DUK!
Zita meringis saat kepalanya dihantam sesuatu saat sedang berjalan di tepi lapangan basket Universitas Mandala. Sambil mengusap pucuk kepalanya, ia menoleh dan mendapati sebuah bola basket menggelinding tak jauh dari tempatnya berdiri.
"SORRY!" teriak seseorang. "NGGAK SENGAJA!"
Masih dengan memegangi kepala, Zita menoleh ke sumber suara. Beberapa orang di lapangan basket sedang menatap ke arahnya. Raut muka Zita seketika berubah malas saat mendapati Reinaldi ada di antara mereka. Pemuda yang ia yakini sebagai pelaku pelempar bola ke arahnya.
"BOLEH MINTA TOLONG LEMPAR BOLANYA KE SINI?" teriak Reinaldi lagi seraya melempar senyum.
Zita mendengkus. Hari masih pagi, ia bahkan belum sampai ke kelasny, tapi sudah harus berurusan dengan cowok itu. Ditambah ia hanya menerima permintaan maaf jarak jauh, dan dengan tidak tahu malu malah memintanya untuk mengembalikan bola ke lapangan. Sungguh pagi yang indah, bukan?
Dengan kuat Zita menendang bola yang berada tak jauh darinya itu ke sembarang arah, yang jelas bukan ke arah lapangan basket. Bola itu menggelinding, memantul saat menyentuh dinding, lalu bergulir masuk ke selokan. Zita menoleh pada Reinaldi, menutup mulut dengan tangan sambil memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat.
"Ups! Sorry!" Bibir Zita bergerak tanpa suara sebelum melenggang pergi meninggalkan Reinaldi dan teman-temannya yang sedang menganga atas tindakannya. Terutama Reinaldi yang notabene adalah mantan pacarnya.
Reinaldi berkacak pinggang. Pemuda itu masih menatap ke arah Zita yang sudah berjalan menjauh dari lapangan dengan senyum miring tak habis pikir.
"Diliatin mulu. Masih cinta?" tanya Iddar, lawan main sekaligus teman baiknya sejak SMA-nya itu setelah mengambil bola hasil tendangan Zita tadi. Beruntung selokan sedang kering, jadi bola tidak sampai basah terkena air comberan. Karena tak mendapat jawaban dari Reinaldi, Iddar lantas tersenyum jail. "Kalau lo nggak mau, buat gue, ya?"
Reinaldi melirik tajam pada Iddar. Sebelah alisnya terangkat. "Sejak kapan lo suka Zita?"
"Lo, kan, tahu selera gue?" Iddar tersenyum miring. "Zita sudah jelas masuk kriterialah!"
Mendengar itu, Reinaldi langsung meraih kerah kaos Iddar. Alisnya menyatu dengan sorot mata permusuhan. "Lo jangan macem-macem, ya!"
Iddar tersenyum mengejek. "Lo kan bukan siapa-siapanya lagi. Kok lo sewot?"
Reinaldi melepaskan tangan dengan kasar hingga Iddar sedikit terdorong mundur. Ia sangat hafal apa yang biasa Iddar lakukan dengan cewek-cewek yang sedang atau berhasil didekatinya. Karena itu, Reinaldi merasa tidak senang jika pemuda itu berniat menjadikan Zita sebagai salah satu mainannya.
"Terserah lo mau main sama siapa, tapi jangan sama Zita. Jangan pernah macem-macem!" ancam Reinaldi. "Kalau Theo tahu, bisa habis lo sama dia."
"Kalau Zitanya mau gue macem-macemin gimana, dong? Menurut gue, Theo nggak bakal ikut campur kalau Zitanya mau." Iddar semakin menantang. Reinaldi hanya menatap dingin. Sedangkan yang ditatap langsung tertawa puas, lalu menepuk bahu Reinaldi. "Santai, Bro! Gue cuma bercanda. Panas amat. Zita udah kayak adik, nggak mungkinlah dia mau sama gue. Makanya kalau masih suka itu, ngomong! Keburu diembat sama yang lain."
Reinaldi tak lagi menanggapi. Jelas sekali mood pemuda itu rusak oleh candaan tak bermutu seorang Iddar. "Kalian main aja, gue udahan."
"Ya elah, ngambek!" ejek Iddar.
...
Setahun yang lalu.
Reinaldi berlari terburu-buru di selasar rumah sakit. Luka di siku akibat terjatuh dari motor tak dipedulikan. Yang ada di pikirannya hanya seseorang di kamar paviliun Kamboja nomor 12.
Reinaldi melambatkan kakinya saat melihat Theo--sahabatnya--duduk bersandar pada deretan kursi di tepi koridor.
"Zita ...," ucap Reinaldi lirih.
Pemuda bernama Theo menoleh lalu mengendikkan kepala ke arah pintu di dekat tempat duduknya. "Sebentar aja, Rei. Dia butuh istirahat."
Reinaldi mengangguk. Pelan-pelan ia membuka pintu, lalu memasuki ruangan yang ada di baliknya. Muka penuh peluhnya memancarkan kelegaan saat melihat Zita tengah duduk di atas brankar sambil memandang ke arah jendela. Perlahan ia menghampiri Zita. Ingin rasanya ia langsung memeluk gadis itu, tapi urung ketika melihat pakaian rumah sakit yang tengah dikenakannya.
Tubuhnya terlihat lemah seolah bisa hancur jika Reinaldi memaksa merengkuhnya. Terlebih saat ia melihat kedua tangan Zita. Pergelangan tangan kiri dipasangi jarum infus, sedangkan telapak tangan kanannya terbalut perban hingga pergelangan.
Zita menoleh saat menyadari kehadiran seseorang. Gadis itu langsung melemparkan senyum dengan wajah pucat saat melihat bahwa yang datang adalah Reinaldi.
Pada kursi di samping brankar, Reinaldi mendudukkan diri. Ia memandang Zita lekat. Banyak yang ingin Reinaldi tanyakan, tapi ia tahan. Melihat Zita di hadapannya sudah lebih dari cukup. Reinaldi tidak ingin membebani gadis itu dengan pertanyaan yang mungkin akan memberatkan.
"Kamu jatuh?" tanya Zita, menarik pelan lengan Reinaldi, melihat jaket yang pemuda itu gunakan terkoyak dan menyebabkan luka lecet di kulit sikunya.
"Lecet dikit. Nggak sakit, kok!" jawab Reinaldi sambil melepaskan tangan Zita dari lengan dan menangkup tangan itu dengan kedua tangannya. "Kamu sendiri, ada yang sakit?"
Zita menatap Reinaldi lamat-lamat. Sekilas Reinaldi dapat melihat sedikit kesedihan di mata gadis itu, meski kemudian dilenyapkan dan diganti dengan senyuman menenangkan.
"I'm good," jawabnya.
Reinaldi mengembuskan nafas. Sebelah tangannya terangkat, menyisir juntaian rambut Zita yang menutupi wajah. "I was so worried."
Zita tersenyum. "Aku nggak apa-apa."
"Kamu hilang selama dua minggu. Nggak ada kabar. Nggak bisa dihubungi. Gimana aku ...," Reinaldi segera menghentikan kalimatnya, kembali mengembuskan nafas berat. "Syukurlah kamu nggak apa-apa."
Zita tersenyum lembut. Untuk sejenak, mereka saling pandang dalam diam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Rei ...," panggil Zita.
"Ya?"
Zita menatap manik Reinaldi lebih intens, membuat matanya tiba-tiba berkabut, padahal dirinya bahkan belum memulai untuk bicara. Gadis itu mengerjap, menghalau cairan di pelupuk mata, kemudian kembali tersenyum. Walau tampak ragu, ia sudah siap untuk mengatakan sesuatu.
Reinaldi mengeratkan genggaman tangannya. "Ada ap--"
"Kita putus, ya?" sergah Zita cepat.
Reinaldi tergugu di tempat. Suara Zita terdengar berat di telinga. Pandangan penuh telisik ia tunjukkan. Berharap apa yang baru saja didengar adalah sebuah kesalahan.
"Kita jalan masing-masing," sambung Zita, membuktikan bahwa apa yang Reinaldi dengar bukanlah kekeliruan.
Gadis di depannya baru saja mengucap kalimat perpisahan.
Reinaldi tidak mengerti. Kenapa Zita yang dipacarinya selama beberapa bulan terakhir mendadak mengakhiri hubungan mereka? Sebelum ini tidak ada masalah di antara mereka. Bahkan selama tiga tahun saling mengenal, Reinaldi yakin ia tidak pernah melakukan kesalahan apa pun pada gadis itu.
"Kenapa?" tanya Reinaldi setelah susah payah menelan saliva guna melegakan tenggorokan yang rasanya tercekat.
"Ehmm ...," Zita mengerutkan bibir selagi mengatur suaranya yang bergetar. Ia melirik ke arah tangan yang saling bertaut, sebelum kemudian menarik perlahan tangannya dari genggaman Reinaldi dan balik menangkupkannya di atas tangan pemuda itu. "Kamu terlalu baik. Aku nggak cukup baik buat kamu."
Reinaldi mengerutkan kening.
Klasik.
Alasan tak masuk akal. Alasan yang dibuat-buat. Alasan yang membuat d**a Reinaldi terasa sesak, tapi di lain sisi, ia dapat melihat bahwa Zita pun tengah merasakan hal yang sama. Terlihat jelas dari cara Zita yang hanya memandangi tangan mereka tanpa berani menatap tepat ke matanya.
Gadis itu berbohong.
Reinaldi teramat mengenalnya. Ia tahu betul bagaimana gelagat Zita jika sedang berbohong.
Zita melepaskan tangannya lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela. "Kamu pulang aja, Rei. Aku ngantuk."
"Kamu bohong, kan?" desak Reinaldi. "Aku selalu tahu kalau kamu berbohong."
Zita hanya diam. Jelas sekali tak berniat menanggapi pertanyaan Reinaldi. Gadis itu justru merebahkan badan, menarik selimut hingga ke d**a, kemudian memutar tubuh untuk memunggungi Reinaldi yang masih menunggunya bersuara.
"Ta ... kalau ada masalah kita bisa--"
"Pulang, Rei. Aku butuh istirahat." Pelan, tapi tegas dengan suara yang terdengar parau.
Reinaldi menatap sendu. Mencoba menghalau nyeri di d**a, juga mengendalikan diri untuk tak memaksa. Gadis itu jelas tak akan menjawab meskipun dipaksa. Dengan enggan, Reinaldi bangkit dari kursinya dan berjalan keluar meninggalkan Zita yang tak sedikit pun menoleh atau sekadar mengucapkan "selamat tinggal" dengan lebih layak.
Di luar kamar, Theo masih setia menunggu. Reinaldi menempatkan diri di samping Theo yang sedang memejamkan mata sambil bersandar pada punggung kursi.
"Zita mutusin gue," cerita Reinaldi.
Ucapan Reinaldi membuat Theo membuka mata tanpa mengubah posisi apalagi sekadar mengganti ekspresi. Theo tak tampak terkejut, seolah sudah tahu jika kedatangan Reinaldi setelah mendengar kabar Zita dirawat akan berakhir seperti ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama Zita, Yo?" tanya Reinaldi mencoba mencari tahu lebih jauh. "Dia kenapa? Kecelakaan? Atau apa? Dan kenapa tiba-tiba mutusin gue?"
Reinaldi menatap Theo yang masih tak bereaksi. Ia menuntut jawaban juga penjelasan pada semua pertanyaan yang ia ajukan. Karena hanya Theo, satu-satunya tempat untuk bertanya.
"Kasih tahu gue, Yo ...," mohon Reinaldi.
"Lo percaya sama Zita, kan?" Theo akhirnya buka suara tanpa mengalihkan pandangan dari dinding putih di seberang tempat duduknya. Entah apa yang sedang dilihatnya dari tembok polos itu. "Lo pasti tahu kalau alasan Zita mutusin lo bukan karena selingkuh atau hal hal buruk lain yang mungkin sedang melintas di otak lo."
Reinaldi tahu betul jika Zita tidak akan seperti itu. Itulah yang membuat hatinya terasa sakit. Tidak ada alasan lebih memuaskan yang bisa Reinaldi terima dari keputusan sepihak yang Zita ambil. Mungkin Reinaldi akan bisa menerima jika Zita mengatakan sudah punya tambatan hati yang baru. Menyakitkan mungkin, tapi lebih dapat ia terima dari sekedar alasan klasik seperti tadi.
Theo memutar kepala, menoleh pada Reinaldi. "Gue nggak bisa bilang apa yang terjadi kalau Zita sendiri nggak mau ngasih tahu lo. Gue cuma minta lo menghargai keputusan yang Zita ambil."
"Tapi ...."
Theo menepuk bahu Reinaldi, lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ia melihat Zita dari balik kaca selebar 20 senti yang membentang vertikal pada daun pintu. Dari benda bening itu, dilihatnya Zita tengah meringkuk di balik selimut. Mungkin sedang menangisi hal yang baru saja ia lakukan.
"Ini juga keputusan yang berat buat Zita." Theo melanjutkan. "Sebagai sahabat lo, juga sepupunya Zita, gue cuma bisa bilang, mungkin ini yang terbaik buat kalian. Setidaknya, untuk sekarang."
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.