Aruna begitu bahagia. Ini adalah hari pernikahannya. Ia tak menyangka akan menjadi milik seutuhnya bagi orang yang sangat ia cintai. Ia dan sang kekasih telah menjalin hubungan selama lima tahun lamanya. Mereka mulai menjalin hubungan sejak bangku menengah atas.
Aruna tersenyum puas memandangi dirinya sendiri. Ia tampak begitu cantik dengan gaun putih yang begitu apik di tubuhnya. Rona kebahagiaan semakin memancarkan kecantikannya.
Aruna membayangkan, bahwa ia akan hidup bersama selamanya bersama sang suami sampai ajal memisahkan mereka. Mereka akan menjalani kehidupan rumah tangga dengan penuh kebahagiaan. Mereka akan memegang janji satu sama lain, bahwa mereka akan menjaga hati.
Aruna kembali berhayal, bahwa ia akan memiliki banyak anak bersama sang suami. Ia akan mendengar teriakan-teriakan menggemaskan dari anak-anak mereka. Aruna akan disibukkan mengurus dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi anak yang berbakti. Ahh... Membayangkannya saja sudah membuat Aruna begitu bahagia. Apalagi menjalaninya.
***
Pernikahan telah dilangsungkan dengan penuh khidmat. Kini sepasang manusia berbeda gender itu telah terikat, menjadi sepasang suami-istri. Raut kebahagiaan begitu terpancar dari wajah mereka. Begitupun dengan kedua orang tua mereka masing-masing.
"Dek, sekarang kita sudah resmi. Mas janji bakal ngelindungin kamu dan berusaha untuk membuat kamu bahagia." Ucap Radika tulus.
"Iya mas. Aku juga seneng banget hari ini kita sudah menjadi sepasang suami istri. Aku memang tak bisa berjanji. Tapi aku akan berusaha agar menjadi istri yang baik dan patuh terhadap suami." Jawab Arina senang.
"Kita akan menjalani kehidupan yang sebenarnya. Jika terjadi sesuatu di antara kita, kita harus saling berbagi. Tak ada rahasia sedikitpun. Oke?"
Aruna hanya mengangguk pelan. Meng-iyakan ucapan sang suami.
5 years later
Aruna menatap pantulan dirinya sendiri pada cermin kamarnya. Ia mengelus perut ratanya pelan. Impiannya untuk memiliki buah hati belum juga terwujud. Desakan dari mertuanya semakin membuatnya tersiksa. Belum memiliki anak bukan kemauannya. Ia juga sudah mengusahakan segalanya agar segera diberikan buah hati oleh sang kuasa.
Tak terasa, air matanya menetes begitu saja. Ia tak tahan lagi menahan rasa sakit dihatinya. Perkataan orang tuanya selalu terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Ia tak tahu harus mengadu kepada siapa. Jika ia mengadu pada sang suami, ia yakin bahwa itu akan menimbulkan permasalahan baru. Yang ada sang mertua akan semakin mencacinya dan menganggapnya sebagai tukang mengadu.
Aruna tak tahan. Terkadang ia ingin segera mengakhiri hidupnya sendiri karena tak mampu menahan beban yang terus menerus harus ditahannya. Namun, ia selalu mengingat disetiap kesempitan pasti ada kesempatan. Aruna hanya perlu menunggu sebentar lagi. Iya, sebentar lagi. Ia akan segera dikaruniai seorang anak. Anak laki-laki dan perempuan. Mereka akan membuat keluarganya menjadi sempurna.
Aruna menghela nafas pelan. Ia terlalu sering menyemangati dirinya sendiri. Membuat itu seakan-akan tak berguna lagi, saking putus asanya.
***
Radika memasuki kamar mereka sembari menenteng satu cangkir kopi untuk menemaninya lembur malam ini. Pekerjaannya benar-benar menumpuk hari ini. Jadi, dengan terpaksa ia menyelesaikan pekerjaannya di rumah.
Radika mengernyit heran. Ia melihat sang istri yang sedikit terisak pelan. Radika menghela nafas. Ia tahu, bahwa sang istri sering menangis diam-diam di belakangnya. Ia heran, mengapa sang istri tak pernah bercerita sedikitpun tentang masalahnya. Ia jadi merasa menjadi suami yang tak berguna. Sebagai suami, seharusnya ia bisa dipercaya sebagai penopang dari istri cantiknya.
Radika meletakkan cangkir kopi di atas kerjanya. Kemudian, ia menghampiri Aruna yang duduk membelakanginya. Aruna belum menyadari kedatangannya.
Radika tersenyum tampan. Memeluk tubuh Aruna dari belakang. Kemudian mencium tengkuk Aruna yang memiliki wangi candu baginya. Sepertinya sang istri baru saja mandi. Pantas saja, wangi sekali.
"Ada apa? Kok nangis,hm?" Tanya Radika lembut.
"Gak papa mas. Cuma banyak pikiran aja. Nanti juga kalau udah nangis pasti lega." Jawab Aruna.
"Mas tahu, kamu selalu nangis di belakang mas. Aku suami kamu sayang, harusnya kamu bisa membagi masalah kamu ke aku. Aku jadi ngerasa belum menjadi suami yang baik buat kamu. Karena kamu nggak pernah cerita apapun sama mas."
Aruna hanya tersenyum pedih. Benar, ia memang tak pernah bercerita sedikitpun perihal masalahnya dengan sang mertua. Ia tak mau jika sang suami tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu akan menyebabkan pertikaian yang tak kunjung usai.
"Bukannya aku nggak mau cerita sama mas. Tapi aku butuh waktu buat ngumpulin semuanya agar aku berani ngomong apa yang sebenarnya terjadi. Mas jangan merasa bersalah begitu. Ini bukan salah mas. Ini salahku juga. Aku tak mengatakan apapun padamu. Aku benar-benar belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. Maafkan aku. Aku harus menata hatiku terlebih dahulu sebelum aku mengucapkannya." Kata Anura kepada sang suami.
Radika mengangguk paham. Ia memahami bagaimana perasaan sang istri. Satu windu mereka bersama, membuat Radika paham betul dengan tabiat sang istri. Istrinya memang butuh waktu. Jadi, ia tak akan terus memberondonginya dengan berbagai pertanyaan. Itu akan membuat mental sang istri akan menurun. Ia takut jika sang istri akan menjadi berbeda akibat terlalu stres.
"Tak apa. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk bisa cerita sama mas. Mas bakal siap nunggu kok. Mau berapa lama pun mas akan sabar nunggu kamu buat dengerin segala keluhan kamu. Jangan terlalu berlarut-larut sayang. Tak baik untuk kesehatan psikis dan fisikmu." Ucap Radika.
"Iya mas. Makasih telah menjadi suami paling pengertian yang aku miliki. Aku bersyukur banget bisa memiliki suami sebaik kamu."
"Aku bukan suami yang baik sayang. Aku hanya memantaskan diri."
"Maksudnya?"
"Kamu istri yang baik dan penurut. Jadi aku harus menyesuaikan. Istri yang baik dan penurut harus memiliki suami yang baik bukan?"
"Gombal." Ucap Aruna sembari memukul tangan kekar Radika pelan.
Aruna merasa bahwa ia seperti remaja kembali. Jantungnya tetap berdegup kencang saat sang suami melontarkan kata-kata manis nan romantis seperti saat mereka menjalin kasih ketika mereka masih kelas menengah atas. Ia menatap wajahnya dan suaminya yang saling melemparkan senyum pada cermin kamarnya. Terlihat bahagia sekali.
Radika bahagia. Melihat senyuman sang istri membuat kebahagiaan tersendiri di hidupnya. Istrinya sangat cantik dan elok. Bahkan dewi Aphrodite pun pasti malu melihat kecantikan istrinya. Apalagi senyuman dengan lesung pipi itu, membuat kecantikan Aruna semakin berlipat-lipat. Radika sampai tak mampu mendeskripsikannya.
Radika semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil sang istri. Menghirup aroma sang istri yang kian memabukkan dan menenangkan. Ini yang Radika sukai dari sang istri. Ia begitu wangi dan menengkan hingga ia merasa enggan untuk melepaskan pelukannya. Memilih meninggalkan pekerjaannya yang menumpuk dan kopi yang mulai mendingin.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.