Kiara mengerjapkan kelopak matanya. Untuk beberapa saat lamanya ia mencoba mencerna keadaan yang terasa asing baginya. Kamar ini, bukanlah kamarnya yang sempit dengan dinding yang mengelupas di sana sini. Atapnya juga terlalu bagus jika dibandingkan dengan atap kamarnya yang terdapat banyak noda hitam akibat bocor hingga berjamur. Gadis itu mengoleskan tubuhnya lalu duduk. Menatap sekeliling dengan otak terus berpikir.
"Oh iya, aku 'kan sekarang sudah diangkat anak oleh orang kaya. Kenapa bisa lupa," gumamnya sembari menepuk jidatnya.
Senyum Kiara mengembang sempurna mengingat betapa beruntungnya didirinya saat ini. Dua hari yang lalu ia masih meratapi nasib dan menghujat Allah atas takdir yang menimpanya. Namun hari ini tak henti-hentinya ia bersyukur atas nikmat tiada Tara ini. Perlahan ia menggeser tubuhnya hingga kedua kaki menjuntai di atas lantai. Berjalan perlahan menuju ke samping tempat tidur mendekati jendela.
Tangannya terulur untuk membuka tirai yang menghalangi pandangan mata menatap luar. Bibirnya terus tertarik membentuk garis senyum. Ah, betapa enaknya jadi orang kaya. Bagun tidur sudah disuguhi pemandangan indah dengan suasana yang begitu damai. Tak ada teriakan bibik yang menyuruhnya bekerja, atau bentakan paman yang memekakkan telinga.
Kiara membuka jendela dan pintu yang mengarah ke balkon. Melangkah ke depan sembari merasakan hembusan angin pagi yang menerpa kulitnya.
"Pagi, Ki. Gimana tidurnya, nyenyak?" sapa seseorang yang juga melakukan hal yang sama di balkon samping kamarnya.
"Pagi, Kak Mel," sahut Kiara riang. "Nyenyak banget, Kak," lanjutnya sembari berjalan menuju pagar pembatas yang menghalangi dirinya dengan Melani. Hal yang sama juga dilakukan oleh gadis yang dipanggil kakak itu hingga jarak mereka semakin dekat.
Melani tersenyum menatap wajah bangun tidur Kiara yang tetap cantik. Lalu tangannya terulur untuk menyelipkan sebagian rambut yang menjuntai ke belakang telinga.
"Seorang gadis itu, kalau keluar rumah harus menutup aurat," ucapnya lembut. Berbeda sekali dengan sifat Melani yang biasanya usil. "Jangan sampai rambut indahmu ini dinikmati oleh pria asing yang akan menyebabkanmu tersengat api neraka," lanjutnya sembari tetap tersenyum.
Kiara menunduk malu. Ia memang belum istiqomah dalam menggunakan hijab. Terkadang kalau keluar rumah dengan jarak yang masih dekat, seperti menyapu di samping rumah, dia tak mengenakan hijab. Terlebih jika bibiknya sudah berteriak untuk segera mengerjakan sesuatu, ia tak sempat mengenakan kerudung lagi.
Bahkan untuk menjalankan salat lima waktu saja dia harus mencuri-curi waktu mengingat selama hidup bersama bibiknya, ia bagai sapi perah. Tenaganya terus diperas sementara hasilnya akan dinikmati bersama. Bahkan jika ia mendapat keuntungan lebih dari hasil berjualan gorengan, akan direbut paksa oleh pamannya.
Mengingat hal itu, hatinya kembali berdenyut nyeri. Seumur hidupnya, ia belum pernah merasakan hidup berkecukupan.
"Ki, kamu melamun lagi," ucap Melani membuyarkan lamunan Kiara.
"Ah, nggak kok, Kak." Wajah Kiara memerah karena kepergok melamun saat diajak bicara. "Kakak mau ke mana? Kok cantik banget?"
"Mau ikut?" tawar Melani. Ia berharap adiknya mau ikut dengannya supaya pikiran Kiara tidak kembali ke masa-masa yang membuatnya trauma.
"Kemana, Kak?"
"Ke kafe."
Kiara tampak berpikir. Ia menimbang-nimbang apakah mau ikuta atau di rumah saja. Lalu otaknya membayangkan di tempat itu akan bertemu banyak orang. Sungguh dia masih belum berani bertemu banyak orang karena hal itu akan mengingatkan dirinya pada peristiwa lalu.
"Aku di rumah aja, deh, Kak. Bantuin mama masak," ucapnya sembari memalingkan wajah. Hatinya gelisah setiap kali memikirkan kejadian yang menimpanya.
"Sudah ada Bik Siti yang masak, Ki. Mama juga paling pergi ke pengajian," jawab Melani mencoba menggoyahkan keputusan Kiara.
Bukan tanpa tujuan ia mengajak Kiara ikut bersamanya. Melani sudah membayangkan pergi berdua dengan adik barunya lalu nanti akan ia pamerkan pada para karyawan kafe kalau dirinya punya adik sekarang. Ya, seniat itulah dia untuk memamerkan Kiara pada orang lain.
"Lain kali aja, Kak. Aku belum siap ketemu banyak orang," kekeuh Kiara. Dia masih butuh beradaptasi dengan dunia luar semenjak peristiwa naas itu. Kiara yang sekarang lebih rapuh dan mudah takut. Berbeda dengan Kiara yang dulu, kuat, tangguh, sabar, dan pantang menyerah. Semua sifat-sifat positif itu telah hilang direnggut orang-orang yang menghujatnya.
Melani tampak kecewa. Namun ia juga tak bisa memaksa Kiara mengingat kondisi mental gadis itu yang masih labil. Ia mengingat ucapan psikiater yang menangani Kiara, bahwa gadis itu tidak bisa dipaksa. Harus perlahan-lahan kalau ingin mengubahnya dan mengembalikan kepercayaan dirinya lagi.
"Ok, deh kalau gitu. Nanti aku usahakan pulang cepat biar bisa ngobrol sama kamu lagi." Senyum Kiara mengembangendengar hal itu. "Mau dibawaain apa kalau aku pulang?"
Kiara menggeleng. Dia tidak ingin apa-apa. Dia hanya ingin kehangatan keluarga. Baginya hal itu sudah lebih dari cukup. Dia juga tak mau serakah dengan meminta banyak hal meskipun keluarga ini sudah memberinya kesempatan dan kebebasan untuk meminta sesuatu.
Kiara membersihkan tubuhnya di bawah shower. Menikmati pijatan lembut dari tetesan air yang menerpa seluruh tubuhnya hingga otot-otot yang kaku terasa ringan. Beban di pundaknya seolah ikut mengalir bersama air, hingga hanya ketenangan yang ia rasakan.
Tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, ia segera menyudahi ritual mandi yang terasa menyenangkan untuk pertama kalinya dalam hidup. Ia benar-benar bisa menikmati rasanya "me time" setelah sekian lama waktunya dihabiskan untuk menuruti keinginan paman dan bibik serta sepupunya yang manja.
"Masak apa, Ma?" Kiara mendekati mamanya yang tengah sibuk di dapur, sedangkan Bik Siti terlihat sibuk membersihkan lantai.
"Eh, anak mama sudah bangun. Gimana, Sayang tidurnya? Nyenyak?" Mama menoleh dan menatap Kiara sekilas.
"Nyenyak banget, Ma. Sampai nggak dengar azan subuh," jawab Kiara sambil menunduk menyembunyikan semburat merah di pipi. 'Sungguh memalukan, baru hari pertama tinggal di rumah ini aku sudah bertingkah seperti majikan saja' batin Kiara.
"Ya sudah, kamu duduk saja, tunggu sebentar lagi sarapannya siap," ucap mama lalu kembali berkutat dengan masakannya.
"Izinkan Kiara bantuin Mama, ya."
"Tidak, Sayang. Kamu istirahat saja, ya. Kamu kan belum sehat betul, biar mama saja yang selesaikan." Mama lalu membimbing Kiara untuk duduk di salah satu kursi di ruang makan yang hanya berbatasan sebuah partisi dengan dapur. Mau tak mau Kiara menurut meskipun ia sangat ingin membantu.
"Padahal Kiara sudah biasa bekerja keras di rumah bibik dulu," lirihnya.
Mama memegang tangan Kiara lembut sembari mengelus puncak kepalanya. "Mama tahu hidupmu dulu nggak mudah, Sayang. Sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi, Mama minta kamu jangan sungkan ya, Sayang. Kamu sekarang sudah jadi anak Mama, sama kayak Melani dan Aksa."
Kiara mengangguk. Kebahagiaan membuncah di d**a hingga membuatnya tak mampu membendung air mata yang dari kemarin lebih banyak keluar.
"Terima kasih, Ma," ucap Kiara sembari memeluk perut mama.
"Sudah, ah kok malah nangis lagi?" Mama mengusap air mata yang membasahi pipi Kiara. "Udah, jangan nangis lagi, malu tuh dilihatin Abang," ucap mama semberi melirik Aksa yang berdiri tak jauh dari mereka.
Seketika tubuh Kiara menjadi kaku. Ia tak berani menoleh ke samping. 'Duh, Kiara ... kok kamu bikin malu terus, sih' batinnya.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.