"Tidak ada pilihan lain selain pindah," begitu kata Ayah.
Sejak Hana sakit-sakitan pada hari pertama sekolah semester dua, fokus Hani pada kembarannya itu benar-benar tertuju pada Hana. Apalagi berada di pesantren, jauh dari orang tua, dan mereka juga sudah hampir lulus, tinggal satu semester lagi tidak membuat Hani menelantar kembarannya begitu saja demi sebuah nilai. Benar, mereka sekarang berada di kelas tiga(kalau di sekolaumum), kita menyebutnya kelas 12 SMA atau kelas 3 SMA. Yap, mereka sebentar lagi tamat dan lulus sebagai alumni santriwati. Tapi takdir berkata lain, penyakit Hana belum juga membaik, membuat kekhawatiran Ayah di rumah semakin menjadi-jadi melihat anaknya itu belum juga sembuh. Hana terpuruk melawan penyakitnya tanpa perhatian dan pantauan orang tua. Memang Benar, di pesantren ada ustadzah yang mengurus. Namun, mau bagaimana pun namanya orang tua, tetap saja rasa khawatir Ayah menyala-nyala saat anak-anaknya jauh dari pantauannya.
Dengan banyak pertimbangan dan berdiskusi dengan Hani, akhirnya kedua anak kembar itu harus keluar dari pesantren. Demi merawat Hana, demi ketenangan pikiran Ayah. Kedua anak kembar itu sudah lama menjadi piatu, sejak mereka duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) Ibu mereka sudah lama tiada. Untuk kepindahan sekolah? Sudah diurus oleh Ayah mereka. Rencananya akan lanjut ke sekolah umum, di sekolah yang satu yayasan di tempat Ayah bekerja. ayasan Putra Perunggu yang terkenal dengan kualitas sekolahnya yang bagus dan mendukung siswa dalam segala aspek, fasilitas lengkap, beasiswa untuk murid-murid dengan ekonomi dibawah rata-rata pun memiliki peluang untuk bisa bersekolah disana. Yayasan juga tidak menutup diri, dengan tetap membuka donasi untuk orag-orang yang ingin berdonasi ke yayasan mereka. Rumah yang ayah dan Hana, Hani tempati juga merupakan rumah pemberian dari yayasan Putra Perunggu karena Ayah sudah mengabdikan diri pada Yayasan lebih dari 10 tahun.
Yayasan Putra Perunggu dengan namanya yang sudah tersohor dari segala sudut kota, dan menjadi favorit untuk kalangan anak-anak yang berada di kota, terkhusus Brandan membuat nama yayasan itu semakin bersinar dan melambung naik yang sejalan dengan akreditasinya yang A. Yayasan tersebut sudah berdiri sejak lama, terdiri dari panti asuhan, sekolah TK, SD,SMP, SMA swasta. Dan Ayah mereka menjabat sebagai kepala sekolah di SD. Maka tidak heran, untuk mengurus berkas-berkas sudah Ayah yang mengatur, tidak perlu meraba lagi apa-apa saja yang harus dibawa saat akan mendaftar, orang dalam sudah yang langsung turun tangan. Tentunya, bukan tanpa alasan Ayah memilih sekolah itu, bukan karena SMA itu masih satu naungan di tempat kerja Ayah, tapi karena kemudahan akses rumah dan sekolah yang dekat, dan yang paling utama adalah Ayah masih bisa menjaga dan memantau kedua anak gadisnya itu. Tidak seperti saat masih di pondok pesantren yang berlokasi di Binjai. Ayah harus bolak-balik Brandan Binjai, izin kerja, kadang bahkan cuti demi melihat kedua anak gadisnya itu, dan tentu banyak memakan waktu di jalan. Sejak hari dimana mereka menetap di rumah dan Hana mulai di rawat di rumah, keadaan Hana lumayan membaik dengan dokter yang harus bolak balik datang ke rumah, khusus untuk Hana, demi kesembuhan Hana. Orang-orang yayasan sudah tahu bahwa kedua anak Ayah atau biasa orang-orang mengenalnya dengan nama Pak Yusuf akan bersekolah di yayasan, pun sebelumnya mereka sudah pernah bersekolah disana, di taman kanak-kanak, dan sekolah dasarnya. Jadi tidak heran kenapa orang-orang yayasan sudah mengenal kedua gadis tersebut, sebenarnya karena Ayah mereka bekerja di sana, bekerja untuk yayasan. Kalau mereka bukan anak dari karyawan yayasan, sudah barang pasti orang-orang tidak mengenal mereka. Belum lagi Ayah mereka juga sudah lama bekerja untuk yayasan, pastilah orang-orang yayasan mengenal mereka.
Setelah menunggu Hana benar-benar sembuh dari sakitnya dan bisa berjalan tanpa takut harus tumbang, akhirnya hari ini mereka berdua mendaftar ke sekolah, sebagai siswa pindahan di kelas 3 SMA, ditemani Ayah yang menenteng berkas-berkas mereka yang disatukan ke dalam map berwarna kuning. Mereka sudah berada di ruang administrasi yang dekat dengan gerbang keluar dan masuk sekolah. Akses gerbang di yayasan memang hanya satu untuk mempermudah dalam memantau siapa saja yang masuk ke lingkungan sekolah.
Kedatangan Ayah benar-benar disambut baik oleh para staff yang berjaga di sana, dua wanita berhijab dengan style jilbab yang dililit ke leher, memancarkan aura rapi dan elegan dengan seragam cokelat yang membentuk lekuk badan mereka duduk sambil melipat lengan di atas meja administrasi dengan kedua d**a membusung ke depan. Apakah mereka slalu seperti itu? menunggu orang yang pindah sekolah? seberapa banyak murid yang pindah kemari? pikir Hani dengan banyak pertanyaannya dan masih memperhatikan segala sudut lingkungan dan ruang di sekolah.
Ayah memberikan surat itu kepada dua staff di depan. Mereka duduk saling berhadapan disekat oleh meja lebar cokelat yang entahlah terbuat dari kayu apa, tapi meja itu berwarna coklat licin.
"Mereka anak Bapak yang mau pindah itu?" Tanya salah satu staff, "Gak nyangka cantik-cantik yaa!" Lanjut beliau takjub sambil terus mencatat, lebih tepatnya menyalin beberapa data dari berkas yang Ayah berikan.
Hani hanya tersenyum tipis, senyum formalitas agar tidak dianggap sombong, lalu kembali memasang mengamati setiap sudut ruang dengan wajah datarnya, lalu menatap Hana yang masih tidak bertenaga meskipun sudah dinyatakan membaik oleh dokter. Kembarannya itu komplikasi; tipes dan asam lambung menyerang secara bersamaan. Hani masih mengeratkan rangkulan tangannya pada Hana. Anak itu menoleh. Mereka saling tatap, lalu kembali fokus ke depan.
Seseorang masuk saat Ayah dan kedua staff sedang berbicara tentang penyakit Hana, tentang pondok pesantren yang mereka tinggalkan, dan tentang almarhum Ibu. Jauh sekali para staff itu mengulik cerita Ayah, pikir Hana. Saat orang itu masuk, reflek semua kepala menoleh, kecuali Hani. Dia menunggu orang yang masuk itu berdiri di depannya, tidak perlu capek-capek menoleh menelengkan kepala melihat siapa yang akan datang, toh nanti akan masuk ke dalam ruangan ini. Benar, laki-laki itu melangkah masuk dan berhenti tepat di sebelah Hani. Anak itu mendengak, mengangkat wajahnya, melihat siapa orang yang baru masuk itu. Suaranya seperti tidak asing.
"Eh, Haloo, Pak!" Orang itu berseru sambil mengulurkan tangannya yang panjang melewati d**a Hani. Ayah bangkit dari duduknya, segera menyambut uluran tangannya. Mereka berjabat sebentar. Hani mendengak, melihat wajah orang itu. Laki-laki dengan kemeja biru muda, baby blue? Dengan celana keper dan tali pinggang hitam yang nampak jelas melingar di pinggangnya.
Hana menahan hidungnya dengan tidak menghirup udara. Parfume orang itu membuat perutnya mual. Sialnya mereka mengobrol dan masih berjabat, di depan Hana, Hani, dan kedua staff. Ayah melepaskan jabatannya. Lalu duduk. Laki-laki kemeja biru itu menarik bangku lipat yang berada di sudut, duduk tepat di samping Hani.
Hani ingat,orang itu, 10 tahun yang lalu, orang itu yang pernah ke rumah saat Ayah pergi untuk menjaga kami, katanya. Ah, tapi sudahlah. Yang Hani inginkan adalah cepat pulang. Perutnya sudah keroncongan, ingin segera diisi.
"Udaa besar yaa sekarang?"ucap lelaki itu, menatap Hana dan Hani secara bergantian.
Hani tidak suka sorot mata laki-laki itu saat dia melihat Hana. Fokusnya bukan tertuju pada wajah Hana. Hani menghela napas berat. Atau mungkin karena sedang lapar aku jadi seensitif ini? Pikir Hani menunduk pelan.
"Untuk berkasnya sudah lengkap, Pak! Besok Hana Hani sudah bisa bersekolah di sini."
Ayah bangkit. Hana dan Hani ikut bangkit. Lalu mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi. Hana dan Hani menjabat kedua tangan staff wanita itu, tapi tidak dengan laki-laki itu.
"Owh, maap. Kebiasaan dari pesantren yaa?" Ucap laki-laki itu sambil tertawa kecil menurunkan tanganya untuk menjabat tangan Hana dan Hani.
Mereka berjalan lurus keluar menuju gerbang satu-satunya akses untuk keluar dan masuk wilayah SMA Putra Perunggu. Hana dan Ayah sudah berjalan di depan. Hani mengekor dari belakang dengan jarak kurang lebih satu meter dari Ayah dan Hana.
Hani terus melangkah ke depan, menyusuri jalanan sekolah dengan kanan kirinya ditanami pohon pinus. Entah mengikuti kata hati atau bagaimana, dia berjalan sambil menoleh ke belakang, laki-laki kemeja biru muda itu masih berdiri di ambang pintu ruang administrasi menatap lurus ke depan. Ke arah mereka? Ke arah rah dia? Laki-laki itu terus memperhatikan mereka. Hani kaget, tapi jiwa apatisnya berhasil mengubur ketakutannya.
Bodo amat dengan orang itu, Hani lanjut melangkah sambil mmasukan tangan kanannya ke dalam saku gamis coklatnya. Mengejar ketertinggalannya dengan Ayah dan Hana.
"Mau makan apa nanti?" Ayah menoleh ke arah Hana, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Hani yang sudah berada di sebelah kiri Hana.
"Bakso, Yah!" Suara Hani setengah teriak, sennag makanan kesukaannya disebut Ayah.
"Okee. Hani bakso. Hana?"
"Bubur aja, Yah."
" Okee. Bakso dan bubur ayam. Ini Ayah langsung beli, kalian jalan ke rumah berdua bareng ga Ayah temenin, gapapa?"
"Aman, Ya." Hani menjawab cepat sambil mengacungkan jempol kirinya, tangan kanannya sudah menempel erat merangkul Hana, takut kalau-kalau kembarannya tumbang. Meskipun sudah sembuh, tapi tetap harus dijaga, bukan?
***
Kepindahan tidak banyak yang merubah mereka. Hanya sekolah dan Hana yang ditimpa penyakit. Selebuhnya seperti kembali pulang ke rumah. Barang-barang di rumah juga tidak ada yang berubah, termasuk kamar mereka berdua.
Baru selesai mencuci kaki di kamar mandi rumah, suara pintu depan terdengar di ketuk tiga kali, lalu suara laki-laki berucap "Assalamualaikum" saat memasuki rumah terdengar.
Ayah datang membawa dua bungkus makanan pesanan kedua buah hatinya. Waktu benar-benar terasa cepat saat melihat kedua anaknya sudah tumbuh menjadi anak gadis dan sekarang sudah berada di kelas tiga SMA, bukan main terharunya sebagai orang tua, apalagi satu-satunya setelah Ibu mereka meninggal, Hana dan Hani cuma punya Ayah. Oleh sebab itu, pindah sekolah dari pesantren ke sekolah umum sudah matang-matang diperhitungkan oleh Ayah, apalagi karena Hana sakit berkepanjangan di pondok. Jelas Ayah tidak ingin membebani ustadzah di pondok meskipun dengan lapang d**a mereka akan merawat Hana.
"Bubur tanpa kacang punya Hana, bakso tanpa sayur tauge punya Hani." Ucap Ayah, meletakkan dua bungkusan di atas meja makan sambil mengeluarkan kedua makanan dari bungkusan plastik kresek bening. Hani dan Hana merapat ke meja dengan wajah antusias melihat makanan mereka datang.
"Makasii, Yah!" Ucap kedua anak gadis itu kompak. Mereka saling menatap dan tertawa mendengar ucapan mereka yang tak sengaja keluar secara bersamaan. Ayah ikut tertawa sebelum akhirnya izin untuk kembali ke kantor lagi. "Gapapa yaa, Ayah tinggal?"
"Aman, Yah. Ada yang macem-macem ntar aku pukul pake pentungan bisbol itu." Dagu Hani menunjuk ke arah pentungan bisbol yang berada di samping pintu dapur.
"Iyaa Ayah percaya sama kamu. Ayah titip Hana yaa, kalo ada apa-apa telpon Ayah. Ok?"
"Ok" balas Hani sambil mengangkat jempol kirinya, tapi wajahnya menunduk khusyuk dengan tangan kanan menyuap bakso ke dalam mulut.
"Ayah pergi duluu, assalamualaikum."
"Walaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh"
Pintu depan rumah terdengar ditutup. Ayah sudah pergi. Tinggalah mereka berdua. Hani mencopot jarum pentul di bawah dagunya dan melepas jilbab syar'i yang menjulur sampai ke paha. Hawa panas baru terasa menusuk kulit wajah dan lehernya. Pengaruh kuas bakso yang hangat dan cabai serta saos yang memenuhi kuah membuat Hani semakin berkeringat dan lahap menyantap makanan yang ada di depannyaa.
"Nasii.. nasii" tunjuk Hani pada tempat nasi yang berada di tengah. Hana mendorong tatakan nasi itu ke depan Hani. "Makasih" ucap Hani segera memasukkan beberapa centong nasi ke dalam mangkuk baksonya dan kembali menyuapkan isinya ke dalam mulut. Tampang Hani memang begitu di depan makanan, lahap sekali seperti tidak makan dua hari.
Hana sendiri tenaganya belum benar-benar penuh.
**
Hani selesai makan dn kembali ke kamarnya mengantuk selesai makan adalah suatu kenikmatan. Hani tertidur pulas di kamarnya. Saat itu Hana di ruang tengah duduk sendirian tanpa taju ternyata laki-laki berbaju biru muda tadi sudah berada di belakangnya membekap mulutnya yang sudah bersiap teriak. Hana kalah cepat. Mulutnya ditutup dengan kain. Laki-laki itu kemudian maju ke depan duduk di atas paha Hana mengikat mulut anak gadis itu erat-erat lalu membawanya masuk ke kamar Hana.
Disanalah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Hana yang terlanjur lemah karena sakit bukan main tidak berdaya dibuat laki-laki itu. Pria itu menindih Hana dengan tubuhnya. Dengan sisa tenaganya dia mendorong d**a pria itu agar menjauh darinya. Tapi sia-sia, tenaga orang yang baru sembuh dari sakit tidak ada harganya. Tangis Hana pecah. Memanggil-manggil nama Hani. Tapi pria itu tampaknya belum puas. Dia kembali mencium pipi, mata, alis, dagu, dan bibir. Terakhir kali laki-laki itu menyentuhnya saat Hana dan Hani masih TK, sudah lama sekali. Dan barulah terbayang kembali mimpi buruk masa TK itu datang lagi. Hana masih berusaha teriak dengan suaranya hampir tercekat karena tangis dan tak kuat.
Sudah lama dia tidak menjamah tubuh ini. Tubuh suci yg dibalut dengan gamis islami.
"Apa kabar Hana?"
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.