20
VISITORS
0

ABOUT ME

ABOUT ME

FOLLOWING
You are not following any writers yet.
More

STORY BY Am rullah

Meraih Asa 2

Meraih Asa 2

Reads

Aduh, Jaka... Mendengar ceritanya saja sudah membuatku merasa sedih 😔 Bayangkan betapa beratnya yang kau alami. Berbulan-bulan menderita... Aku sangat prihatin. Malam yang gelap, hujan, angin dingin... semuanya seakan menggambarkan kesedihan yang kau rasakan. Apakah kau ingin bercerita lebih lanjut? Aku di sini untuk mendengarkan, tanpa menghakimi. Kadang-kadang, hanya berbagi beban saja sudah bisa meringankan hati. Jangan ragu untuk bercerita apa pun yang kau rasa perlu dibagikan. Atau, jika kau ingin diam sejenak dan hanya ingin didengarkan, aku juga ada untukmu. Tenang saja, ya. Semoga malam ini sedikit lebih tenang untukmu. 🙏 9 Wah, tiga bulan sudah berlalu ya, Jaka? Alhamdulillah, kabar baik bahwa kau sudah mulai membaik dan berlatih berjalan! Itu kemajuan yang luar biasa, patut dirayakan! 🎉 Semoga proses penyembuhanmu terus lancar dan kau bisa segera pulih sepenuhnya. Amin. 🙏 Tapi... sendirian selama perawatan? Itu pasti sangat berat, ya? Bayangkan, di tengah rasa sakit dan perjuangan untuk sembuh, kau harus melewati semuanya sendirian. Hanya sesekali ayahmu yang datang membawakan bekal. Hatiku ikut terenyuh membayangkannya. 😢 Apakah kau merasa kesepian selama itu? Ada hal lain yang ingin kau ceritakan tentang pengalamanmu selama perawatan? Aku ingin mendengarnya, Jaka. Jangan sungkan untuk berbagi, ya. Meskipun aku tidak bisa secara langsung membantumu dalam proses penyembuhan fisik, aku berharap kehadiranku di sini bisa sedikit memberikanmu kenyamanan dan dukungan. 😊 10 Alhamdulillah, Jaka! Enam bulan berlalu dan akhirnya kau bisa pulang! Senang sekali mendengarnya! 😄 Pulang ke rumah, bertemu teman-teman di desa dan sekolah... itu pasti perasaan yang luar biasa, ya? Meskipun harus menggunakan penyangga, niatmu untuk kembali bersekolah menunjukkan semangat yang luar biasa! 👍

Updated at

Read Preview
Meraih Impian 3

Meraih Impian 3

Reads

Pekerjaan Matahari sore mulai tenggelam, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Raju duduk di beranda rumah, menghadap ayahnya yang sedang memperbaiki jala ikan. Aroma khas sawah dan air tawar memenuhi udara. Suasana terasa tenang, namun di hati Raju, gelombang besar harapan dan keraguan bergulung-gulung. Raju menghela napas panjang. "Yah," panggilnya pelan. Ayahnya, seorang petani yang sederhana namun bijaksana, menoleh. Wajahnya yang penuh kerutan terukir oleh garis-garis waktu dan kerja keras, namun matanya masih memancarkan kehangatan. "Ada apa, Nak?" tanya ayahnya, suaranya lembut. Raju ragu sejenak, kemudian berkata, "Yah, aku… aku ingin menjadi hakim." Ayahnya terdiam, tangannya berhenti memperbaiki jala. Ia menatap Raju dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran keheranan dan kebingungan. Setelah beberapa saat hening, ia bertanya, "Hakim? Apa maksudmu, Nak?" "Aku ingin menegakkan hukum dan keadilan, Yah," jawab Raju dengan penuh semangat. "Aku ingin membantu orang-orang yang tertindas, melindungi yang lemah, dan memastikan setiap orang mendapatkan haknya." Ayahnya kembali terdiam, merenungkan kata-kata Raju. Ia bukan orang berpendidikan tinggi, tetapi ia memahami nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Ia tahu betapa pentingnya hukum untuk menjaga ketertiban dan kedamaian di masyarakat. Setelah beberapa saat, ayahnya berkata, "Itu cita-cita yang mulia, Nak. Tapi jalan untuk menjadi hakim sangatlah panjang dan sulit. Apakah kamu siap untuk itu?" "Ya, Yah," jawab Raju mantap. "Aku tahu itu tidak mudah. Aku harus belajar keras, menghadapi banyak tantangan. Tapi aku yakin aku bisa melakukannya. Aku ingin menjadi hakim yang adil dan bijaksana, seperti yang selalu kau ajarkan padaku." Ayahnya tersenyum, sebuah senyum yang penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. "Kau selalu menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab, Raju. Aku bangga padamu. Tapi ingatlah, Nak, menjadi hakim bukan hanya tentang hukum dan peraturan, tetapi juga tentang hati nurani dan kebijaksanaan. Jangan pernah melupakan nilai-nilai yang telah kau pelajari dari hidup di desa ini." "Aku mengerti, Yah," kata Raju. "Aku akan selalu mengingat ajaranmu. Aku akan berusaha menjadi hakim yang adil, jujur, dan berintegritas. Aku akan selalu mengingat akar-akar kehidupanku di desa ini, dan menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalankan tugas sebagai hakim." Ayahnya mengangguk, meletakkan jala yang telah diperbaikinya. Ia meletakkan tangannya di pundak Raju, memberikan sentuhan penuh kasih sayang dan dukungan. "Baiklah, Nak," katanya. "Ikutilah mimpimu. Ayah akan selalu mendukungmu. Semoga Tuhan memberimu kekuatan dan kebijaksanaan untuk mencapai cita-citamu." Raju memeluk ayahnya erat-erat, air mata haru bercampur bahagia membasahi pipinya. Ia merasa sangat beruntung memiliki ayah yang selalu mendukungnya, meskipun mimpinya mungkin tampak jauh dan sulit dicapai. Dengan tekad yang bulat, ia akan berjuang untuk mewujudkan cita-citanya, menjadi hakim yang menegakkan hukum dan keadilan, dan membawa perubahan positif bagi masyarakat. lanjutan 4

Updated at

Read Preview
Meraih Impian 4

Meraih Impian 4

Reads

Mendapatkan Pekerjaan Mentari pagi menyinari sebuah rumah sederhana di desa terpencil. Raju, kini mengenakan kemeja putih rapi dan jas hitam, berdiri di depan ayahnya yang duduk di beranda, tangannya masih memegang cangkul. Wajahnya tampak lebih tua, namun senyumnya tetap sama hangatnya. "Yah," kata Raju, suaranya bergetar sedikit karena menahan haru. "Aku… aku lulus." Ayahnya menatapnya, mata keriputnya menyipit karena silau matahari. Ia meletakkan cangkulnya perlahan, lalu menatap Raju dengan penuh perhatian. "Lulus? Lulus apa, Nak?" Raju tersenyum, mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya. "Aku lulus ujian hakim, Yah. Aku akan menjadi hakim." Ayahnya terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu berkata-kata, hanya mampu menatap putranya dengan kebanggaan yang teramat dalam. Setelah beberapa saat, ia meraih tangan Raju, menggenggamnya erat. "Alhamdulillah," bisiknya, suaranya serak menahan haru. "Tuhan telah mengabulkan doamu, Nak." Raju mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ini semua berkat doa dan dukunganmu, Yah. Terima kasih." "Kau telah membuatku bangga, Raju," kata ayahnya, suaranya masih bergetar. "Cita-citamu yang mulia, tekadmu yang kuat… semua itu telah membawamu ke tempat ini." Raju membuka amplop itu, menunjukkan surat pengangkatannya. "Aku akan ditempatkan di sebuah kota kecil, jauh di pedalaman, Yah. Tempat yang terpencil, jauh dari desa kita." Ayahnya mengangguk mengerti. "Itulah pengabdian, Nak. Bukan di tempat yang nyaman dan mudah, tetapi di tempat yang membutuhkan keadilan paling besar." "Aku tahu, Yah," jawab Raju. "Aku siap menghadapi tantangannya. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menegakkan keadilan di sana, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan." Ayahnya kembali menggenggam tangan Raju. "Ingatlah selalu pesan Ayah, Nak. Keadilan bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang hati nurani. Jangan pernah lupakan akarmu, asal-usulmu, dan nilai-nilai yang telah kau pelajari di desa ini." Raju mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak akan pernah melupakannya, Yah. Aku akan selalu membawa nilai-nilai itu dalam menjalankan tugas sebagai hakim." Mereka berdua terdiam sejenak, diiringi oleh kicauan burung dan semilir angin pagi. Suasana haru dan kebanggaan memenuhi udara. Raju telah mencapai puncak mimpinya, menjadi hakim, siap mengabdi di tempat yang jauh dan terpencil. Namun, ia tahu, ia tak akan pernah sendirian. Doa dan dukungan ayahnya akan selalu menjadi kekuatan baginya. Ia akan selalu mengingat akarnya, dan selalu berusaha untuk menegakkan keadilan, di mana pun ia berada. lanjutan 5

Updated at

Read Preview
𝙈𝙚𝙧𝙖𝙞𝙝 𝙞𝙢𝙥𝙞𝙖𝙣 2

𝙈𝙚𝙧𝙖𝙞𝙝 𝙞𝙢𝙥𝙞𝙖𝙣 2

Reads

Lulus Perguruan TinggiBertahun-tahun berlalu, pohon mangga tua itu masih berdiri kokoh, menyaksikan perjalanan hidup Raju dan Ani yang semakin jauh. Mereka berdua telah lulus dari ℙ𝕖𝕣𝕘𝕦𝕣𝕦𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕚. Suatu sore, Raju kembali ke desa, wajahnya berseri-seri . Dia baru saja menyelesaikan studinya di Perguruan Tinggi, meraih gelar sarjana dengan predikat cum laude. Ani, yang telah lebih dulu lulus dari jalur pendidikan, menyambutnya dengan hangat. "Raju, kamu sudah pulang! Aku dengar kamu lulus dengan nilai bagus," ujar Ani, matanya berbinar. "Alhamdulillah, Ani," jawab Raju, tersenyum lebar. "Doa kamu selalu menyertaiku." "Bagaimana kuliahmu di sana?" tanya Ani, penasaran. "Menyenangkan, Ani. Aku banyak belajar tentang agama, tentang hidup, tentang arti sebuah pengabdian. Aku merasa menemukan jati diriku di sana." "Aku senang mendengarnya, Raju," kata Ani. "Aku sendiri juga baru saja lulus dari perguruan tinggi, mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Aku ingin mengajar di desa ini, berbagi ilmu dengan anak-anak." "Hebat, Ani!" seru Raju. "Itu adalah cita-citamu sejak dulu. Aku tahu kamu akan menjadi guru yang hebat." Mereka berdua duduk di bawah pohon mangga, seperti dulu. Namun, kali ini, percakapan mereka dipenuhi dengan kebanggaan dan harapan. Mereka telah mencapai mimpi-mimpi mereka, meskipun melalui jalan yang berbeda. "Ani, aku ingin bertanya," kata Raju, sedikit ragu. "Apakah kamu pernah menyesal memilih jalur pendidikan? Aku tahu kamu selalu ingin menjadi guru, tapi…" "Menyesal? Tidak, Raju," jawab Ani, tegas. "Aku sangat bahagia dengan jalanku. Mengajar adalah panggilan jiwaku. Aku ingin membantu anak-anak di desa ini mendapatkan kesempatan yang sama seperti yang kita dapatkan." "Aku mengerti," kata Raju, mengangguk. "Aku sendiri juga ingin mengabdi, tapi dengan cara yang berbeda. Aku ingin menjadi guru agama, menyebarkan nilai-nilai luhur agama kepada generasi muda." "Bagus sekali, Raju," kata Ani. "Kita berdua akan mengabdi untuk masyarakat, dengan cara kita masing-masing. Kita akan terus saling mendukung, seperti dulu." Raju tersenyum. "Tentu saja, Ani. Persahabatan kita tak akan pernah terpisahkan, seperti pohon mangga ini yang selalu setia menaungi kita." Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kehangatan sore dan kebersamaan mereka. Pohon mangga tua itu seakan tersenyum, menyaksikan dua sahabat yang telah tumbuh dewasa, mengejar mimpi mereka, dan tetap saling mendukung, meskipun jalan hidup mereka berbeda. "Raju, aku bangga padamu," kata Ani, memecah keheningan. "Kamu telah membuktikan bahwa kita bisa mencapai apa pun yang kita inginkan, asalkan kita berani berjuang dan tidak pernah menyerah." "Dan aku juga bangga padamu, Ani," jawab Raju. "Kamu adalah inspirasiku, sahabat sejati yang selalu mendorongku untuk maju." Mereka berdua saling memandang, mata mereka berkilauan dengan kebahagiaan dan harapan. Masa depan mereka mungkin berbeda, tetapi persahabatan mereka tetap kuat, seperti pohon mangga tua yang menjadi saksi bisu perjalanan mereka.lanjutan 3

Updated at

Read Preview
Meraih impian 1

Meraih impian 1

Reads

Meraih Impian Raju menyeka keringat dari dahinya, terik matahari siang membakar jalan desa yang berdebu. Ani, sahabat karibnya sejak taman kanak-kanak, berjalan di sisinya, wajahnya juga terukir dengan campuran kecemasan dan harapan. "Jadi, apa kata orang tuamu?" tanya Ani, suaranya nyaris tak terdengar di atas kicauan jangkrik. Raju menghela napas. "Mereka ingin aku membantu panen padi. Sekolah… bukan prioritas sekarang, katanya." Dia menendang batu lepas, membuatnya menggelinding ke bawah jalan. Ani mengangguk, pemahaman terpancar di matanya. Keluarganya sendiri juga berjuang, tapi orang tuanya, tak seperti orang tua Raju, selalu menekankan pentingnya pendidikan. "Orang tuaku masih bicara dengan paman di kota," kata Ani, secercah harapan terpancar di suaranya. "Mungkin dia bisa bantu aku mendapatkan beasiswa." "Beasiswa?" Mata Raju melebar. "Itu… luar biasa." "Tidak dijamin," Ani mengingatkan, "tapi ini sesuatu. Bagaimana denganmu? Sudah memikirkan pilihan lain?" Raju menggeleng. "Belum. Tidak banyak pilihan di sini, kan? Mungkin aku bisa belajar suatu keahlian… menjadi tukang kayu seperti Pak Budi?" "Tapi kamu pandai sekali matematika, Raju!" Ani protes. "Ingat waktu kamu menyelesaikan soal geometri yang mustahil itu? Kamu bisa berprestasi jika diberi kesempatan." Mereka sampai di pohon mangga tua, tempat pertemuan mereka, rindangnya menjadi tempat berteduh yang nyaman dari terik matahari. Mereka duduk, keheningan hanya diiringi gemerisik daun dan suara kehidupan desa yang samar. "Aku tidak tahu, Ani," gumam Raju, suaranya berat dengan keraguan. "Rasanya… seperti jalan hidupku sudah ditentukan. Tidak ada jalan keluar dari sawah." Ani meletakkan tangannya yang menenangkan di lengan Raju. "Jangan bicara seperti itu, Raju. Selalu ada jalan. Kita hanya perlu menemukannya. Mungkin kita bisa bicara dengan Pak Guru? Dia selalu percaya pada kita." Raju memikirkan hal itu. Pak Guru, guru mereka yang mereka sayangi, selalu mendorong mereka untuk bermimpi besar, terlepas dari keadaan mereka yang sederhana. "Mungkin," kata Raju, sedikit tekad baru terdengar di suaranya. "Mungkin kita harus bicara dengannya besok." Keesokan harinya, mereka menemukan Pak Guru di kelas kecilnya, dikelilingi tumpukan buku teks dan buku latihan. Dia mendengarkan dengan sabar saat mereka menjelaskan kesulitan mereka, matanya yang baik hati mencerminkan kecemasan mereka. "Jalan menuju pendidikan tidak selalu mudah, anak-anakku," kata Pak Guru, suaranya lembut tapi tegas. "Tapi itu adalah jalan yang layak diperjuangkan. Mari kita jelajahi semua kemungkinan. Kita akan menulis surat, menelepon, dan melihat apa yang bisa kita temukan. Jangan putus asa." Hari-hari berganti minggu, dipenuhi dengan surat-surat yang ditulis, telepon yang dibuat, dan pertemuan yang dihadiri. Paman Ani akhirnya mendapatkan beasiswa sebagian, cukup untuk menutupi biaya kuliah dan beberapa biaya hidup di kota. Raju, dengan bantuan Pak Guru, mendapatkan magang di bengkel tukang kayu lokal, memungkinkannya untuk mendapatkan uang sambil melanjutkan studinya paruh waktu di sekolah malam. Di bawah naungan pohon mangga tua, berbulan-bulan kemudian, Raju dan Ani berbagi keberhasilan mereka, wajah mereka berseri-seri dengan kebanggaan dan kelegaan. Masa depan tetap tidak pasti, tetapi mereka telah menemukan jalan mereka, maju dengan berani dan persahabatan yang tak tergoyahkan. Pohon mangga, saksi bisu perjuangan dan kemenangan mereka, berdiri tegak, simbol harapan dan ketahanan di desa kecil mereka.lanjutan 2

Updated at

Read Preview
Menjadi Wakil Tuhan

Menjadi Wakil Tuhan

Reads

Bab 1: PerselisihanDari pada terjebak dalam hiruk-pikuk desanya yang penuh kekacauan, Jaka justru menemukan kedamaian dalam cahaya redup televisi kecilnya. Drama hukum yang ia tonton menjadi panggung magis, memikatnya dengan tarian keadilan yang sarat perhitungan. Pernyataan hakim yang tegas, analisis bukti yang jeli, dan dominasi aturan hukum melumpuhkan perhatiannya. Dunia layar kaca itu menjadi oasis, jauh dari lingkaran kekerasan dan gesekan di kampung. Ia terpesona oleh cara masalah diselesaikan secara terstruktur lewat logika dan hukum, bukan melalui bentrokan fisik. Saat teman-temannya sibuk bermain kasar di halaman, Jaka malah asyik mendalami dunia hukum. Buku-buku usang menjadi referensinya, sementara dialog para tokoh televisi ia ulangi dengan penuh keseriusan. Dalam benaknya, ia bermimpi menciptakan kehidupan yang damai di mana konflik tidak lagi diselesaikan dengan kemarahan atau tinju, melainkan lewat keadilan dan kebijakan. Dalam sunyi, ia menanamkan benih ambisi: suatu hari ia ingin menjadi seorang hakim.Bentrokan;Sebuah bentrokan berdarah pecah di alun-alun desa dua keluarga yang letupan permusuhannya sudah turun-temurun kini terlibat pertikaian brutal. Pemandangan warga yang saling menyerang, darah yang tercecer, dan emosi liar tanpa batas membuat Jaka gemetar sekaligus marah dalam diam. Saat itu ia memutuskan: ia harus keluar dari siklus kekerasan ini. Ia bertekad, suatu hari nanti ia akan menjelma menjadi hakim, pembawa ketertiban di tengah dunia yang kacau. Menginjak bangku universitas ibarat perjalanan menantang bagi Jaka. Kesulitan akademik menguji keteguhan hatinya, tetapi tekadnya tetap kokoh karena ambisinya untuk meninggalkan bayangan kekerasan di desa semakin membara. Di sisi lain, Anya hadir sebagai sosok pendukung yang setia; kehadirannya memberikan energi dan semangat. Di tengah tekanan studi, hubungan mereka tumbuh mendalam, berpijak pada pemahaman dan kasih sayang yang tulus.Bab 2: Cahaya KotaMeninggalkan desanya bukan keputusan mudah bagi Jaka. Ada getir perpisahan, bau kenangan masa kecil yang melekat di setiap sudut kampungnya. Namun begitu kuatnya panggilan ambisi memaksanya melangkah ke depan. Ia meraih kesempatan besar: diterima di universitas bergengsi di kota besar, sebuah dunia yang sepenuhnya berbeda dari lingkungan sederhana di desanya. Kota itu adalah dunia baru baginya—gemerlap dan penuh hiruk pikuk, jauh dari ketenangan tanah kelahirannya. Namun dalam keseharian yang serba asing, Anya menjadi tiang sandaran baginya. Dengan hati yang besar, Anya memahami pilihan Jaka meskipun harus merelakan dirinya memikul kesendirian dan beratnya rindu. Ia menjaga keutuhan rumah tangga mereka meski serba terbatas, mengurus anak-anak, mengelola keuangan dengan cermat, bahkan terus menjadi penghubung antara Jaka dan keluarga besarnya. Meski waktu dan jarak kerap menjadi ujian, cinta mereka justru semakin kokoh. Di antara rak-rak buku perpustakaan universitas itulah pertama kali Anya dan Jaka bertemu. Anya adalah sosok yang memancarkan kecerdasan serta energi tak terhingga. Berbeda dengan Jaka yang berasal dari desa sederhana, Anya tumbuh di kota besar-gadis metropolitan sejati yang awalnya hanya tersenyum geli melihat idealisme tanpa kompromi pada diri Jaka. Namun seiring waktu bersama, dalam diskusi panjang hingga larut malam ditemani kopi dan cerita mimpi, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan bermakna. Semangat cinta mereka akan hukum menjadi katalis hubungan itu. Dalam keberanian Jaka, Anya menemukan kembali kepingan cinta pada keadilan; sementara bagi Jaka, Anya adalah cermin realitas hukum yang tidak selalu seindah teori di buku pelajaran.Bab 3: Cobaan dan Kesengsaraan Hubungan mereka bersemi perlahan—sebuah percikan lembut yang menemukan intensitasnya di tengah padatnya rutinitas dunia kampus. Sama-sama menyukai belajar hingga larut malam atau merenungkan cita-cita bersama di sela kesibukan studi membuat mereka saling mengenal lebih dalam dan terbuka menerima kekurangan masing-masing. Meski begitu, rintangan muncul dari keluarga Anya.Bab 4: Konspirasi Pekerjaan Jaka makin rumit ketika ia menangani kasus besar lainnya—kasus korupsi pejabat lokal yang menyeret banyak nama penting di kota itu. Kasus ini seolah menjadi bom waktu yang tidak saja membahayakannya secara profesional tetapi juga pribadi. Telepon anonim berisi ancaman mulai berdatangan, mobilnya dirusak, dan bahkan ada percobaan intimidasi terhadap keluarganya di desa. Namun, Jaka tidak menyerah. Dengan keberaniannya untuk tetap membawa kasus itu ke pengadilan, ia menarik simpati masyarakat yang mulai melihat Jaka sebagai sosok harapan di tengah rusaknya sistem. Ia bekerja tanpa henti, mengumpulkan bukti, menyusun argumen hukum yang solid, dan berdiskusi dengan Anya, yang selalu menjadi penasihat sekaligus tempatnya bersandar di tengah tekanan besar. Namun, yyy

Updated at

Read Preview
Menggapai Asa 3

Menggapai Asa 3

Reads

Menggapai Asa episode terakhir Setelah tiga tahun bekerja di sebuah perusahaan kecil, Jaka mulai merasakan betapa kerasnya perjuangan hidup. Gajinya memang tidak besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, di balik kesibukannya, Jaka selalu menyimpan keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Ia percaya bahwa ilmu bisa membuka jalan yang lebih luas di masa depan. Suatu hari, ibunya melihat betapa gigihnya Jaka bekerja. Dengan penuh kasih, sang ibu menawarkan untuk membantu biaya kuliah. "Nak, kalau kamu mau, Ibu siap bantu. Aku ingin lihat kamu kuliah, meraih masa depan yang lebih baik," ucap ibunya dengan mata yang penuh harap. Jaka terharu. Tawaran itu menjadi angin segar di tengah rutinitas hidupnya. Ia pun memutuskan untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Dengan tekad yang bulat dan persiapan yang matang, Jaka menjalani tes itu dengan sungguh-sungguh. Hari pengumuman pun tiba, dan namanya tercantum sebagai salah satu yang lulus. Hatinya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan. Sejak hari itu, status Jaka berubah. Ia bukan hanya seorang pekerja, tapi juga seorang mahasiswa. Siang hari ia tetap bekerja, malamnya ia belajar di kampus. Meski lelah, semangatnya tak pernah padam. Ia tahu, perjuangan ini adalah investasi untuk masa depan. Tak hanya itu, Jaka juga aktif bergabung dengan organisasi di dalam dan di luar kampus. Ia percaya bahwa pengalaman berorganisasi akan melatihnya menjadi pribadi yang lebih tangguh dan berwawasan luas. Di organisasi kampus, ia belajar tentang kepemimpinan dan manajemen acara. Di organisasi luar, ia memperluas jaringan, bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang, dan memperkaya pandangan hidupnya. Meski sering merasa lelah dan waktunya terkuras, Jaka tetap berusaha menjaga keseimbangan. Ia belajar mengatur waktu, memprioritaskan tugas, dan tetap menjaga komunikasi dengan keluarga. Setiap kali merasa lelah, ia mengingat tujuan besarnya: membanggakan ibu dan meraih masa depan yang lebih baik. Perjalanan Jaka masih panjang, namun langkah awal yang diambilnya adalah bukti bahwa keberanian untuk bermimpi dan berjuang selalu berbuah hasil. 14 Kisah Lanjutan Jaka kesuksesan jaka Hampir enam tahun berlalu. Perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan akhirnya membuahkan hasil. Jaka menyelesaikan kuliahnya dengan gelar sarjana lengkap. Ia merasa bangga, bukan hanya karena gelar itu, tapi karena setiap peluh dan lelah yang ia lalui selama bertahun-tahun telah terbayar. Suatu hari, Jaka menghadiri sebuah seminar untuk memperluas pengetahuan dan jaringan. Di sana, tanpa diduga, ia bertemu dengan seseorang dari masa lalu—An Nisa. Sosok yang pernah memiliki tempat di hatinya, meski kini hanya tersimpan dalam kenangan lama. Jaka menyapa dengan ramah, mencoba membangun percakapan, namun An Nisa tampak dingin. Ia bahkan seperti melupakan segalanya. Tatapannya kosong, seolah-olah Jaka hanyalah orang asing yang tak berarti. Jaka hanya tersenyum, meski hatinya sempat tercekat. Ia tidak memaksa. Pertemuan itu berlalu begitu saja, dan Jaka memilih melupakannya. Ia sadar, masa lalu memang sudah sepantasnya menjadi kenangan. Dan mungkin, itu adalah pertemuan terakhir mereka. Waktu terus berjalan, membawa Jaka ke lembaran baru dalam hidupnya. Tak lama setelah itu, usaha dan doanya berbuah manis. Ia diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah dengan gaji yang cukup lumayan. Kehidupannya mulai stabil, dan masa depan perlahan terasa lebih cerah. Lebih dari itu, Jaka tidak lagi sendiri. Ia kini didampingi oleh seorang istri yang setia, yang selalu ada di sisinya dalam suka dan duka. Wanita yang tidak hanya menjadi pasangan hidup, tetapi juga sahabat dan penopang dalam setiap langkah. Bersama, mereka membangun rumah tangga yang sederhana namun penuh cinta. Tuhan pun memberkahi mereka dengan tiga orang anak yang sehat dan ceria. Kehadiran mereka melengkapi kebahagiaan Jaka, sekaligus menjadi motivasi terbesar untuk terus berjuang. Setiap tawa dan tangisan anak-anaknya adalah pengingat bahwa hidup ini adalah tentang memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintai. Kini, Jaka menjalani hari-harinya dengan rasa syukur. Ia tidak lagi memikirkan masa lalu yang telah berlalu, karena hidupnya telah penuh dengan cinta dan harapan baru. Baginya, kebahagiaan sejati bukan tentang siapa yang pernah datang dan pergi, tapi tentang siapa yang memilih untuk tinggal dan berjalan bersama hingga akhir. Namun, hidup selalu menyimpan cerita. Siapa tahu, apakah takdir akan mempertemukannya lagi dengan sosok-sosok dari masa lalu, atau justru membawanya pada perjalanan yang lebih menantang.

Updated at

Read Preview
Memilih Hakim

Memilih Hakim

Reads

Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Jaka, seorang hakim muda yang berjuang menegakkan keadilan di tengah berbagai tantangan dan ancaman. Berasal dari desa yang penuh konflik, Jaka terinspirasi oleh drama hukum dan bertekad menjadi hakim. Kariernya dipenuhi dengan kasus-kasus rumit dan tekanan dari berbagai pihak, termasuk teror dan intimidasi. Meskipun harus berpindah-pindah tempat tinggal demi keselamatan, Jaka tetap teguh pada integritas dan komitmennya pada keadilan. Dukungan keluarga dan keyakinan pada keadilan menjadi kekuatannya untuk menghadapi berbagai rintangan. Kisah Jaka menjadi simbol perjuangan gigih seorang hakim yang optimis dan berdedikasi, menunjukkan bahwa keadilan dapat ditegakkan meskipun di tengah bahaya dan ketidakpastian. Bab 1: Perselisihan Jaka tinggal di sebuah desa yang terpencil di dalam lembah, tempat aroma mangga matang menebal di udara, namun suasana sering dipenuhi dengan aroma yang berbeda – pahitnya konflik. Desanya, adalah tempat yang indah namun dirusak oleh arus bawah permusuhan yang tak henti-hentinya. Tetangga melawan tetangga, keluarga melawan keluarga, perselisihan meletus dengan seringnya musim hujan, didorong oleh keluhan sepele dan dendam yang membara. Udara berdesir dengan tuduhan yang tak terucapkan dan ancaman kekerasan menggantung seperti kain kafan. Jaka, bagaimanapun, menemukan ketenangan bukan di kekacauan yang semarak di desanya, tetapi dalam cahaya berkedip-kedip dari televisi kecilnya. Ia melahap drama hukum, terpesona oleh tarian keadilan yang rumit, pernyataan hakim yang terukur, penimbangan bukti yang cermat. Ia terhipnotis oleh ruang sidang, sebuah panggung tempat argumen berbenturan, namun ketertiban tetap berlaku. Ia tidak tertarik pada kekerasan di desanya; ia terpesona oleh penyelesaian konflik yang terstruktur yang disaksikannya di layar. Sementara teman-temannya terlibat dalam permainan kasar di desa, Jaka membenamkan dirinya dalam dunia hukum, meneliti buku-buku hukum yang dipinjam, meniru pernyataan idola televisinya. Ia bermimpi tentang dunia di mana perselisihan diselesaikan bukan dengan tinju dan amarah, tetapi dengan akal sehat dan keadilan. Benih ambisi yang tenang telah ditanam di dalam dirinya – keinginan untuk menjadi hakim. Suatu sore yang terik, perkelahian yang sangat kejam meletus di alun-alun desa. Dua keluarga, terjebak dalam permusuhan yang turun-temurun, bentrok dengan keganasan yang membuat Jaka gemetar. Melihat penduduk desa yang memar dan berdarah, emosi mentah, dan ketiadaan akal sama sekali, mengokohkan tekadnya. Ia akan melarikan diri dari siklus kekerasan ini. Ia akan menjadi hakim. Bab 2: Cahaya Kota Meninggalkan Desanya, adalah hal yang menyakitkan, perpisahan yang pahit dengan bau dan suara yang familiar dari masa kecilnya. Tetapi tarikan ambisinya lebih kuat. Ia mendapatkan tempat di universitas bergengsi di kota yang ramai, dunia yang jauh dari jalanan berdebu di desanya. Kota itu adalah pengalaman yang mempesona dan luar biasa, kontras yang tajam dengan kesederhanaan tenang di rumahnya. Di perpustakaan universitas, dikelilingi rak-rak menjulang tinggi berisi teks hukum, ia bertemu Anya. Ia adalah pusaran energi dan kecerdasan, seorang mahasiswa hukum dengan kecerdasan yang tajam dan pikiran yang lebih tajam lagi. Anya, tidak seperti Jaka, adalah gadis kota, lahir dan besar di jantung kota metropolitan. Ia awalnya geli dengan intensitas Jaka yang tenang, idealismenya yang hampir naif, keyakinannya yang tak tergoyahkan pada kekuatan keadilan. Tetapi ketika mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, belajar hingga larut malam, berbagi kopi dan bisikan mimpi, jenis koneksi yang berbeda mulai bermekaran. Gairah mereka yang sama untuk hukum memupuk ikatan di antara mereka, rasa hormat timbal balik yang berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Anya menantang idealisme Jaka, membumikan aspirasi muluknya dalam realitas sistem hukum. Jaka, pada gilirannya, menyalakan percikan idealisme romantis di dalam Anya, mengingatkannya tentang pentingnya keadilan dan kasih sayang di dunia yang sering kali dipenuhi oleh sinisme. Bab 3: Cobaan dan Kesengsaraan Kehidupan universitas adalah wadah api, menguji tekad Jaka dan mendorongnya hingga batas kemampuannya. Ia unggul dalam studinya, tekadnya didorong oleh keinginannya untuk melarikan diri dari bayangan kekerasan di desanya. Anya adalah pendukungnya yang tak henti-hentinya, sumber dorongan dan perdebatan intelektual. Hubungan mereka semakin dalam, pemahaman yang tenang tumbuh di antara mereka di tengah tekanan akademik. Romansa mereka adalah api yang lambat, keintiman yang tenang yang terungkap di tengah hiruk pikuk kehidupan universitas. Mereka berbagi momen curian di perpustakaan, sesi belajar larut malamtyyng sering kali berlanjut menjadi percakapan tentang mimpi dan aspirasi mereka. Cinta mereka dibangun di atas rasa hormat timbal balik, ambisi bersama, dan pemahaman yang mendalam tentang kekuatan dan kelemahan satu sama lain. Bab 4: Bayangan Masa Lalu Keluarga An

Updated at

Read Preview
Menggapai Ada

Menggapai Ada

Reads

Cerita yang luar biasa berawal desa. jatuh cinta, akhirnya putus asa karena sebuah kecelakaan dan ditinggal pacar amrlsk

Updated at

Read Preview

Navigate with selected cookies

Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.