“Terima kasih, Pak,” ucap Hani setelah mereka di antar sampai depan pintu kelas mereka. Pak Agus hanya manggut-manggut sambil tersenyum singkat, lalu beranjak pergi. Hana yag melihat Pak Agus kembali ke ruang guru yang ternyata hanya lurus dari tempat mereka berdiri di depan ruang guru tadi, langsung Hana berbisik pada Hani. “Hani,” Hana menarik lengan baju Hani karena kembarannya itu tak mendengar suaranya yang pelan. Melihat Hani sudah menatap wajahanya, segera Hana mendekatkan mulutnya ke telinga Hani sambil menunjuk ke arah Pak Agus, “Kenapa Pak Agus ga nunjuk dari ruang guru aja? Baik banget nganter kita sampe depan kelas!”serunya.
“Eh iya, bener,” ucap Hani baru menyadari, “tapi mungkin, dia takut kita salah masuk kelas. Jadi biar ga ribet langsung diantar.”
“Mungkin,” balas Hana singkat dan melangkah masuk ke dalam kelas.
Saat memasuki kelas, pemandangan yang dilihat Hana pertama kali adalah murid-murid yang duduk berkumpul bersama geng mereka masing-masing di beberapa spot bangku kelas. Suasana kelas bisa dikatakan bersih, ada empat AC yang menyala di kanan dan kiri dinding kelas, lalu di belakang dan di depan, sejajar tepat di atas papan tulis.Hana bertanya pada salah satu murid perempuan yang duduk sendirian dengan headphone biru menutup telinganya sedang menonton. Hana tidak sengaja melihat layar ponsel murid itu; dia sedang menonton anime Spy x Family, menikmati waktunya seorang diri tanpa teman di bangku sampingnya yang kosong. Tampilannya tidak mencolok, headphone biru yang menempel di telinga, rambut bob bulat seleher, jari-jarinya yang panjang dan kurus, bola mata cokelat dengan sorot mata dingin, sepertinya dia bukan tipe orang yang ramah—dalam artian harus orang lain yang mendekatinya untuk menjadi teman, barulah dia punya teman. Dengan keberanian penuh, Hana mendekat dan berdiri di depannya sambil bertanya.
“Bangku ini kosong?” tanya Hana sambil menatap matanya lurus, sekilas dia melirik ke layar ponsel murid perempuan yang ditanyanya itu, sedang menampilkan Anya dari Spy x Family.
Murid perempuan berambut bob itu tidak langsung menjawab. Jempolnya bergerak maju, menghentikan sebentar tayangannya, lalu menggeser ke belakang headphone sebelah kiri yang menutup daun telinganya. “Sorry, kenapa?” tanya, tak mendengar. Hana juga tahu seharusnya dia tidak bertanya pada anak itu, apalagi melihat anak itu menggunakan headphone, sudah pasti dia tidak ingin di ganggu. Tapi Hana tidak punya pilihan lain, karena yang paling dekat dengan pintu dan bangku yang ditujunya dan yang sendiri tanpa bergerombol hanya dia (karena Hana malas menjadi pusat perhatian) akhirnya memilih bertanya pada murid perempuan itu.
Hana mengulang ucapannya, tapi yang ditanya tampak kebingungan. Lalu, murid laki-laki yang berada di bangku baris belakang datang, “ini kosong, memang untuk kalian,” ucapnya ramah pada Hana. “Dia juga anak baru,” tunjuk murid laki-laki itu pada perempuan rambut bob pendek dengan headphone birunya itu.
Alis Hana naik beberapa senti tidak menyangka yang ditanyainya adalah murid baru.
Beberapa murid laki-laki yang bergerombol di bangku barisan paling belakang menghasilkan teriakan-teriakan takjub, lalu salah satu dari mereka, murid cowo gendut, dengan rambut panjang, hidung lebar dan muka berjerawat yang sedang memegang ponsel bersungut kesal, “wey suara klen, datang nanti guru gegara suara klen. Kalem anjir, kayak ga pernah liat lobang!” jidadnya berkerut dengan mata penuh kekesalan menatap orang-orang yang mengerubuninya.
“Iyaa, selolaa, kok ngamok!” kata yang berdiri di sebelahnya. Mereka mengerubuni murid laki-laki iyang duduk di kursi paling pojok seperti ikan paus yang dikerumuni ikan remora. Sedangkan murid laki-laki yang tadi memberitahu Hana tentang bangku kosong, dia berada tidak jauh dari para teman-temannya yang entah sedang menonton apa, anak itu membenamkan wajahnya di atas meja dengan tangan kanan lurus ke depan, sedang satunya lagi membentuk siku empat puluh derajat sebagai alas agar pipinya tak menyentuh langsung ke meja. Hana segera duduk, setelah puas menyaksikan orang-orang di dalam kelas yang akan menjadi temannya dan teman adiknya selama berada di kelas 12 ini.
Hana mengeluarkan ponselnya dari dalam saku rok seragam abu-abu. Dia sudah menyangka pasti adiknya, Hani, tidak akan betah di kelas sebelum mengelilingi sekolah ini. Jiwa penasarannya lebih tinggi dari tinggi badannya yang hanya 160 cm. Hana membuka w******p, mulai mengetik pesan pada Hani yang tak kunjung masuk kelas.
Hana: Aina antii?”
Hani: tar lagii masuk, sabar.
Hana: buruan, ada yang mau ana ceritain.
Selesai mengirim chat, Hana langsung mematikan ponselnya, kembali memasukkan benda tipis itu ke dalam saku rok abu-abu yang bikunya masih kaku. Hana tidak nyaman dengan rok barunya ini. Tapi kalau disuruh memilih, dia lebih baik tersiksa dengan biku rok yang kaku ini, daripada harus mengenakan rok sepan seperti murid-murid yang lain. kebanyakan dari mereka—murid-murid itu, yang di lihat oleh Hana di hari pertamanya sebagai murid SMA Putra Perunggu, banyak yang mengenakan rok sepan. Hana jadi takut, apa Ayah tidak tahu peraturan seragam di sekolah mereka ini? Atau memang dibebaskan?
Seperti murid yang lipstiknya disita oleh guru BK pagi itu di depan gerbang, membuat Hana jadi takut kalau seharusnya mereka memang diharuskan pakai sepan. Tapi kalau sepan… Hana benar-benar tidak bisa. Apalagi badannya yang berisi melihat teman-teman yang mengenakan sepan, sudah terbayang di kepalanya bagaimana bentukannya saat mengenakan rok itu juga. Dilihatnya pula banyak murid-murid yang mengenakan rok sepan yang ngepas dengan tubuh mereka sampai celana dalamnya menjiplak di permukaan rok itu sendiri, tepat disisi p****t kanan kiri ada dua garis, garis dari celana dalam yang ngepass karena roknya sepan dan ketat. Takut sekali kalau-kalau pakaian itu tidak sengaja menggoda orang lain. Meskipun saat pergi dan pulang sekolah bagian p****t akan selalu tertutup ransel pastelnya itu, tetap saja Hana gusar, bagaimana kalau ke kantin? Jilbab syar’inya pun tidak panjang lagi. Mereka tidak mengenakan jilbab syar’I karena dari Yayasan punya jilbab sendiri yang sudah diberi sablon nama yayasan Putra Perunggu.
Tidak banyak berbincang dengan murid-murid lain, selesai memasukkan ponselnya ke dalam saku rok bikunya, Hana menarik ranselnya yang berada di atas meja, jemarinya menarik resleting, membuka, dan mengeluarkan Al-Quran dari dalamnya.
Hana mulai membaca dalam diam. Suara-suara desahan, teriakan takjub, dan tepuk tangan masih berlanjut dari gerombolan murid laki-laki yang duduk di bangku barisan belakang. Mereka berteriak kesenangan, mendesah dan, astaghfirullah, batin Hana. Dia mendengar suara desahan perempuan dari dalam ponsel mereka. Hana menoleh ke belakang, b******n-b******n itu, mereka melupakan dunia dan hanya fokus pada layar ponsel si murid gendut itu. Mata mereka memicing. Ada yang mengulum bibirnya, ada yang tersenyum merekah melihat layar ponsel itu. b******n, batin Hana kembali membaca quran, dan mulai mencoba mengacuhkan suara-suara aneh itu, seperti yang dilakukan murid laki-laki yang memberitahu bangkunya, dan seperti murid baru dengan headphone di telinganya. Tiba-tiba terpikir olehnya ingin membeli headphone juga. AH iya, sambil memukul jidad, dia lupa dia sudah punya earphone Bluetooth. Lama di pesantren, sampai lupa kalau dia punya benda itu.
Hani masuk ke dalam kelas dengan mata mencari-cari. Salah satu dari murid lelaki dalam gerombolan yang tugasnya memantau siapa saja yang masuk ke kelas berucap, “aman, Cuma anak baru itu.” Saat mata Hani menemukan orang yang sedang dicarinya, senyumnya mengembang setelah melihat Hana menatap ke arahnya. “Lama,” ucap Hana tanpa suara, wajahnya mendadak kesal. Tapi Hani yang bisa membaca gerak bibir Hana hanya tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sambil mendekat.
Hani setengah membanting tasnya, tanpa sadar semua mata yang ada di kelas menatapnya. “Maaf,” ucap Hani. Lalu segera duduk dan bercerita pada Hana apa yang sudah dia kerjakan selama meninggalkan Hana di dalam kelas. “Antii, tauuu, aku udah daftar club basket!” Matanya berbinar saat mengatakan itu.
“Serius?”
“Iyaaa,” ucap Hani masih dengan semangatnya. “Nanti sore udah bisa latihan. Mau ikut nemenin gak?”
“Liat nanti deh!” ucap Hana, tepat saat itu juga guru masuk dan disaat itu juga murid laki-laki di belakang berucap dengan suaranya yang lantang tanpa melihat situasi, “Jadi pengen n***e,” ucapnya sambil melihat ponsel temennya, lalu mengalihkan pandangannya ke pintu. Guru kelas dan guru yang akan mengajar hari ini melotot ke arahnya.
“Sini ponsel kalian,” ucap Guru kelas alias wwali kelas mereka meluncur mendekati bangku paling belakang seperti peluru. Guru itu mengulurkan tangannya lurus dengan telapak tangan terbuka. “Nonton apa kalian ha?”
“Gada, Bu!”
“Itu apa yang kalian tonton rame-rame?”
Semua mata memandang ke arah meja belakang.
“Mampuss!” suara murid perempuan berambut panjang yang duduk di dekat Hana berucap pelan, hanya bisa di dengar oleh orang yang di dekatnya, Hana salah satunya.
Saat si pemilik ponsel, murid gendut dengan wajah penuh jerawat itu akan segera menghapus tayangan yang baru mereka lihat bersama. Guru perempuan itu langsung berteriak dengan lantang di depan mereka. “Berani kamu hapus, saya bikin kamu tinggal kelas!”
“SINII!” ucap guru perempuan yang sama gendutnya dengan murid laki-laki si pemilik ponsel. Mereka seperti kakak adik yang sedang bertengkar karena benda tipis itu. “SINII HAPENYAA!”
Dengan enggan, si pemilik ponsel memberikan ponselnya pada telapak tangan yang sudah lama mekar menunggu ponsel muridnya.
“Oke,” ucap beliau langsung menghadap kiri dengan cepat, seperti penari balet, sekarang beliau melangkah menuju ke meja guru yang berada di sebelah papan tulis sambil berucap“Kalian yang tadi ikut menonton segera ke ruang BK setelah Ibu memperkenalkan tiga teman baru kalian yang baru masuk hari ini.”
Guru mata pelajaran hari ini sudah duduk di meja, hanya memperhatikan, sama seperti murid-murid yang lain yang tidak terlibat. Tontonan pagi ini benar-benar seru, pikir Hani, dia tidak menyadari bibirnya menghasilkan senyum tipis menyaksikan adegan pagi ini.
“Oh ini yang mau anti ceritain?” bisi Hani tepat di kuping Hana.
Hana hanya mengangguk.
“Oya, tadi siapa yang bilang pengen n***e?” Mata guru itu seperti elang. Anak laki-laki yang duduk di belakang, yang tadi memberitahu Hana tempat duduknya, bergerak pindah ke bangku yang ada di sebelah Hana. Hana menoleh saat anak itu bergerak, dan sepertinya semua mata juga menatap ke arahnya. Suasana yang tegang sekarang ini membuat siapapun yang bergerak pasti akan menjadi sorotan. p***s murid-murid yang menonton film panas itu mungkin sudah tidak lagi tegang karena suasana kelas lebih panas dan Tegan.
“Yang tidak mau mengaku siapa yang bilang itu, ibu sumpahi burungnya loyo dan tidak bisa tegak kalau sudah menikah. Jika tidak ada yang mengaku, mari kita aminkan bersama-sama!” ucap guru itu mengancam sadis.
Tidak mau disumpahi burungnya loyo dan tidak bisa tegak, jiwa laki-lakinya merasa di tantang sebagai anak SMA kelas 12. Laki-laki berambut panjang yang sampai menyentuh daun telinga dengan kacamata petak lensa tebal menggantung di batang hidungnya yang tegak lurus mengangkat tangannya.
“Saya, Bu!” ucap murid laki-laki dengan nametag di bajunya bertuliskan Panji Gemilang
“Stt…” laki-laki yang duduk sebelah Hana, maksudya di seberang Hana, karena mereka terhalang oleh jarak satu meter sebagai jalur lewat murid keluar masuk ke tempat duduk mereka, jalur yang sama, yang tadi dilewati oleh guru itu, dan bau pafrumenya masih tertinggal di sana. Hana menoleh ke asal suara. “Itu wali kelas kita,” ucap laki-laki itu tanpa suara. Hana membaca bibirnya dan mengangguk.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.