Moza yang mendapat kerlingan mata dari Ridan segera menghabiskan sisa tehnya. Bertepatan dengan itu, Iddar menghampiri meja mereka dan duduk di sebelah Theo. Moza pun gegas pamit ke toilet dan beranjak pergi dari sana. Namun, bukannya ke toilet, ia justru membuntuti Ridan yang berjarak lima meter di depannya.
Moza mengikuti dari jarak aman, tapi dahinya berkerut saat mendapati Ridan justru berbelok menuju tangga darurat, bukannya ke kelas berikutnya yang ada di lantai tiga. Kontan saja Moza mendengkus, menyadari apa yang sedang lelaki itu rencanakan.
Tepat di depan pintu penghubung ke tangga darurat, langkah Moza terhenti. Ia berpikir sejenak. Haruskah ia membuka pintu itu?
Moza menghela napas setelah mengambil keputusan. tangannya terulur, memegang gagang pintu, kemudian mendorongnya.
"Long time no see."
Sesuai dugaan, Ridan sengaja mengarah ke tempat itu karena tahu sedang diikuti. Hal itu sekaligus membuktikan jika lelaki itu masih mengingatnya. Lelaki berinisial "R" yang setahun lalu memasuki rumah tanpa izin dan meninggalkan topi bersama secarik pesannya.
"Lo nggak lupa sama gue, kan?" tanya Ridan.
Lelaki itu menengadahkan telapak tangan di depan Moza. Membuat sebelah alis Moza terangkat tanda tak mengerti. Iris mata yang tadinya menatap telapak tangan kontan beralih ke wajah Ridan.
"Topi gue? Kan, ada di rumah lo," jelas Ridan.
Mendengar itu, Moza justru melangkah melewatinya menaiki tangga. "Udah gue buang!"
"Itu barang berharga, lho!" keluh Ridan seraya menyejajari langkah Moza.
"Kalau berharga, jangan asal ditinggalin di rumah orang yang nggak dikenal," balasnya dingin. Tampak tak tertarik dengan kata berharga yang Ridan lontarkan. "Emang waktu itu lo maling di rumah siapa?"
"Sialan. Gue bukan maling," elak Ridan setengah tertawa.
"Rampok? Jambret? Copet?"
"C'mon ... of course not," erang Ridan tak terima. "Emang gue punya tampang penjahat?"
Moza hanya mengendikkan bahu acuh tak acuh, memilih tak lagi menjawab, hanya terus melangkah naik dalam diam. Begitu pula Ridan yang mengikuti dengan anteng sambil sesekali melirik pada gadis itu.
Undakan anak tangga mereka lewati hingga akhirnya sampai di lantai tiga. Moza melangkah menuju sebuah kelas dengan puluhan kursi dengan satu layar putih besar di bagian depan. Gadis itu lantas menempati kursi di bagian tengah dekat dinding, lalu berbalik dan menatap Ridan yang masih setia mengikutinya.
"Gue pikir lo lupa," kata gadis itu.
Ridan mengangkat alis dan bahunya bersamaan. "Gue sempat nggak ngeh kalau lo itu cewek yang waktu itu. Penampilan lo kelihatan beda dari tahun lalu. Rambut pendek, pake kacamata, jaket--"
"Bukan gue," potong Moza, merasa omongan Ridan tidak nyambung dengan apa yang ia bicarakan. Ia lantas menurunkan tas punggungnya, merogoh sesuatu dari dalam kemudian menyerahkannya pada Ridan. "But, this!"
"Katanya dibuang?" Ridan menerima topi hitam miliknya dengan semringah.
"Gue nggak sejahat itu sama barang orang."
Ridan mengenakan topinya, lalu kembali melirik Moza yang kini tengah memainkan ponsel. Ia mengamati penampilan gadis itu. Kemeja lengan pendek biru muda berpadu dengan celana jeans hitam. Rambut sebahunya tahun lalu sudah lebih panjang sekitar sepuluh senti. Mata bulatnya tampak jelas tak terbingkai kacamata. Satu yang tak berubah dari penampilannya hanyalah wajah datar tanpa ekspresinya.
"Jadi, apa yang buat lo sembunyi waktu itu?" tanya Moza setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Ridan memosisikan diri di sebelah Moza, lalu mencondongkan tubuh mendekat ke telinga gadis itu. "Gue abis bunuh orang."
Moza tersenyum miring. "Lo pikir gue percaya?"
Ridan mengendikkan bahu. "Gue nggak minta lo percaya. But, I'm not lying."
"Seriously?" Moza berkerut dahi. Jelas tampak tak percaya, membuat Ridan untuk pertama kali dapat melihat mimik selain wajah innocent gadis itu meski hanya ekspresi tipis.
Ridan hanya tersenyum tanpa berniat menjawab. "By the way, gue udah bilang bakal traktir lo kalau kita ketemu lagi."
"Gue nggak butuh ditraktir," jawab Moza lugas sambil mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk.
"Tapi janji tetap janji," ujar Ridan tanpa mengalihkan fokusnya dari wajah manis Moza. Wajah yang baru Ridan lihat jelas berasal dari perkawinan campuran.
"Kalau gitu, ganti traktirannya dengan cukup jawab dua pertanyaan gue," kata Moza setelah sejenak berpikir.
"Oke. What?"
Moza menatap Ridan. "Pertama, malam itu lo ngapain? Lo bener bunuh orang?"
Ridan tergelak mendengar pertanyaan Moza. Tak ia sangka ternyata gadis itu benar-benar penasaran atas apa yang telah ia lakukan. "Yang kedua? Atau itu tadi udah termasuk dua?"
"Yang kedua, ada urusan apa lo sama Zita?"
Pertanyaan kedua membuat Ridan mengusap dagu, mengetuk-ketukkan telunjuk di depan bibir. Dua pertanyaan Moza punya jawaban yang saling berkaitan. Menjawab salah satunya adalah hal mudah, tapi menjawab keduanya bukanlah hal tepat.
Ridan menyandarkan punggung ke kursi. Ia bersedekap d**a, menatap lurus ke depan lalu berucap, "Moza Jenahara, usia 20 tahun. Putri tunggal berdarah campuran Indonesia-Jerman. Tinggal di Indonesia sama nenek sejak masuk SMP. Tapi, setelah nenek lo meninggal dua tahun yang lalu, lo stay di Jerman selama satu tahun."
Ridan menoleh dan mendapati Moza tengah menatapnya dengan raut terkejut. Satu lagi ekspresi baru yang Ridan lihat.
Ia lantas tersenyum dan kembali melanjutkan, "Ayah lo, Ludwig Meinhard, adalah pemilik perusahaan perangkat lunak multinasional di Jerman. Hmm ... keluarga lo termasuk dalam deretan orang kaya, ya, di Jerman?"
Ridan menyeringai atas beberan informasi yang ia berikan. Sedangkan Moza masih terdiam dengan dahi berkerut dalam.
"Dan yang menarik lagi, lo pemegang sabuk hitam karate. Sempat berlatih muay thai, pencak silat dan anti terror kampf. Am I right?" tukas Ridan.
Ekspresi Moza berubah dingin dengan mata menyipit penuh selidik.
"Gue juga penasaran sama beberapa hal." Ridan belum selesai pada serangan data yang ia jabarkan. "Kenapa lo memilih tinggal di Indonesia, padahal orang tua lo ada di sana? Dan ... apa menguasai karate nggak cukup sampai lo mencoba mempelajari jenis bela diri yang lain?"
"Were you spying on me?" tanya Moza dengan sebelah alis terangkat diiringi senyum sinis.
Ridan balas tersenyum penuh arti lalu berdiri. Ia melepas topi dari kepala dan memindahkannya ke kepala Moza. "Pulang kuliah, gue ke rumah lo. Lo pindah di sekitar sini, kan?"
"Lo bahkan tahu rumah gue," sarkas Moza sambil menyenggih tipis.
"Gue bahkan tahu sandi pintu rumah lo."
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.