Hujan tiba-tiba turun deras saat Radit dan Riana sibuk meredam detak jantung masing-masing. Kedua mempelai itu kini duduk bersanding di depan penghulu yang sudah siap untuk menyatukan mereka. Balutan pakaian sakral ala pengantin berwarna putih yang indah dan cocok dikenakan oleh keduanya, membuat suasana hati mereka terpacu lebih cepat. Senyuman di kedua bibir pasangan itu membuat pasangan mata melihat mereka dengan rasa bahagia pula.
Namun,dibalik senyum yang tampak, tersirat keadaan hati yang sebenarnya. Senyum keduanya terlihat sangat berbeda. Bagi Riana, hari ini adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu. Ia terlihat sangat bahagia, bibir berwarna merah itu tidak henti-hentinya tersenyum sejak acara dimulai dan kemudian ia disandingkan dengan Radit, lelaki yang sangat ia cintai dan akhirnya menjadi suaminya kini, matanya berbinar dengan tatapan bahagia tanda hatinya sedang berbunga setiap kali menatap Radit yang kini berdiri di sampingnya dengan senyum yang terlihat sama. Senyumnya selalu menghiasi bibir mungil itu sehingga setiap gerakan tubuhnya terlihat tampak indah karena hati yang benar-benar bahagia hari itu. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya karena untuk duduk berdampingan seperti ini dengan Radit, Riana butuh perjuangan yang tidak sedikit, berbagai cara untuk mendapatkan cinta lelaki di sampingnya, Radit—sahabatnya sejak kecil adalah hal yang ia perjuangkan sejak lama.
Berkali-kali mencoba menebar pesona dan mengatakan kalau ia mencintai lelaki itu bukan perkara gampang, berkali-kali mengatakan cinta, tidak sekali dua kali pula ia akhirnya ditolak oleh Radit. Namun, kini, hari ini menerima jerih payah dan usahanya selama ini. Radit akhirnya mengenakan pakaian yang sama dengan dirinya dan duduk di depan penghulu yang akan menikahkan mereka, dalam arti Riana akan memiliki Radit selamanya.
Sedangkan Radit, sang pengantin lelaki, pemilik tubuh tinggi dan wajah yang rupawan itu juga terlihat tersenyum, tapi, kekakuan pada sikapnya terlihat sangat jelas saat semua mata mulai berpaling dari dirinya. Senyum yang ia perlihatkan pun tidak terlihat bahagia. Ia tersenyum, tapi hanya pada beberapa orang, selebihnya hanya mencoba tersenyum agar tampak terlihat bahagia saja.
Padahal hatinya tidak merasakan bahagia itu sedikit pun. Rasa marah, kecewa dan tidak berdaya lebih terlihat saat ia hanya pasrah dalam proses pernikahan yang tidak ia inginkan sama sekali.
“Radit, sudah siap?” tanya penghulu itu saat Radit terlihat sudah siap, duduk di samping Riana dengan tatapan fokus ke lantai.
Seperti mengucapkan doa-doa akan pernikahannya hari ini, penghulu pun meminta diri untuk kesiapan Radit kali ini. Padahal, di dalam hati, Radit berdoa agar pernikahan ini gagal tiba-tiba. Ya, dia bahkan tidak punya rasa apa-apa pada pasangannya—Riana. Pernikahan ini dilakukan hanya karena merupakan permintaan ibunya dan sebagai rasa hormatnya kepada sang ibu karena wanita itulah yang melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
“Insha Allah, Pak,” ujar Radit gugup. Lalu, perlahan melirik gadis di sampingnya yang kini terlihat sama gugupnya dengan dirinya.
Namun, saat melihat senyum Riana dan acungan kepal tangan Riana yang tidak terlalu tinggi itu sebagai penyemangat, akhirnya Radit mengangguk dengan penuh keyakinan.
“Kita mulai ya,” ujar penghulu itu menatap kedua mempelai, saksi dan para tamu secara bergantian.
Radit mengangguk pasrah, sangat pasrah dengan keadaan hatinya yang tengah menangis. Berkali-kali ia melirik sang ibu dan Riana bergantian, masih mencoba berharap agar pernikahan ini tiba-tiba gagal, tapi Tuhan tidak mengijinkan hal itu.
“Saya nikahkan Riana………”
Kalimat sakral itu akhirnya terdengar dengan lantang, walau hati Radit tidak siap menerima ikatan pernikahan ini, tapi ia tetap menjawab kalimat sakral itu dengan lantang dan tepat. Sehingga pernikahan yang terjadi kini menjadi pernikahan yang sah dan dimulailah hidup barunya mulai detik ini.
"Alhamdulillah, sah!" Serempak para saksi dan tamu yang datang menyerukan kata sah untuk kedua mempelai yang kini menjadi ratu dan raja itu.
Tepuk tangan dan kata ‘alhamdulillah’ bergantian terdengar di masjid itu. Sebagai tanda syukur telah berhasil menyatukan kedua anak manusia dalam ikatan sah dan berharap mendapatkan hidup yang lebih baik ke depannya.
Riana mencoba menarik tangan Radit yang terlihat kaku, mencium punggung tangan lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya itu, lalu berkata," Terima kasih sudah mau menjadi imamku, Dit. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untukmu. Berusaha mengarungi rumah tangga kita dengan baik dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita nanti,” ucap Riana tersenyum, mencium tangan Radit yang kini sudah menjadi suaminya dengan hati yang berdebar-debar.
Tidak ada jawaban dari Radit. Lelaki itu hanya mengusap kepala Riana seperti biasa yang selalu ia lakukan selama ini, hal yang biasanya ia lakukan sekadar tanda sayang karena persahabatan yang sudah terjalin cukup lama, tapi tidak ada cinta di hati dan matanya untuk Riana. Lalu, pria itu menyunggingkan sedikit senyum di bibir sekadar menghargai gadis cantik di depannya tanpa ingin menjawab kata-kata Riana kali ini.
Suasana riuh saat Riana dan Radit saling memberi salam dan berjabat tangan saat keduanya kini berdiri di antara mereka. Semua mata tampak menatap haru dan bahagia melihat kedua pasangan baru itu kini telah sah untuk bersama. Bu Ingrid—ibunda Radit tampak berkaca-kaca saat anaknya dan Riana berakhir dengan kata sah. Impiannya selama ini akhirnya terwujud, mempunyai menantu seorang Riana, gadis manis yang sejak lama mencuri hatinya. Bahkan, Bu Ingrid sudah lama mengidamkan Riana sebagai menantunya dan berdoa agar Radit jatuh cinta pada Riana.
Walaupun bertahun-tahun bersama sejak kecil, tapi tidak ada benih cinta untuk mereka pelihara bersama. Perasaan itu hadir hanya di hati Riana. Bagi Riana, Radit adalah segalanya sejak mengenal lelaki itu. Semua ia serahkan termasuk hatinya. Namun bagi Radit, kebersamaan dan rasa sayang yang ada untuk Riana hanya sekadar perasaan biasa, murni persahabatan.
Keduanya hanya tampak seperti saudara kandung yang kompak karena di mana ada Radit di sana juga ada Riana. Keduanya tampak sangat cocok bagi puluhan mata memandang. Namun, kenyataannya berbeda. Tidak selamanya sahabat yang terlihat bagai keluarga bisa menjadi pasangan hidup dan menyenangkan.
Radit kini menatap Riana dengan mata berkaca-kaca dan berkata, "Terima kasih, Na. Semoga bersamamu aku bisa melupakan dia."
Ada mata yang ditahan untuk tidak menangis, ada hati yang patah, tapi bibir harus berusaha tetap tersenyum. Begitulah perasaan Radit saat itu, hancur dan harus menerima sebuah paksaan yang tidak bisa ia tolak.
Hujan masih turun dengan deras. Di saat yang sama, kata-kata Radit yang menyatakan perasaan itu malah melukai hati Riana di awal pernikahan mereka. Walaupun Riana tahu kalau Radit tidak mencintainya. Namun, tetap saja Riana cemburu karena di hati suaminya kini, namanya memang tidak pernah ada.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.