"Bukan apa-apa. Dia mikir gue kenalannya. Tapi salah orang," jelas Zita saat Theo menerjangnya dengan berbagai pertanyaan sekembalinya ia ke meja kantin. "Anyway, Moza ke mana?"
Zita celingukan mencari keberadaan Moza untuk mengalihkan pembicaraan. Ia enggan mendapat rentetan pertanyaan sepupunya yang terkadang terasa berlebihan meski tujuannya baik.
"Ke toilet," jawab Theo.
Zita manggut-manggut sambil menyesap sisa es jeruknya. Ekor matanya lantas menangkap keberadaan Iddar yang baru selesai memesan makanan, berjalan menuju meja mereka sambil membawa mangkok dan minuman dingin kemudian duduk di sebelah Kayla.
"Awas nggelinding tuh bola mata!" tegur Theo pada Kayla yang belum lelah terperangkap pesona Iddar.
"Sirik tanda tak mampu. Iri ya karena nggak seganteng Iddar?" cibir Kayla sengit.
"Berantem mulu, awas jodoh!" celetuk Iddar enteng.
"Gue aminin paling serius!" sahut Zita dengan anggukan mantap.
Theo dan Kayla kompak mendecih tak sudi, membuat Zita tertawa melihat respon sepasang musuh itu. Namun, tawanya langsung lenyap saat melihat Reinaldi datang menghampiri meja mereka. Situasi yang sungguh Zita benci.
Tak mau membuang waktu, Zita langsung berdiri, menyampirkan satchel bag-nya di pundak dan pamit pergi lebih dulu.
Melihat Zita pergi, Reinaldi berniat untuk menyusul. Namun, Theo lebih dulu menahannya dengan isyarat gelengan kecil. Sebuah ketegasan tanpa kata yang membuat Reinaldi menghela napas. Lelaki itu duduk di salah satu kursi, lalu meraup wajah dengan rasa frustasi.
Kayla yang melihat itu kontan berdiri untuk menyusul Zita. Iddar melihat gadis berambut brunette itu berjalan mengitari meja. Melangkah memutar di balik punggung Theo. Sebelum benar-benar berlalu, Kayla menoleh pada Iddar.Tatapan mereka bertemu di udara, membuat Iddar kontan melayangkan senyuman termanisnya.
...
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah setengah jam Zita duduk sendiri di halte untuk menunggu line angkot yang mengarah ke daerah indekosnya. Sepintas ia menyesal karena telah menolak tawaran Theo yang berniat mengantarnya tadi.
"Mbak," panggil seorang pemuda dengan gelas kertas berisi iced coffee di tangan kanannya. "Maaf, sebelumnya ... boleh saya pinjam hape-nya? Soalnya hape saya mati karena habis daya dan kebetulan saya ada janji penting sama teman. Saya takut kami simpangan jalan dan malan batal ketemu."
Zita menatap ragu pada pria bersurai hitam yang tengah berdiri di samping kanannya itu. Otaknya mengira-ngira, apakah itu salah satu kedok penipuan atau murni sebuah permintaan tolong?
Menyadari keraguan di wajah Zita, pria itu lantas memindahkan gelasnya ke tangan kiri. Tangan kanannya bergerak merogoh saku celana, mengeluarkan benda pipih warna putih, lalu memberikannya pada Zita.
"Saya bukan penipu. Ini hape saya kalau misal Mbak nggak percaya. Mbak bisa pegang sampai saya selesai telepon."
Dipandanginya benda yang tampak seperti ponsel keluaran terbaru, lalu beralih menatap pria itu lagi. Matanya kemudian turun untuk menyorot penampilannya.
Kemeja warna mustard dilapisi jaket trucker hitam, senada dengan celana bahan yang dikenakannya. Melihat gaya pakaian yang chic, pria itu tidak tampak seperti penipu. Atau, justru penipu jaman sekarang sudah upgrade dalam hal penampilan?
Lagi-lagi, Zita kembali memandangi wajah pria itu. Rambut yang sedikit panjang membingkai dahi dengan model sidebang-nya. Iris coklatnya terlihat terang bercahaya. Kulit langsat tampak mulus di wajah yang seperti tak pernah dihinggapi jerawat. Sebuah bintik hitam menambah aksen di dekat sudut kelopak mata sebelah kanan.
Melihat pria itu, Zita justru teringat Kayla. Mengenal Kayla selama satu tahun sudah cukup bagi Zita untuk memahami selera satu temannya itu. Ia yakin, Kayla pasti heboh jika melihat pesona pria yang kini ada di hadapannya.
Pada akhirnya, Zita meminjamkan ponsel dengan jaminan ponsel terbaru pria itu ada di tangannya. Meyakinkan diri bahwa pria itu benar sedang membutuhkan bantuan. Jaman sekarang memang sulit membedakan mana yang jujur dan menipu. Setidaknya penampilan pria itu cukup meyakinkan. Ditambah ponsel pria itu jelas lebih mahal dari ponsel Zita sendiri, walau sejujurnya ia sedikit skeptis jika itu hanya ponsel replika.
Ah, sudahlah.
"Terima kasih," ucap pria itu seraya menerima ponsel yang Zita ulurkan.
Zita memperhatikan saat ibu jari pria itu bergerak menekan layar, sebelum akhirnya menempelkan benda pipih itu ke telinga. Keraguannya sedikit berkurang saat mendengarnya memulai percakapan.
"Halo ini gue, Adifa," sapanya pada seseorang di balik telepon.
Zita mengalihkan pandangan ke arah lain. Bibirnya tersenyum tipis mendengar nama pria itu yang terdengar seperti nama perempuan.
"Ah, hape gue lowbat," lanjut pria itu. "Lo di mana?"
Zita mencoba tak mendengarkan, memilih kembali melihat ke jalanan untuk menunggu line angkotnya lewat.
"Oke."
Meski begitu, suara pria itu yang masih tertangkap indera pendengar Zita.
"Gue di halte depan Mandala .... Oke, siap .... Iya, sedikit ...."
"Akhhh ...," pekik Zita seraya berdiri.
Ia mengambil langkah menjauh sambil mengibas-ngibaskan lengan bawah cardigan serta menepuk celana bagian paha kanannya. Entah bagaimana cara pria itu memegang gelas kertasnya hingga tumpah mengenai Zita.
Menyebalkan.
Pria itu mengucapkan permintaan maaf, meletakkan gelasnya di kursi halte sambil berbicara di telepon untuk mengakhiri panggilannya.
Zita sibuk mengeluarkan tisu dari dalam tas kemudian mengusapkannya pada celana serta lengan cardigan yang terkena tumpahan kopi. Jika saja tadi posisi tangan Zita tidak berada di atas paha, mungkin celananya lebih basah dari sekarang.
"Maaf. Saya nggak sengaja." Pria itu terus mengucapkan penyesalan. "Itu cardigan-nya kamu lepas saja. Pasti lengket kalau masih dipakai," lanjut pria itu seraya melepaskan jaket trucker-nya dan mengulurkannya pada Zita. "Kamu pakai ini untuk nutup bagian celana yang basah."
Zita menatap jaket pria itu lalu menggeleng selagi melepaskan luaran kaos putihnya.
"Nggak perlu. Terima ka—"
Zita membelalakkan mata saat pria itu tiba-tiba mendekat dan melingkarkan jaket itu ke pinggangnya tanpa permisi. Mata Zita mengerjap bingung, tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan pria itu justru memasang senyum tak berdosa.
"Anggap ini sebagai permintaan maaf saya," ujar pria itu.
"Saya benar nggak apa-apa, kok!" Zita hendak melepaskan lilitan jaket, tapi dengan cepat ditahan pria itu.
"Tolong, jangan menolak. Kecuali kamu lebih suka saya antar pulang. Karena kita baru bertemu, saya yakin memakai jaket saya adalah pilihan terbaik daripada diantar pulang oleh pria asing," tuturnya. Pria itu lantas mengambil alih cardigan dari tangan Zita. "Dan cardigan ini, biar saya yang cuci."
"Nggak perlu, biar saya cuci sendiri," elak Zita.
"Anggap saja ini sebagai balasan terima kasih karena sudah meminjamkan hape. Please," mohon pria itu. "Kamu kuliah di sini, kan?"
Pria itu menoleh ke belakang, ke gerbang masuk kampus yang berada tak begitu jauh dari mereka.
Zita mengangguk ragu.
"Nanti saya titipkan cardigan-nya di pos keamanan kalau sudah bersih. Dan ... ini hape kamu." Pria itu menyerahkan kembali ponsel Zita. "Kebetulan saya buru-buru, jadi saya harus pergi."
Zita menerima ponselnya dan segera mengembalikan ponsel pria itu.
"Saya Adifa." Pria itu mengulurkan tangan. "Saya butuh tahu nama dan fakultas kamu kalau mau mengembalikan cardigan kamu. Setidaknya untuk note saat mau menitipkan di pos satpam atau ... kita ketemu lagi aja?"
Meski enggan, Zita membalas uluran tangan pria itu. "Zita, Fakultas Fisipol. Jurusan Ilmu Komunikasi. Titipin di pos aja, biar nggak repot."
Pria bernama Adifa itu mengangguk. "Fisipol? Ilmu Komunikasi? Wah, adik saya juga ada di fakultas yang sama. Sepertinya saya bisa titip sama dia."
Zita hanya tersenyum datar sebagai basa-basi. "Lalu ini jaket Anda gimana?"
"Hm? Ah." Pria itu lantas tersenyum. "That's yours!"
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.