“Karena tante Retno mau pulang hari ini jadi kita bahas perihal kesepakatan kemarin sekarang saja ya, Gibran,” ucap Arani terlihat sangat bersemangat dan tersenyum sangat manis.
Gibran yang baru saja duduk di antara Nadia dan Bu Retno hanya bisa mengangguk tanpa perlawanan. Lalu, pembahasan itu dimulai, pembahasan mengenai perjodohan yang sudah diatur sejak lama oleh Bu Retno dan Arani—Ibunda Gibran.
Lelaki itu hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan Arani tanpa mampu menolak, sesekali ia menoleh ke arah kamar dimana Umi berada, di sana dan sedang memerhatikan mereka dengan senyum yang sesekali hadir di wajahnya, tentu senyum itu bukan karena ia bahagia, melainkan karena ia tengah terluka dan tidak mampu berbuat apa-apa selain menerima yang sudah menjadi takdirnya.
“Baik, tidak perlu basa-basi lagi ya, Gibran. Ibu kamu juga pasti sudah menyampaikan tujuan kedatangan Tante dan Nadia ke sini,” ucap Retno memulai. Lalu, perlahan memerhatikan Gibran yang sedang memandang ke arah kamar. “Hmm, apa sebaiknya Umi diajak ke sini?” tanya Retno menatap Gibran dan Umi yang saling pandang itu bergantian.
“Apa boleh, Tante? Saya butuh jawaban Umi perihal ini,” jawab Gibran ragu-ragu.
“Silakan, asal jangan mengacaukan rencana yang sudah dibuat dengan sangat matang,” sela Arani dengan ketus.
Gibran hanya bisa tersenyum kaku pada jawaban Arani, lalu pamit undur diri dan mengajak Umi untuk ikutan hadir pada kesepakatan yang mereka buat. Perlahan tapi pasti Gibran berjalan menuju kamar, dari jauh Umi memerhatikan dengan rasa hati yang berdebar-debar. Air matanya kini jatuh tidak tertahankan, hatinya berkata tidak rela, tapi tidak mampu protes pada keadaan yang terus menerus tidak mendukungnya.
“Kamu bisa ikutan ke sana, Umi? Mereka ingin kamu juga hadir,” ucap Gibran menatap istrinya itu mencoba tenang.
Umi menghapus air matanya, lalu mengangguk tanda setuju. Dengan berat hati, ia harus hadir, tentu ia setuju dengan keputusan sepihak yang akan dilakukan oleh Arani ibu mertuanya itu. Dengan membaca basmalah, akhirnya Umi mencoba menenangkan diri dan menghadapi semuanya.
“Baguslah kalau kamu di sini, Umi. Biar kamu juga dengar semuanya,” ketus Arani menatap menantunya dengan wajah tidak suka.
“Iya, Bu, Umi tahu maksud pembahasan ini. Silakan dilanjutkan,” pinta Umi dengan senyum yang dibuat kuat, padahal hatinya sudah lebih dulu hancur dan tidak lagi bisa diperbaiki.
Matanya menatap Gibran, lelaki yang amat ia cintai itu dulu selalu bilang bahwa setia mampu melewati apa saja rintangan yang akan datang, tapi Gibran pula lah yang tidak mampu melewati ini semua. Kerasnya Arani tidak mampu ia lawan. Benar, seorang anak lelaki milik ibunya, tapi Umi tidak bisa menerima hal ini jika keadaannya seperti ini.
“Aku mau menikah dengan Mas Gibran dengan sebuah syarat, Bu, Bude,” ucap Nadia tiba-tiba.
Semua mata kini tertuju pada Nadia yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan saja. Lalu, tidak lama Umi pun angkat bicara.
“Saya juga punya syarat, jika syarat saya dipenuhi, hal ini tidak akan saya perdebatkan nanti ke depan tante, Bu,” sambung Umi menatap Nadia yang juga menatapnya sejak tadi.
“Apa-apaan kalian ini?” protes Arani tidak terima. “Bukannya kita sudah punya kesepakatan sejak lama?” tanya Arani menatap Nadia dan Umi secara bergantian.
“Biarkan saja, Mbak. Coba kita dengarkan apa maunya Umi dulu. Silakan, dia berhak karena ia masih sah istri Gibran,” jelas Retno mencoba menenangkan Arani yang mulai habis kesabaran.
Umi menatap Gibran, tapi yang ditatap hanya menunduk tanpa bicara. Gibran pun bingung harus berbuat apa, jika memilih keputusan ibu tentu Umi akan terluka, tapi jika memilih tidak menikah lagi, Gibran pun tidak ingin ibunya kecewa.
“Mas, kamu boleh menikah dengan Nadia, asalkan.....” Umi menggantung kata-katanya. “Kita berpisah dulu dan silakan memulai lembaran baru bersama Nadia. Insyaallah aku ikhlas,” ucap Umi mencoba tenang walau jelas-jelas hatinya terluka.
Retno yang duduk santai mendengarkan perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Umi terkejut, ia tidak menyangka Umi mau memberikan izin dan memberikan Gibran sepenuhnya pada Nadia. Retno tersenyum melihat Umi yang begitu tegar. Sedangkan Arani malah tersenyum bahagia karena memang itu yang ia harapkan sejak lama. Mencarikan pengganti untuk Gibran, wanita yang tentu sesuai dengan yang ia mau, lalu melepaskan Umi dengan mudah.
“Tunggu,” ujar Nadia tiba-tiba. “Aku juga punya syarat kan?” protes Nadia karena mereka lupa pada syarat yang ia pinta.
“Apa sih maunya kamu Nadia. Mobil baru kan sudah ada, kamu mau apa lagi?” tanya Retno membisikkan kekesalannya pada anak perempuan satu-satunya itu.
“Nadia mau menikah dengan Mas Gibran asalkan Mas Gibran mau berbagi dan tidak meninggalkan Mbak Umi. Saya belum mengenal Mas Gibran, bahkan belum tentu saya bisa mencintai Mas Gibran seperti keinginan Ibu,” ucapnya menatap Retno dengan kesal. Nadia juga sama, gadis itu tidak bisa membantah untuk dinikahkan dengan calon pilihan orang tuanya, ia bahkan tidak pernah membayangkan menikah di usia muda dan dengan pria yang sudah beristri pula.
Berbagai cara sudah Nadia lakukan, lari dari rumah, membantah dan meminta mobil keluaran terbaru agar orang tuanya tidak jadi melakukan perjodohan itu. Namun, berbagai cara yang dilakukan tidak berhasil dan akhirnya Nadia hanya pasrah dan berdoa semoga semua yang direncanakan oleh Retno ibunya adalah hal yang terbaik untuk hidupnya.
Semua mata kini beralih menatap Nadia. Gadis itu terlihat bersungguh-sungguh pada permintaannya. Ia bahkan tersenyum manis pada Umi yang terlihat tidak baik karena berbagai perasaan yang mendera.
“Kita semua dipaksa bukan? Aku dipaksa menikah dengan Mas Gibran yang tidak kukenal sebelumnya demi Ibu, Mbak Umi harus berbagi suami dengan aku, padahal hatinya tidak rela. Aku yakin itu. Mas Gibran juga sama kan? Dipaksa untuk menikah dengan aku, benar kan, Mas?” tanya Nadia meninggikan suara. “Kita semua sama, kita semua dipaksa untuk menerima semua yang orang tua kita mau. Jadi, kita jalani ini seperti apa yang mereka minta saja, biar puas! Benar begitu kan, Bu, Bude,” ujar Nadia tampak emosi.
Gadis itu bicara penuh semangat dan emosi yang tidak terkendali. Air matanya menetes untuk pertama kali. Tidak terima dengan perjodohan yang diciptakan oleh orang tua dengan alasan kebahagiaan untuk anaknya, padahal tidak semua keputusan orang tua adalah yang terbaik untuk anak-anaknya.
Retno terkejut pada pengakuan yang dibuat Nadia, ia tidak menyangka gadis kecil itu akan menentang juga pada akhirnya.
Padahal, sebelumnya ia hanya menuruti semua apa yang dikatakan Retno. Sama halnya dengan Arani, ia tidak menyangka kalau Nadia akan bersuara dan sedikit menentang walau tetap menerima perjodohan itu.
“Kamu cari yang bagaimana lagi sih, di sini sudah ada Gibran. Lebih gagah dan lebih mapan dari pada pacar kamu yang belum jelas itu, Nadia,” ujar Retno penuh emosi. “Pakai syarat segala, bukanlah mobil baru sudah Ibu berikan?” protes Retno mulai naik pitam. “Sekarang kita sudah di sini dan kamu mulai berulah.” Sambung Retno dengan nada tinggi.
“Baik, mungkin aku akan dipertemukan dengan lelaki yang gagah dan mapan, tapi apa Ibu dan Bude pernah memikirkan bagaimana perasaan Mbak Umi, harus melepaskan suaminya ke tangan orang lain, hanya karena ia belum memberikan cucu. Di mana hati kalian?” ujar Nadia penuh amarah.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.