"Sudah kuputuskan aku enggak mau nikah," ucap Diana tanpa ragu.
Perempuan itu memalingkan wajahnya ke arah jendela sambil menyesap lemon tea hangat favoritnya. Matanya tertuju pada salah satu baliho besar yang diterangi lampu sorot bertuliskan "PROMO PREWEDDING BULAN INI" di seberang jalan.
"Cih," pikirnya dalam hati. "Siapa juga yang mau nikah."
"Emang kamu enggak pernah kepikiran gitu, kalau enggak nikah nanti tuanya bakal kesepian?" tanya Amel yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya itu tampak tidak tertarik dengan tema obrolan kali ini.
"Masih banyak hal yang lebih menakutkan di dunia ini dari pada kesendirian Mel," jawabnya penuh keyakinan. "Kesendirian bukanlah hal yang menakutkan."
Mendengarkan jawaban sahabatnya itu membuat Amel tergeleng-geleng heran. Ia mengelus-elus perutnya yang buncit berisi jabang bayi berusia 8 bulan. 2 minggu lagi adalah hari kelahiran anak pertamanya. Ia sengaja bertemu dengan Diana untuk berbincang-bincang tentang persalinannya. Namun entah bagaimana obrolan itu jadi berbelok arah.
"Dari dulu kamu itu emang paling keras kepala. Kalau udah punya prinsip susah dibelokkan."
"You know me so well Mel," ujar Diana diiringi tawanya yang mengisi seluru kafe yang kebetulan memang sudah tidak ada pengunjung.
"Kalau gitu aku pulang dulu deh Di, kapan-kapan mampir lagi. Arya udah ngechat katanya nunggu di parkiran," ucap Amel setelah menilik ponselnya.
"Kok Arya enggak disuruh masuk dulu Mel?"
"Lain kali deh ya. Mau jemput mama dulu ke bandara. Soalnya udah landing dari tadi pesawatnya. "
"Oh jadi mamamu mau datang buat nemenin kamu lahiran?"
"Iya, untungnya ada mama yang bersedia direpotin."
"Yaudah, salam aja kalau gitu buat Arya sama mamamu," timpal Diana.
"Oke deh, see ya." jawab Amel sambil berjalan terburu-buru menuju pintu keluar.
"Dadah," tangan Diana melambai mengiringi kepergian sahabatnya itu.
Sejenak ada keheningan yang janggal mengiringi malam itu setelah obrolan tadi, namun segera ia tepis. Ia merasa kasihan dengan sahabatnya yang “terpaksa” menikah karena mengandung duluan. Menurutnya Amel masih bisa sukses berkarier sebelum memutuskan menikah. Tapi semua itu sudah terjadi.
Saat ini sudah Pukul sebelas malam. Semua karyawannya sudah pulang dari tadi. Diana melepaskan apron-nya yang sedari tadi masih menempel di badannya lalu meletakkannya di atas meja kasir. Terkadang ia memang senang membantu melayani customernya jika suasana hatinya sedang bagus.
"Sebaiknya aku pulang juga, gelas-gelas bekas Amel tadi biar Maya aja yang nyuci besok," gumamnya sambil menenteng tas tentengnya lalu berjalan keluar.
Tak lupa ia mengunci pintu sebelum pergi ke tempat parkir. Sebuah mobil putih terparkir sendiri di sana. Mobil mewah yang dibelinya dengan kerja keras setelah sukses menjalankan bisnis kafe yang ia rintis setelah lulus kuliah. Ia menatap bangunan berwarna serba putih dengan dua lantai yang berdiri kokoh di hadapannya sebelum memasuki mobil. Sebuah papan nama bertuliskan “Romansa Cafe” terpajang di dinding bangunan tersebut. Ada rasa bangga di dalam hatinya.
Mobil pun melaju menyusuri jalanan malam itu. Sebuah lagu dari Oppie Andaresta berdendang dari radio mengiringi perjalanannya kembali ke rumah. Malam yang sempurna, pikirnya. Jalanan tak begitu ramai. Lampu-lampu kota menyinari sepanjang jalan raya, seolah mengiringi perjalanan Diana menjuju rumahnya yang kebetulan tak terlalu jauh dari kafe. Hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk tiba di rumah.
"Hidupku sangat sempurna I'm single and very happy," ia turut mendendangkan alunan lagu favoritnya itu.
Namun ponselnya tiba-tiba berdering membuatnya tersadar dari keasyikannya pada lagu itu.
"Halo bu," ujar Diana sambil menyematkan Earphone di telinganya.
"Kamu apa kabar sayang?" tanya seorang wanita dari seberang telepon.
"Baik bu, ini baru pulang dari kafe mau ke rumah. Ibu apa kabar?"
"Baik kok sayang."
"Syukur deh kalau baik-baik aja bu."
"Sayang, bapakmu mau kamu pulang bulan depan. Jangan ditolak ya," ujar ibunya lembut namun tanpa basa basi.
Diana menghela nafas panjang. Ia tahu pasti apa yang sedang direncanakan oleh ayahnya sehingga ia harus pulang. Sudah berkali-kali ayahnya meminta Diana untuk pulang ke Jogja, namun tak pernah ia turuti.
"Tapi bu... "
"Pulang aja dulu ya sayang, jangan membantah bapak. Ibu enggak mau kamu berantem sama bapak lagi," potong ibunya lirih.
"Yaudah iya bu, aku pulang deh bulan depan," jawab Diana memutuskan untuk mengalah.
"Nah gitu dong sayang. Yaudah kamu hati-hati di jalan. Ibu tutup ya teleponnya."
"Iya bu." Ia melepaskan earphone dari telinganya dan membantingnya begitu saja sehingga terjatuh di atas kakinya dan membiarkannya saja tergeletak di sana. Perasaannya yang semula bahagia berubah seketika.
Sudah setahun Diana tak kembali ke kampung halamannya. Bukan tanpa alasan ia enggan pulang, ia hanya tak ingin bertemu dengan para pria dari putra teman ayahnya yang selalu dijodohkan padanya. Menurutnya semua pria itu tak ada bedanya satu dengan yang lain. Mereka akan meminta Diana untuk tinggal di rumah setelah menikah dan melakukan pekerjaan rumah. Sangat bertolak belakang dengan prinsipnya yang ingin hidup bebas tanpa kekangan dari laki-laki. Sekeras apa pun ayahnya menjodohkannya dengan para lelaki itu, ia tak pernah mau. Itu sebabnya ia lebih memilih menetap di kota ini sendirian.
Perjalanan pulang malam itu menjadi tak menyenangkan lagi bagi Diana. Matanya menatap jalanan dengan penuh kesal. Tapi ia tak bisa melakukan apa pun. Mendengar suara ibunya yang memohon seperti tadi membuatnya tak tega.
Ia memutuskan untuk menyetir cepat agar segera tiba di rumah. Setibanya di depan rumah ia segera memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. Ada suara gaduh di depan rumahnya yang membuatnya terhenti dari langkahnya memasuki rumah.
Tampak sebuah mobil pickup sedang mengangkut meja makan kecil ke dalam rumah di seberang.
"Mungkin ada yang baru pindah," pikirnya dalam hati.
Ia tak begitu memedulikannya dan melangkah memasuki rumah lalu segera menuju kamarnya di lantai dua untuk langsung merebahkan badan di atas ranjang tanpa bersih-bersih terlebih dahulu. Ranjangnya adalah tempat favoritnya untuk melepaskan penat setelah seharian sibuk di kafe. Perlahan ia memejamkan mata sambil memikirkan apa alasan yang akan diberikan pada ayahnya untuk menolak perjodohan itu saat pulang ke kampung nanti.
"Ini kardusnya ditaruh di mana pak?"
"Di sebelah sana aja."
Percakapan para pekerja yang bolak balik mengangkut perabotan terdengar sampai ke dalam kamarnya. Diana pun bangkit dari tidurnya lalu menarik tirai jendela kamarnya untuk menengok keadaan di luar rumah. Memang benar para pekerja itu sedang sibuk mengangkut perabotan ke dalam rumah di seberang. Sayangnya suara gaduh kepindahan tetangga barunya itu sedikit mengganggu waktu istirahat Diana. Namun apa boleh buat. Tak ada yang bisa ia lakukan. Tak mungkin ia menyuruh para pekerja itu untuk mengecilkan suaranya. Apa lagi memaki mereka. Ia tak ingin hubungannya dengan tetangga barunya akan diawali dengan pertengkaran.
"Argh... bikin bete aja," erangnya kesal.
Ia meraih tasnya yang ada di atas meja rias dan mencari earphone miliknya untuk meredam suara bising itu dengan musik, namun ia baru tersadar bahwa ia meninggalkannya beserta ponselnya di dalam mobil.
"Ih males banget kalau harus turun lagi ke garasi buat ngambil earphone," serunya kesal.
Malam ini akan menjadi malam panjang yang menyebalkan. Entah sampai jam berapa para pekerja itu akan selesai memindahkan perabotan tetangga barunya itu.
Diana pun memutuskan kembali merebahkan diri di atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Hal yang paling ia inginkan saat ini adalah tidur dengan tenang dan damai.
***
Tok tok tok!
"Ya ampun kayaknya enggak ada habisnya ya itu tetangga baru bebenah dari tadi," gerutu Diana sambil terhuyung-huyung berjalan membuka tirai jendela kamarnya. Sinar matahari menusuk matanya dan membuatnya terkejut. Ia bergegas melirik jam dinding.
Pukul 9!
"Astaga! Aku kesiangan." Ia buru-buru mengambil handuk yang mengantung di jemuran handuk dekat pintu kamar mandi di kamarnya.
Kebisingan semalam membuat tidur Diana tidak nyenyak. Ia bahkan mandi tanpa keramas kali ini, rutinitas wajib yang selalu ia lakukan setiap mandi pagi. Hanya dengan berbungkus handuk ia bergegas memakai pakaian seadanya yang pertama kali ia lihat di lemari. Ia sempatkan memulas lipstik warna coral di bibir mungilnya tanpa melihat cermin.
Dengan tergopoh ia berlari menuruni tangga kemudian melewati dapur lalu membuka garasi. Saat hendak mengeluarkan mobilnya seorang lelaki berdiri di depan rumah Diana. Ia tampak sedang menanti seseorang.
"Nyari siapa Mas?" tanya Diana, melongok dari dalam mobilnya.
"Mbaknya yang tinggal di sini? Saya tetangga baru yang pindahan semalem mbak, tadi udah ketok-ketok enggak ada yang jawab. Bellnya juga rusak sepertinya, soalnya enggak ada suaranya," ujarnya.
Terjawab sudah si biang kerok penyebab tidur Diana yang tak nyenyak semalam. Wajah kesal Diana tak dapat disembunyikan. Namun ia tak ingin menghabiskan waktunya lebih lama lagi untuk mengomeli tetangga barunya itu.
"Oh, tadi emang saya lagi mandi, terus bellnya emang rusak dan belum sempet saya benerin,” jawab Diana ketus.
“Oh pantes mbak,” timpal lelaki itu.
“Bertamunya nanti aja ya mas, saya buru-buru nih udah telat," ujar Diana tanpa basa-basi.
"Oh iya mbak, maaf kalau gitu," jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kalau gitu bisa minggir enggak mas, mobil saya enggak bisa lewat nih."
"Oh iya mbak, maaf maaf." Ia segera bergeser dari tempat berdirinya semula.
“Tapi mbak,” potongnya saat Diana hampir menginjak gas.
“Apa lagi mas?” tanyanya kesal.
“Itu lipstiknya belepotan,” jawabnya berusaha menahan senyum.
Sontak Diana segera melihat ke arah kaca spion tengah di dalam mobil untuk memastikannya. “Sial!” Ia segera menghapus goresan lipstik yang ada di pojok bibirnya dengan tangan.
“Silakan mbak kalau mau buru-buru pergi.”
Mobil Diana pun melaju meninggalkan kompleks perumahan menuju kafe tanpa berkata apa-apa pada tetangga barunya.
Sepanjang perjalanan ia terus menggerutu tentang kesialannya pagi ini, hingga ia tersadar bahwa ponselnya tengah berdering dari tadi. Sambil mengemudikan mobilnya ia meraba-raba mencari sumber suara dering ponselnya. Ternyata terselip di antara gas dan rem.
"Ya ampun 10 panggilan dari si Maya," serunya. "Halo!"
"Mbak, kok dari tadi enggak diangkat? Banyak pelanggan yang udah dateng terus pulang lagi gara-gara kafenya masih tutup,” ujar Maya terdengar panik.
"Sorry May, tadi aku kesiangan. Ini OTW kok."
"Iya mbak."
Kesal dan panik bercampur aduk membuatnya semakin ingin meluapkan amarahnya pada satu orang yang baru ia temui tadi pagi.
"Awas aja nih abis ini aku samperin dia," batinnya sambil fokus pada jalanan.
Sesampainya di depan kafe tampak 3 orang karyawannya sedang duduk di depan pintu masuk menantinya untuk membukakan pintu.
"Mbak kok telat sih?" ujar Ane salah satu karyawannya yang bertubuh mungil.
"Iya mbak, aku sampe pegel nih nungguinnya dari jam 7," timpal Aldo si barista tinggi berambut pirang.
"Kesiangan ya mbak?" Maya tak mau kalah meski ia sudah tahu jawabannya, namun meledek bosnya adalah hal yang menyenangkan baginya.
"Ah bawel kalian, baru sekali juga aku telat. Nih buka pintunya," ujarnya, memberikan kunci kafe kepada Maya.
"Nanti diduplikat ya May kuncinya, terus kunci yang asli balikin lagi ke aku di rumah. Aku ada urusan, jadi enggak bisa stay di kafe hari ini. Aku titip kafe sama kalian," jelas Diana.
"Iya mbak," jawab Maya sembari membuka pintu kafe.
"Aku pergi ya," ujarnya lalu pergi meninggalkan kafe menuju mobilnya.
“Iya mbak,” jawab mereka bersamaan.
Ia berniat kembali ke rumah untuk menemui tetangga barunya itu untuk perkenalan sekaligus peringatan agar tidak mengulangi kebisingan seperti semalam.
Setibanya di rumah setelah memarkirkan mobilnya di dalam bagasi, ia melihat tetangga barunya itu sedang merapikan beberapa pot bunga yang Diana sendiri tak mengetahui apa saja nama-nama bunga itu. Yang ia tahu jenis bunga hanyalah mawar dan melati. Seperti lirik lagu yang dihafalkannya saat masih anak-anak.
"Permisi," ucap Diana.
"Eh mbak," jawab lelaki itu segera menghentikan aktivitasnya dan berjalan cepat ke arah Diana.
"Mas tetangga baru ya?" tanya Diana.
"Iya mbak, masuk dulu silakan," ia membuka pagar rumahnya dan mempersilahkan Diana masuk ke dalam rumah.
Diana pun mengikutinya dari belakang hingga masuk ke dalam.
"Silakan duduk mbak," ujarnya.
Diana duduk sambil memperhatikan seluruh rumah yang baru 40% dibenahi. Ia sedikit membandingkan beberapa perabotan milik tetangga barunya dengan miliknya. Tipe orang yang hidup dengan barang-barang serba minimalist. Tak jauh beda dengan dirinya. Sofa ruang tamu yang hanya muat untuk empat orang. Meja makan yang terlihat dari ruang tamu dengan dua kursi saja dan beberapa perabotan lainnya yang tertata terbatas seakan ia memang sedang hidup sendiri.
“Mungkin dia masih lajang,” pikir Diana.
"Kenalin saya Rama," ujarnya mengulurkan tangannya pada Diana.
"Diana," ia menyambut jabatan tangan Rama.
"Oya mas saya to the point aja ya, saya itu penghuni pertama di sini sejak perumahan ini dibangun. Dan saya sengaja beli rumah yang paling ujung dari 6 rumah yang ada, supaya menghindari berisik dari kanan kiri. Jadi saya minta tolong jangan diulangi ya mas berisiknya kaya semalem. Saya keganggu banget loh, sampai enggak bisa tidur. Pagi ini saya telat gara-gara masnya," cecar Diana.
"Oh maaf mbak, kalau semalam itu bikin mbak terganggu," jawab Rama.
"It's okay, yang penting jangan diulang lagi aja. Lagian kenapa sih mas pindahannya kudu malem-malem?"
"Kebetulan memang saya baru sempat pindahan tadi malam mbak. Siangnya saya harus ngurusin beberapa berkas kepindahan saya di kantor cabang, baru ngurusin pindahan rumah.”
“Oh gitu.”
“Oh ya, Mbak Diana mau minum apa?” tanya Rama sambil bangkit dari duduknya hendak pergi ke dapur.
“Enggak usah mas, makasih. Ini saya mau pulang kok,” jawabnya.
“Kok buru-buru mbak?”
“Saya masih ada kerjaan mas, lain kali aja ngobrol nya ya.”
“Ya udah kalau gitu mbak.”
Lelaki berbadan jangkung itu mengantarkan Diana hingga pagar. Seorang wanita berusia 50 tahun yang biasa dipanggil Bu Rike terlihat sedang merapikan tanaman di halaman rumahnya tersenyum pada mereka. Rumahnya hanya bersebelahan dengan Diana.
“Loh ada tetangga baru ya?” ujarnya.
“Iya bu, saya Rama.”
“Kapan pindahan nya?”
“Semalem bu. Maaf ya kalau semalem tidurnya keganggu karena suara berisik pas saya pindahan,” ujar Rama.
“Enggak berisik kok. Saya semalem tidur pules banget mas. Emang ada yang protes berisik ya mas?” tanya wanita bertubuh gemuk itu.
Seketika Rama melirik ke arah Diana yang masih berdiri di depan pagar rumahnya tak jadi pulang. Suasana canggung seolah berdenging di sekitar Diana dan Rama.
“Enggak kok Bu, takutnya ada yang keganggu aja,” jawab Rama berusaha mencairkan suasana.
“Saya pulang dulu mas. Mari Bu Rike,” ujar Diana segera masuk ke dalam rumahnya.
Puri Asri, perumahan tempat Diana tinggal memang hanya terdiri dari 6 rumah. Sengaja dibangun di lahan yang tak terlalu luas. Sebuah hunian yang sangat cocok dengan Diana, orang yang tak terlalu suka bersosialisasi. Sayangnya menurut Diana, Bu Rike adalah salah satu tetangga yang cukup mengganggu karena sifatnya yang suka kepo tentang apa saja. Keberadaannya sedikit merusak kesempurnaan hidupnya di perumahan itu.
Hari ini Diana sengaja tidak kembali ke kafe. Mood-nya sedang tidak bagus sejak semalam. Ia ingin berlibur sejenak barang sehari saja. Ada yang sedang mengganggu pikirannya. Sambil melamun di ruang tamu ia memijat-mijat pelipisnya yang sedari tadi terasa sakit.
Ting ting ting! Suara sendok diketuk-ketukan ke mangkuk membuyarkan lamunannya.
“Tumben ada orang jualan lewat depan rumah, biasanya kan orang jualan ga ada yang masuk ke dalam komplek” pikirnya.
“Mbak Diana! Udah sarapan belum? Ini ada bubur ayam, mau beli sekalian enggak?” Teriak Rama dari luar rumah.
Ia mengelus-elus perutnya yang ternyata sudah berbunyi dari tadi.
“Hmm, laper sih.” Ujarnya seraya bangkit kemudian melangkah ke teras.
“Siapa yang manggil bubur mas?” tanya Diana dari teras. Kemudian ia berjalan mendekati gerobak bubur dari balik pagar yang berhenti tepat di depan rumahnya.
“Tadi lewat di luar komplek terus saya panggil aja ke sini,” jawab Rama sambil memegang semangkuk bubur yang dipenuhi taburan ayam yang melimpah.
“Bubur neng?” tanya bapak penjual bubur itu pada Diana.
“Iya mang saya pesen sa...,”
“Saya satu mang!” Potong Bu Rike yang tiba-tiba datang sambil membawa sebuah mangkuk dan menyodorkannya pada si penjual bubur.
“Oke Bu,” ujar bapak itu segera mengambil mangkuknya.
Diana menggerutu dalam hati karena antreannya diserobot tetangga sebelahnya. Ia memang tak begitu akrab dengan Bu Rike. Yang ia tahu, Bu Rike tinggal sendiri setelah berpisah dari suaminya.
“Saya duluan ya Mbak Diana? Enggak apa-apa kan?” tanya Bu Rike tanpa rasa bersalah.
“Iya Bu silakan,” jawab Diana. “Abis Bu Rike, saya dibuatin satu ya mang. Pedes.”
“Siap neng geulis!”
Dengan saksama Diana memperhatikan bapak penjual bubur ayam meracik buburnya yang membuat perutnya semakin bergejolak.
“Enggak kerja Mbak?” tanya Rama sambil menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. Ia lebih memilih jongkok di tepi jalan tanpa bangku ketimbang makan di dalam rumah.
“Udah pulang,” jawab Diana singkat.
“Kok makannya di situ sih Mas Rama? Enggak masuk ke dalam?” tanya Bu Rike menimpali.
“Enakan di sini Bu, saya makannya cepet kok. Jadi mangkuknya bisa langsung dibalikin ke mamangnya,” jawab Rama.
“Oh, kalau saya sukanya bawa mangkuk sendiri Mas, biar bersih” ujar Bu Rike sambil berbisik kepada Rama agar bapak penjual bubur itu tak mendengarnya lalu melirik Diana yang memang tak membawa mangkuk sendiri.
“Punya saya nanti dibungkus aja ya mang,” sahut Diana tak mau kalah.
“Siap neng!”
Tiba-tiba situasi menjadi canggung di antara Bu Rike dan Diana. Rama yang mengetahuinya berpura-pura tidak tahu dan melanjutkan aktivitas makannya.
“Ini buburnya Bu,” ujar bapak penjual bubur ayam kepada Bu Rike. “Sepuluh ribu saja.”
“Kalau gitu, ini uangnya ya mang, makasih. Bye semua.” Dengan badan gemuknya ia melenggang meninggalkan Diana dan Rama dengan membawa semangkuk bubur ayamnya.
Tanpa sadar Diana mencibirkan bibirnya kepada Bu Rike sambil menirukan lenggak-lenggoknya.
“Hahaha, awas kualat Mbak,” ujar Rama yang melihat tingkah lucu Diana.
Seketika wajah Diana berubah menjadi merah karena mengetahui perbuatannya dipergoki oleh tetangga barunya.
“Ini mangkuknya mang, kembaliannya ambil aja ya,” ujar Rama sambil mengembalikan mangkuknya yang sudah kosong beserta selembar uang 50.000.
“Waduh! Hatur nuhun kang. Terimakasih ya. Semoga rezekinya dilipat gandakan oleh Allah,” ucap bapak penjual bubur itu tak henti-hetinya berterimakasih.
“Aamiin, makasih doa paginya mang,” ujar Rama tersenyum membuat lesung pipinya semakin dalam.
Seketika Diana tak dapat melepaskan pandangannya dari tetangganya itu. Sejak dulu ia memang mengagumi orang yang memiliki cekungan kecil di pipinya. Salah satu impiannya adalah memiliki lesung pipi. Menurutnya orang dengan lesung pipi akan semakin manis ketika tersenyum. Dan itulah yang membuat pandangannya terpaku pada senyuman Rama.
“Mbak Diana kerja apa kalau boleh tau? Kok jam segini udah pulang,” tanya Rama.
“Eh iya Mas?” Diana segera tersadar dari lamunannya.
“Mbak Diana kerja apa kok jam segini udah pulang,” ulangnya.
“Oh, saya punya kafe Mas, hari ini sengaja enggak datang ke kafe. Ada urusan di rumah,” jelasnya. Meski pun sebenarnya alasan utamanya pulang ke rumah memang untuk menemui tetangga barunya itu.
“Wah hebat ya Mbak Diana masih muda udah sukses jadi owner kafe,” puji Rama.
Tak dapat dipungkiri Diana sempat tersipu, namun pujian seperti itu sudah sering ia dengarkan dari banyak mulut lelaki yang hanya ingin sekedar berbasa basi.
“Biasa aja kok mas,” ujar Diana. “Saya kan emang udah lama merintisnya. Soalnya sejak lulus kuliah langsung fokus ke kafe. Sempet jatuh bangun juga kok kaya pengusaha lainnya, tapi alhamdulillah kalau sekarang sih sudah stabil,” jelas Diana.
“Hebat loh itu mbak. Sudah berapa cabangnya?”
“Belum ada cabang sih Mas, rencana emang mau buka cabang dalam waktu dekat ini, tapi masih cari-cari lokasi yang strategis.”
“Mau saya temani? Saya lumayan tahu tempat-tempat strategis di kota ini. Saya ada beberapa kenalan,” ujar Rama tampak antusias.
Diana tak menyangka tetangga barunya itu berniat membantunya meski mereka baru saja berkenalan. Padahal pagi tadi ia baru saja mencecarnya karena suara gaduh yang mengganggu tidurnya semalam.
“Itung-itung buat nebus kesalahan saya tadi malam karena udah bikin Mbak Diana enggak bisa tidur,” lanjutnya.
Baru saja Diana berpikir berbeda tentang tetangga barunya itu, tapi ternyata ia bersikap baik hanya untuk menebus kesalahannya. Memang tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini
“Itu pun kalau Mbak Diana enggak keberatan,” tukas Rama segera.
“Boleh Mas. Nanti saya kabari waktunya,” jawab Diana. Menurutnya tak ada ruginya menerima bantuan dari tetangga barunya itu. Toh yang akan diuntungkan adalah Diana sendiri.
“Oke Mbak. Kalau gitu saya duluan ya, mari.” Rama berjalan memasuki rumahnya.
“Iya mas.”
Ada perasaan tak menentu di benak Diana saat memandang punggung lelaki itu ketika menjauh perlahan kemudian menghilang di balik pintu rumahnya. Sudah lama ia tak berbincang dengan lelaki selain Aldo, barista di kafenya. Bukan tanpa alasan, ia memang sudah lama membatasi dirinya pada lelaki mana pun. Bahkan untuk percaya kepada lelaki adalah hal yang tak akan pernah ia lakukan lagi. Sejauh ini ia selalu terjatuh ketika terlalu bersandar pada lelaki.
“Ini neng buburnya.” Ucap bapak penjual bubur ayam sambil menyodorkan kotak styrofoam berbungkus plastik.
“Tunggu sebentar ya mang, saya ambil dompet dulu di dalam.”
“Enggak usah neng, yang ini gratis aja. Tadi kan mas yang barusan udah bayar lebih. Jadi kalau saya kasih gratis ke eneng, saya enggak rugi kok.” Jelas bapak itu.
“Oh gitu mang? Yaudah deh, makasih ya. Besok-besok kalau lewat sekitar sini mampir aja mang, barang kali orang-orang sini pada mau beli lagi,” terang Diana.
“Siap neng!”
“Saya masuk dulu mang, mari.”
“Mangga.”
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.