Setahun yang lalu. Dua minggu sebelum Mila menghilang.
Dentum musik yang mengentak terdengar di seluruh penjuru klub malam. Adifa menyusuri koridor untuk ke luar dari tempat yang berisik itu setelah melakukan pengamatan. Namun, dari arah berlawanan, di antara ramainya lalu-lalang pengunjung diskotik, seorang gadis tak sengaja menabrak bahunya.
Sebuah benda hitam berbentuk silinder mirip seperti bulpoin terjatuh dan menggelinding ke dekat kaki Adifa. Adifa memungut benda itu, tapi dahinya langsung berkerut saat melihat benda itu dari dekat.
"Sori," ucap gadis tadi seraya merampas paksa benda itu, kemudian melenggang pergi menuju titik pusat tempat hiburan malam.
Adifa melanjutkan langkah, mencoba tak ambil peduli. Sayangnya, ada hal yang mengganjal hingga mengganggu benaknya. Dengan mendecak kesal, ia berbalik dan memilih mencari gadis itu.
Di ruangan remang yang hanya bermodalkan lampu sorot berputar-putar dan beberapa lampu hias warna-warni, Adifa mengedarkan pandang. Banyaknya pengunjung, terutama di lantai dansa menambah kesulitan baginya untuk menemukan gadis tadi.
Di tengah pengunjung yang asyik meliuk-liukkan badan mengikuti aliran musik, Adifa tak sengaja menabrak seorang pria. Menyadari siapa yang ia tabrak, Adifa jelas terkejut. Dengan cepat ia menutupi rasa kagetnya dengan basa-basi mengucap permintaan maaf. Pria yang ia tabrak hanya mengangguk tak acuh. Bukti jika pria itu, Galen, tak mengenal dan tak menghiraukannya.
Saat akan beranjak pergi, sepasang maniknya menangkap sosok gadis tadi berada tak jauh di belakang Galen. Gadis itu sedang menatap lurus ke arah Galen dengan tangan kanan mengepal sesuatu dengan erat. Tanpa perlu bertanya, ia bisa menebak apa yang akan gadis itu lakukan.
Buru-buru Adifa menghampiri sebelum hal buruk terjadi. Saat Adifa tepat di depannya, tangannya dengan cepat menahan tangan kanan gadis itu. Ia lantas membungkuk, menyejajarkan bibirnya dengan telinga si gadis.
"Cara lo terlalu ceroboh."
Usai mengatakannya, Adifa kembali menegakkan badan. Matanya menyorot gadis yang kini tengah meliriknya tajam. Seringaian iblis lantas terbit di sudut bibir gadis itu, bersamaan dengan sesuatu yang terasa dingin menempel di kulit tangan Adifa.
Adifa menggerakkan netranya ke bawah. Sebilah mata pisau kecil sudah bersiap menyayat punggung tangannya. Alis Adifa seketika bertaut. Ia tak merasakan adanya pergerakan, tapi pisau kecil yang tadinya berada di tangan kanan si gadis, kini sudah berpindah ke tangan kiri dengan posisi siap mengoyak kulit Adifa.
Dahi Adifa mengernyit saat merasakan benda tajam itu mulai merobek kulit arinya. Tanpa buang waktu, Adifa segera merampas benda tajam itu dan cepat-cepat menyeret gadis itu keluar.
Di gang sempit yang memisahkan dua gedung besar, Adifa baru melepaskan cekalan tangannya. Ia mengecek kondisi tangannya yang mendapat sedikit sayatan dari benda mirip bulpoin yang sebenarnya hanya sebuah pisau lipat.
"Gue lupa kalau biasanya pahlawan keluarnya saat malam." Gadis itu bersuara dengan nada mencemooh.
"Lepas jaket lo," perintah Adifa sambil melihat jaket trucker hitam milik si gadis.
Tanpa menghiraukan ucapan Adifa, gadis itu justru memutar badan untuk pergi. Namun, Adifa segera menarik kerah belakang jaketnya, menyentuh kedua ujung kerahnya, lalu dalam satu tarikan jaket hitam itu sukses terlepas dari tubuh si gadis.
Mengalami itu, si gadis justru tersenyum miring. Apalagi jaketnya justru dilempat begitu saja ke tanah. Ia lantas memutar tubuh dan menghadap Adifa. "Kenapa? Lo butuh tubuh gue?"
Kini giliran Adifa yang memasang senyum sinis. Tanpa menjawab, satu tangannya meremas kaos bagian bahu gadis itu, sedangkan tangannya yang lain menarik kaos bagian lengan dalam sekali entak hingga tersobek. Ia menggunakan sobekan kain itu untuk mengusap darah dan membalut tangannya yang terluka.
Si gadis mendengkus melihatnya, lalu berniat pergi. Akan tetapi, Adifa segera mengangkat satu kaki, menjejakkannya ke dinding untuk menghalau jalan keluar.
alu mengangkat pisau lipat yang sempat melukainya ke depan wajah gadis itu.
"Galen nggak akan mati dengan benda kayak gini," sindir Adifa sambil mengangkat pisau lipat yang melukainya ke hadapan gadis itu.
"Oh, ya?" Sebelah alis gadis itu terangkat diiringi senyum menantang.
"Of course," jawab Adifa sambil menurunkan kakinya.
"So, gimana kalau gue berhasil menusuk di ...." Gadis itu sengaja menggantung ucapan saat tangannya bergerak dengan cepat. Senyum gadis itu lagi-lagi tersungging ketika tangan Adifa tak kalah cepat menahan pergerakan tangannya yang hampir menusukkan ujung pisau ke bagian leher bawah.
Adifa menatapnya waspada. Entah bagaimana pisau yang beberapa saat lalu masih dipegangnya lagi-lagi sudah berpindah tangan. Telat sedikit saja, pisau itu pasti berhasil menancap di trakeanya.
"Nice catch!" puji gadis itu seraya menurunkan tangannya.
"Who are you?" tanya Adifa, matanya tak lepas memperhatikan si gadis yang tengah melipat pisau kecilnya dan memasukkannya ke saku celana.
"Lo sendiri?" balas gadis itu dengan senyum meremehkan. "Bodyguard Galen? Atau ... pacar laki-lakinya?"
"No, I'm not." Adifa tertawa ringan mendengar pertanyaan konyol gadis itu. Ia lantas maju selangkah, merapatkan jarak di antara mereka, menyentuh dagu lentik gadis itu dan mendongakkan wajahnya. "How about to be your lover?"
"Sorry, you're not my type," jawab gadis itu cepat sambil menepis tangan Adifa. "Next time, jangan ikut campur urusan orang lain, Bung!"
Gadis itu melenggang pergi. Meninggalkan Adifa yang masih terdiam di tempat. Dari dua kali cara gadis itu memindahkan pisau tanpa ia sadari, Adifa yakin gadis itu bukan gadis sembarangan.
Adifa menaikkan sebelah alisnya kemudian tersenyum. Bukankah musuh dari musuh adalah kawan?
Adifa mengekor di belakang. Tak terlalu kentara, tapi juga tak terlalu menyembunyikan aksinya dengan sengaja. Dan sesuai perkiraan, gadis itu berjalan tanpa tujuan pasti, hanya berputar-putar di jalanan itu karena tahu sedang diikuti. Adifa ikuti permainan si gadis, melihat siapa di antara mereka yang akan menyerah lebih dulu untuk mengakhiri aksi pura-pura ini.
Setelah hampir setengah jam gadis itu berbelok ke sebuah gang. Adifa masih mengikuti di belakang. Tepat setelah berbelok, ia sama sekali tidak terkejut saat mendapati gadis itu sudah menghadap ke arahnya dengan todongan pisau mini yang mengarah tepat di depan matanya.
"What, the, hell?" ucap gadis itu dengan menekan tiap katanya.
Adifa tersenyum. Ia menyampirkan jaket trucker hitam yang ditinggalkan begitu saja ke bahu pemilik. "I think, we have a common enemy. Mau kerja sama?"
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.