"Cinta itu prosesnya kadang serumit Matematika."
~Sunarti~
***
"Buat apa lagi anda kesini?" kalimat itu ditujukan Barra pada laki-laki yang kini duduk dengan begitu angkuhnya di kursi ruang tamunya.
Dengusan pelan dari laki-laki itu menimbulkan kerutan halus di kening Barra.
"Apa seperti itu cara mamamu mendidikmu selama ini?" sindirnya dan itu berhasil menyulut api emosi Barra. mengepalkan tangannya erat berharap ia tidak akan melayangkan tinjunya pada laki-laki tua yang ada di hadapannya itu.
"Bukankah papa sudah pernah menawarkan padamu agar ikut bersama papa bukan dengan wanita s****n itu." Laki-laki yang menyebut dirinya sebagai 'papa' itu menyilangkan kakinya seraya bersandar di sofa dengan kedua tangan terentang bertumpu pada sandaran sofa. Laki-laki itu masih sama seperti sebelumnya tepatnya seperti kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana ia begitu angkuh dan sombong.
"Jika waktu itu kamu memilih untuk ikut bersama papa, kehidupanmu tidak akan seperti ini."
"Kehidupan apa yang anda maksud?" jawab Barra cepat bahkan terlalu cepat hingga membuat lagi-lagi laki-laki paruh baya itu tertawa mengejek.
"Ayolah Barra, papa yakin kamu tidak cukup bodoh untuk menanyakan hal itu."
Mengepalkan tangannya semakin erat, Barra lalu berjalan ke kamarnya. Ia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk meladeni laki-laki yang telah memberikan nama belakangnya itu pada Barra, Hanggono.
Dan Barra juga cukup pintar bahwa perdebatan mereka itu tidak akan pernah berakhir dengan baik. Bahkan pertemuan terakhir mereka berakhir dengan Hanggono yang masuk rumah sakit. Bagaimana mungkin laki-laki paruh baya itu tidak masuk rumah sakit jika saat itu Barra tidak berhenti melayangkan pukulannya di wajah Hanggono. Meskipun Usia Barra saat itu masih sangat muda, tapi ia cukup tahu bahwa seseorang yang selama ini di panggilnya dengan sebutan 'papa' tidak lebih baik dari seekor binatang.
Hanggono sudah benar-benar menyakiti hatinya dan juga hati Ibunya bahkan sampai detik ini ingatan pada kejadian malam itu tidak akan bisa dilupakan oleh Barra. Dan ia juga tidak akan pernah lupa bahwa karena perbuatan laki-laki itulah, Ibunya harus mendapatkan perawatan khusus dari dokter. Ya, ibunya dulu mengalami deperesi. Depresi yang begitu hebat. Meskipun saat ini kondisi ibunya sudah jauh lebih baik tapi Barra tetap tidak ingin mengambil resiko terlebih jika itu berhubungan dengan ibunya.
Tepat setelah Barra menginjakkan kakinya di undakan tangga yang pertama, kalimat yang keluar dari bibir Hanggono berhasil menghentikan langkah kaki Barra.
"Akan papa pastikan kamu akan datang kepapa, merangkak dan memohon agar papa bisa menerimamu. Dan papa juga pastikan hari itu akan segera tiba Barra. kamu hanya perlu bersiap-siap." Dan Hanggono langsung berdiri dari sofa, memperbaiki jas yang di pakainya sebelum akhirnya ia melangkah keluar dari rumah Barra. Bahkan di balik Usianya yang mulai menua laki-laki itu masih terlihat bugar dan mendominasi.
Rahang Barra mengeras. Sorot matanya tajam penuh luka, Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ibunya bisa begitu mencintai laki-laki seperti itu? Bahkan jika Barra bisa memilih ia lebih baik tidak pernah dilahirkan ke dunia daripada harus lahir dari benih laki-laki seperti itu.
Melanjutkan kembali langkahnya ke kamar, Barra membuang nafasnya berat, ia sama sekali tidak siap dengan kembalinya laki-laki itu kedalam hidupnya. Barra tahu, setelah hari ini Hanggono akan selalu mengganggu hidupnya, dan Barra harus mempersiapkan diri akan hal itu, dia tidak ingin berperang tanpa mempersiapkan apapun.
Sesampainya di kamar, Barra langsung melempar asal tasnya. ia melepas seragam sekolahnya lalu melemparnya ke keranjang khusus pakaian kotor. Jujur saja Barra masih tidak percaya bahwa laki-laki yang masih menyebut dirinya sebagai 'papa' nya itu masih berani menampakkan batang hidungnya di depan Barra setelah apa yang di perbuatnya beberapa tahun yang lalu di depan kedua matanya dan juga ibunya. Bahkan Barra bisa menjamin bahwa laki-laki itu kini jauh lebih b******k dari terakhir kali Barra melihatnya.
Memijit pelipisnya pelan, Barra melangkahkan kakinya ke kamar mandi, ia ingin mendinginkan pikirannya yang tiba-tiba memanas. Suasana hatinya juga sedang tidak baik sekarang.
Tidak cukup waktu lama untuk Barra membersihkan tubuhnya karena setelah beberapa menit kemudian ia sudah keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang jauh lebih segar dari sebelumnya.
Melirik ponselnya yang ada di atas nakas Barra lalu melangkah ke arah ponselnya yang bergetar di atas sana sebelum akhirnya menyentuh layarnya dan menggesernya ke kanan.
"Gimana?" tanyanya tanpa basa basi saat melihat nama Derry yang berkedip di layar ponselnya itu.
"Woyy.. sabar Bro, ucap salam kek, halo kek, atau apa gitu. Jangan langsung nanya aja. Berasa gue di introgasi tahu nggak?"
Barra meringis mendengar nada protes dari sahabatnya. "Hahaha.. sorry.. sorry... Gue terlalu bersemangat. Tapi gue serius, gimana? Udah lo kasih?"
"Udah. Puas Lo!" Dengusnya dan ucapannya itu berhasil membuat suasana hati Barra semakin membaik.
Tadi, Barra memang meminta izin untuk pulang lebih awal dari sekolah setelah salah satu asisten rumah tangganya menghubunginya dan mengatakan bahwa ayahnya datang ke rumahnya. Sesuatu yang tidak pernah di sangka-sangka oleh Barra sebelumnya. Karena itu jugalah Barra tidak bisa ikut bergabung untuk membagi-bagikan coklat pada siswi yang memiliki nama dengan huruf depan 'S' bersama dengan sahabat-sahabatnya itu. walaupun sebenarnya semua itu hanyalah alasan Barra untuk memberikan coklat pada Starla. Agar gadis itu bisa mengisi perutnya dengan makanan karena mengingat tindakannya yang tidak menyentuh makanannya sama sekali di kantin tadi.
Mengingat hal itu Barra mendengus, ia tidak suka melihat Starla yang mengabaikan hal sepenting itu. Tubuhnya sudah kecil dan kurus jika dia tidak makan mau seperti apa nanti tubuhnya itu?
Mungkin jika orang tahu bahwa alasan Barra sesungguhnya membagikan coklat itu semata-mata karena Starla, mereka akan berfikir bahwa Barra tidak Gentle sama sekali karena Barra tidak memberikannya langsung pada Starla tapi justru memakai alasan seperti itu.
Tapi dari semua itu tidak ada yang tahu bahwa ia sengaja mencari alasan itu agar Starla tidak menjadi bahan bulan-bulanan dari siswi yang disebut Starla pagi itu sebagai 'Penggemarnya'. Ia tidak ingin Starla terluka, entah sejak kapan perasaan 'tidak ingin' itu ada, tapi yang jelas Barra tidak suka melihat gadis itu berada dalam kesulitan.
"Woy.. Lo masih hidupkan!" Teriakan Derry berhasil menarik Barra dari lamunannya. Barra mengusap telinganya yang berdenging sebelum akhirnya kembali menempelkan ponselnya di telinga.
"Ya, Lo pikir?"
"Ya, Gue pikir Lo udah selesai Bro."
"s****n lo ya. Udah, Gue matiin dulu."
Dan Barra langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban dari Derry. Ia melempar ponselnya ke tengah-tengah kasur lalu berjalan ke arah lemari.
***
Azka tak pernah melepaskan pandangannya dari Starla. Adiknya itu terus saja memainkan coklat yang ada di tangannya. Ya, Azka malam ini memang pulang lebih awal dari biasanya dan itu jarang sekali terjadi selama ia bekerja.
"Kalau nggak suka sama coklatnya sini kasih ke kakak aja." Ucapnya gemas karena sejak tadi Starla membiarkan coklatnya hampir meleleh karena sebagian sudah terlepas dari bungkusnya.
Menjauhkan coklatnya dari jangkauan Azka, Starla lalu melotot yang justru terlihat menggemaskan di mata kakaknya itu. "Nggak boleh! ini punya aku kak Azka beli aja sendiri!"
"Pelit banget sih, Dek. itu ada tiga kali coklatnya nggak mungkin juga kalau kamu habisin semuanya, kan? Nanti kamu gendut loh."
"Emangnya sejak kapan makan tiga bungkus coklat bisa bikin gendut?" Dengusnya.
Azka terkekeh. Ia mengacak pelan rambut adiknya dengan begitu lembut. Dan entah kenapa tindakan Azka justru membuat d**a Starla menghangat. Bukan, bukan karena Starla merasakan sesuatu pada Azka tapi tindakan Azka itu telah mengingatkannya pada seseorang yang pernah melakukan hal yang sama pada rambutnya.
Seseorang yang juga mengacak rambut Starla dengan senyum yang tidak kalah hangatnya. Seseorang yang sampai detik ini selalu saja merajai pikiran Starla. Seseorang yang berhasil membuat Starla merasa deg-degan setiap kali berada di dekatnya.
Dan orang itu tidak lain adalah... Barra.
Merasakan sentuhan hangat dilengannya membuat Starla menoleh menatap Azka yang memandangnya dengan tatapan cemasnya.
"Ada apa?" bisiknya dengan tidak menyembunyikan wajah cemasnya.
Sontak hal itu membuat Starla tersenyum, ia tahu kakaknya itu sangat sayang padanya dan Starla bersyukur memiliki seseorang seperti Azka dihidupnya.
"Nggak apa-apa."
Kerutan halus di kening Azka membuat Starla terkekeh ia tidak pernah tahu bahwa kakaknya akan selucu itu jika dia sedang cemas seperti sekarang. dan lagi-lagi pemikirannya itu berhasil menariknya pada kenyataan bahwa tadi siang Barra juga mengatakan hal yang sama padanya. Mengatakan bahwa dirinya lucu pada saat ia sedang panik. Dan itu seolah berhasil menyadarkan Starla bahwa apapun yang di lakukan Barra selalu tersimpan dengan rapi di pikiran Starla. Setiap tindakan Barra seolah memiliki ruangan tersendiri di benaknya. Dan Starla mulai cemas dengan pikirannya itu ia mulai berfikir akan seperti apa hubungan mereka nanti?
Hubungan? Memangnya hubungan apa yang Starla harapkan antara dirinya dan juga Barra?. Pertemanan? Persahabatan? Atau hubungan yang lebih dari itu?
Starla menggelengkan kepalanya pelan berusaha menghilangkan segala sesuatu yang berkecamuk di pikirannya yang berhubungan dengan Barra.
"Aku mau ke depan dulu, mau beli sesuatu." Dan pada akhirnya hanya kalimat itu yang lolos dari bibir Starla sebagai pertolongan atas bibirnya yang ingkar terhadapa pikirannya.
"Kakak temenin, mau?"
Starla menggeleng. Mini market yang ingin di datanginya tidak terlalu jauh, bahkan mungkin hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari sepuluh menit untuk sampai kesana jika berjalan kaki.
"Nggak usah kak, lagian ini juga baru jam Delapan." Senyumnya tulus berusaha meyakinkan Azka bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya. Terlebih lagi kawasan di sekitar rumahnya memang selalu ramai dan disini juga tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat orang-orang jadi takut untuk keluar rumah dan bisa di bilang kawasan di sekitar rumah Starla masih tergolong aman.
"Ya sudah, kakak ke kamar dulu." Ujarnya seraya mengusap sayang rambut Starla.
***
Starla mengeratkan jaket yang dikenakannya. Cuaca di malam hari ini cukup dingin hingga membuat gadis itu sesekali meringis menyesali keputusannya untuk tidak memakai jaket yang lebih tebal dari yang dikenakannya sekarang. ia baru saja kembali dari mini market membeli beberapa makanan ringan yang memang menjadi kegemarannya serta beberapa keperluan lainnya.
Dan seperti yang dipikirkan Starla tadi bahwa memang suasana di kawasan rumahnya tidak pernah sepi terlebih lagi karena di sekitar rumahnya terdapat beberapa warung makan yang buka hingga Dua Puluh Empat Jam. Dan hal itu menambah keramaian di sana.
Langkah Starla terhenti, menatap seseorang yang ada dihadapannya. Menggosok matanya pelan kemudian menatap kembali orang yang ada dihadapannya itu untuk memastikan bahwa apa yang di lihatnya tidaklah salah.
"Kak Willy?" Ucapnya nyaris berupa bisikan tapi tidak terlalu kecil untuk bisa di dengar oleh laki-laki yang kini menoleh padanya. Dan seolah menunjukkan keterkejutan yang sama laki-laki yang dipanggil Willy itu langsung berdiri.
"Lo?" Ucapnya dengan menunjuk tepat ke Starla.
Menelan ludahnya susah payah, Starla lalu mendekati Willy, ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia mendekati laki-laki itu. tapi Starla juga tidak punya pilihan lain karena hanya ini satu-satunya jalan untuk bisa kembali ke rumahnya.
Mengambil tempat di depan Willy, Starla berusaha setenang mungkin ia juga berusaha menghilangkan bayang-bayang tentang kejadian waktu itu di gudang sekolah.
"Kak Willy kok disini?"
"Kenapa emangnya? Salah kalau Gue disini?" Jawabnya ketus sebelum akhirnya memegangi sudut bibirnya yang terlihat lebam. melirik kembali ke arah Starla, Willy kembali berkata; "Pergi lo, jangan ganggu gue!"
Dan seakan tidak perduli dengan pengusiran laki-laki itu, Starla justru berjalan mendekat ia mengamati sudut bibir Willy yang semakin terlihat jelas membengkak bahkan Starla juga bisa melihat masih ada bercak darah di sudut bibirnya itu.
"Eh, ngapain sih lo deket-deket?" Ucapnya seraya menjauh dari Starla.
Starla mengernyit, memangnya apa yang dia lakukan? Perasaan dia tidak melakukan apa-apa.
Dan seolah kembali tidak perduli Starla kemudian berkata; "habis berantem ya, kak?" bisiknya yang membuat Willy terpaksa memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Nggak usah sok tahu! lebih baik lo pulang." Ucapnya ketus lalu Kembali duduk di tempatnya semula dan memegangi sudut bibirnya yang semakin terasa nyeri karena terlalu banyak berbicara.
"Di obatin dulu lukanya kalau di diamin nanti infeksi lo."
"Bisa nggak sih lo pergi dari sini. Lo nggak ingat apa yang pernah Gue lakuin ke Elo. Emangnya Lo nggak takut sama gue? Gue bisa Loh ngelakuin hal yang lebih parah dari sebelumnya." Ucapnya memperingatkan menimbulkan ketegangan tersendiri pada diri Starla.
Tapi entah mendapat keberanian dari mana gadis itu justu membalas perkataan Willy.
"Aku bisa lari, aku kuat larinya."
Dan tawa Willy pecah, ucapan Starla seolah sebuah lelucon yang sedang di perdengarkan gadis itu. membuat Willy bahkan memegangi perutnya karena terlalu banyak tertawa.
Mengusap sudut matanya yang sedikit berair, Willy lalu menatap Starla, ia tersenyum tipis. "lebih baik lo pergi sekarang, mumpung gue lagi baik hati." Setelah mengucapkan kalimat itu, Willy kembali memegangi sudut bibirnya. Efek dari tawanya tadi semakin membuat lukanya terasa nyeri.
"Rumah aku dekat dari sini, kalau kak Willy mau kita bisa ke rumah aku buat ngobatin luka kak Willy." Sarannya.
"Lo sadar nggak sih, lo baru aja ngajak cowok buat ke rumah lo, emangnya lo nggak khawatir!?"
"khawatir kenapa? Aku yakin kak Willy orangnya baik."
"Lo naif banget." Dengusnya. Lalu melangkah menjauh dari Starla.
Starla mengikuti langkah kaki Willy dan tidak perduli dengan raut wajah dari laki-laki itu yang terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya.
Dan Willy bukan orang yang punya tingkat kesabaran yang bisa di uji bahkan bisa dibilang ia adalah laki-laki yang tidak sabaran. Memutar tubuhnya cepat dan merasakan benturan halus di dadanya. Willy lalu menunduk menatap Starla yang hanya setinggi dadanya. Dan Gadis itupun melakukan hal yang sama, ia mendongak dan menatap Willy yang begitu dekat dengannya.
Hanya berlangsung beberapa detik sebelum akhirnya Starla mendorong tubuh Willy agar menjauh.
"Kak Willy ngapain langsung berhenti?"
Berdeham kecil sebelum akhirnya Willy berkata; "Seharusnya gue yang nanya, lo ngapain ngikutin gue mulu?"
"siapa yang ngikutin? Aku mau pulang!" Tegasnya lalu melangkah menjauh dari Willy.
Starla sebenarnya ingin mengajak laki-laki itu ke rumahnya untuk mengobati lukanya. Karena ia tahu bahwa luka di sudut bibirnya itu tidak bisa di remehkan.
Dulu, Azka juga pernah mengalami hal yang sama. Ia juga mendapatkan luka memar di sudut bibirnya dimana waktu itu Azka dipukuli oleh kakak kelasnya karena mengira bahwa Azka telah menggoda pacar kaka kelasnya itu, padahal saat itu Azka sama sekali tidak tahu apa-apa. Ia sama seperti Starla mudah kasihan pada orang lain dan mudah percaya pada orang lain. Dan ketika kekasih dari kakak kelasnya itu meminta tolong untuk mengantarnya pulang karena searah dengan rumahnya, Azka sama sekali tidak keberatan apalagi gadis itu sudah menangis-nangis karena katanya ibunya masuk rumah sakit jadi ia harus segera pulang. Dan jika sudah dihadapkan dengan situasi seperti itu apa yang bisa Azka lakukan? Karena ia tidak mungkin menolak.
Dan setelah pemukulan yang dilakukan kakak kelasnya itu pada Azka, besoknya, Azka langsung demam dan sampai harus di rawat di ruang ICU selama Tiga hari dan itu semua karena Azka mengabaikan lukanya yang sudah terinfeksi. Dan Starla ingat betapa khawatirnya bunda dan ayahnya saat itu, itu sebabnya ia tidak ingin Willy melakukan hal yang sama karena Starla yakin Willy juga punya keluarga yang pasti tidak ingin jika putranya kenapa-napa.
Merasa tangannya di cekal Starla langsung berbalik dan mendapati Willy yang sudah berada di dekatnya.
"Ya udah, Gue mau ke rumah lo." Putus Willy akhirnya dan tanpa disadari membuat Starla tersenyum tipis setelah laki-laki itu berjalan terlebih dahulu.
Mengejar langkah Willy dan berhenti tepat di samping laki-laki itu yang terus saja memegangi sudut bibirnya, Starla lalu berkata.
"Kenapa berantem?"
"Gue udah bilang jangan sok tahu!" Desisnya pelan.
Dan Starla hanya mempercepat langkahnya setelah mendapat jawaban sinis dari Willy. Ia memasuki pekarangan rumahnya yang diikuti oleh Willy di belakangnya.
Membuka pintu rumahnya pelan sebelum akhirnya mempersilahkan Willy untuk masuk. Tapi kediaman laki-laki itu membuat Starla mengernyit bingung. Willy sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia lalu menatap wajah Willy yang fokus ke depan sebelum akhirnya memutar kepalanya mengikuti kemana tatapan laki-laki itu tertuju.
Dan seolah bisa merasakan sesuatu yang mengganjal ditenggorokannya, Starla tidak bisa mengeluarkan suaranya, ia bahkan tidak bisa mengatakan apapun pada laki-laki yang kini berdiri di samping kakaknya dan menatapnya dengan pandangan yang tidak di mengerti oleh Starla.
"Akhirnya kamu pulang juga, Dek. Dari tadi Barra nungguin kamu. Baru aja dia mau nyusul ke mini market!"
Starla semakin kesulitan menelan ludahnya, sesuatu yang tak kasat mata yang mengganjal di tenggorokannya seperti batu yang begitu keras. Starla tidak tahu kenapa Barra bisa ada di rumahnya, tapi satu hal yang diketahui oleh Starla saat ini adalah ia telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang membuat laki-laki itu kini..
memalingkan wajahnya.
TBC...
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.