena lama tak tersentuh. Itu jelas rumah kosong. Tapi ... siapa dan kenapa gadis tadi ada di tempat itu sendirian?
Menyadari waktunya tak banyak, ia hampiri sebuah ransel yang tergeletak di atas sofa. Ia geledah isinya hingga menemukan pena dan sebuah buku catatan. Ia robek sehelai kertas kosong dari buku itu kemudian menuliskan sesuatu.
Terima kasih atas tumpangan dan air minumnya. Kalau kita ketemu lagi, kembalikan topi ini. Bakal gue ganti dengan traktiran yang lebih pantas.
-R-
Ia melepaskan topi yang dikenakannya, lalu meletakkan di atas kertas yang berisi pesannya, kemudian bergegas pergi ke lokasi yang tadi diterimanya.
Usai beberapa menit berlari, ia memasuki sebuah rumah yang tampak sedang direnovasi. Ruang demi ruang minim cahaya itu ia periksa. Namun, kosong. Tidak ada siapa pun. Tak ada juga gadis bernama Mila.
Saat akan menelepon sang rekan, netranya menangkap bandul berbentuk kunci tergeletak di atas lantai, tepat di dekat gumpalan terpal yang tergulung kasar. Ia sibak benda itu hingga terlihat beberapa tetes darah segar di permukaan lantai. Bukti jika Mila memang ada di tempat itu tadi.
Dengan cepat ia hubungi kontak di panggilan terakhirnya. “Mila hilang!”
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.