"Bodoh!"
Alexa mengumpat lalu membanting novel berjudul "The Rebel" yang baru selesai ia baca ke lantai. Ia berguling dalam posisi tengkurap menatap kesal pada novel dengan sampul bergambar pedang itu.
Bagaimana tidak?
Novel itu berisi tokoh protagonis yang licik dan haus akan kekuasaan, berpikir sempit dan manipulatif. Apalagi saat ending-nya sang raja dan ratu yang kalah dihukum dengan sadis. Bab terakhir di mana kisah Ratu Athea yang menggenggam tangan Raja Arthur yang sekarat. Di sana Ratu Athea menyatakan perasaannya yang tulus pada Raja Arthur, begitupun Raja Arthur meminta maaf atas semua kesalahannya di masa lalu.
”Ratuku, terima kasih telah menemaniku sampai akhir hayat. Maafkan aku. Aku bersumpah, aku akan mencintaimu jauh lebih tulus darimu di kehidupan selanjutnya.”
Kata-kata terakhir Raja Arthur itu membuat hati Athea berdesir dan menangis haru atas kisah cinta tragis sang tokoh antagonis. Namun, ketika membaca bagian terakhir dari bab itu, di mana jasad Raja Arthur dan Ratu Athea dibuang sebagai makanan ke kandang serigala. Adegan itu sontak membuat Alexa semakin naik pitam sebagai pembaca berotak normal.
"Kau pasti karya cacat yang digunakan untuk propaganda anti pemerintah! Oh, siapa pun penulisnya! Kau sadar atau tidak, jika tokoh utama yang kau kembangkan itu adalah benih-benih psikopat dan pembunuh berantai?!" hardik Alexa pada buku yang tergeletak di lantai seolah buku itu mampu mendengarnya.
"Astaga ... novel ini bisa membuatku gila! Kenapa bisa novel seperti ini menjadi novel terlaris?! Dan kenapa aku harus MEMBELINYA?!"
Mendengkus kesal, Alexa memutar bola matanya ke seluruh penjuru kamarnya. Ia melihat jarum jam di dinding. Menunjukkan sudah tengah malam lebih. Wanita itu mengeram karena baru menyadari, ternyata sedari tadi ia menghabiskan waktu seharian di hari liburnya hanya untuk membaca novel "The Rebel" yang dirasanya sangat membakar hati dan pikiran.
Bahkan, membuatnya hampir hilang akal!
Pasalnya, tokoh utama dibentuk sebagai anti pemerintah. Sedangkan, Alexa sendiri berprofesi sebagai polwan yang merupakan abdi negara. Tentu saja ia langsung muak dengan novel berbau politik sesat seperti ini. Jelas ini bukan bacaan yang bisa dibaca oleh semua kalangan umur karena salah dalam memahami, maka banyak orang yang akan terpengaruh sehingga memaklumi sebuah propaganda dan pemberontakan.
Alexa kembali menatap tajam novel yang masih teronggok di lantai itu seraya mengangkat jari telunjuknya ke arah si novel.
"Awas, ya! Besok aku akan melaporkanmu!"
Karena hari makin larut dan besok Alexa harus kembali bertugas sebagai polwan, ia pun segera menarik selimut dan tidur.
***
Bugh!
Alexa membentur sesuatu dengan keras. Rasa sakit dan perih seolah menggores kulit lututnya. Awalnya, ia kira ini hanya mimpi seperti biasa ketika orang merasa jatuh dari ketinggian atau semacamnya. Namun, ketika ia meraba permukaan kasurnya, ia merasa aneh dengan permukaan yang terasa kasar. Padahal, sprei miliknya berkualitas tinggi. Kening Athea mengernyit heran, perlahan ia membuka mata samar, tetapi ia tak mampu melihat apa pun.
Ketindihan, pikirnya.
Namun, setelah beberapa saat retina matanya beradaptasi dengan sekelilingnya. Alexa merasa sangat terkejut ketika ia menyadari dirinya sudah tidak berada di dalam kamar lagi. Wanita itu langsung terduduk dengan wajah panik. Ditatapnya sekelilingnya yang dipenuhi dengan rerumputan ilalang yang tinggi.
Panik?
Jelas!
Alexa memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan lah mimpi. Berkali-kali ia mengucek kedua matanya agar bisa melihat lebih jernih, tetapi semua sama saja. Ia bahkan mencubit tangannya.
"Awh!" pekiknya langsung mengusap tangannya yang langsung memerah karena cubitan tangannya.
"Di mana ini? Apa-apaan ini?" Alexa jelas panik.
Ia segera bangkit dari tempatnya. Sekali lagi, ia dibuat terperangah ketika melihat pakaian yang ia kenakan juga bukan pakaian yang terakhir kali ia pakai saat tidur. Justru pakaian yang ia kenakan ini terlihat sangat aneh. Dress panjang tanpa lengan berwarna kuning gading dengan hiasan pernak-pernik berkilau ini membuat Alexa makin kebingungan.
"Sejak kapan aku mengganti pakaian? Bahkan, aku yakin tidak pernah memiliki baju seperti ini."
Belum usai kebingungan Alexa, tiba-tiba ia mendengar suara keributan dan langkah kaki dari belakang. Spontan Alexa langsung membalikkan badan.
"Dia di sana! Tangkap dia!"
"Ayo cepat!"
"Bunuh dia!"
Apa?
Dibunuh?
Dirinya?
Mengapa?
Melihat orang-orang dengan pakaian besi itu berlari ke arahnya seraya membawa tombak dan pedang, Alexa pun langsung berbalik arah dengan panik dan berlari secepat mungkin.
"Mengapa mereka ingin membunuhku? Astaga, sebenarnya apa yang terjadi?!"
"Ayo kejar!"
"Hei, jangan kabur kau!"
Kaki Alexa semakin kencang melangkah. Kini telapak kaki tanpa balutan alas itu mulai menapaki tanah yang dipenuhi pepohonan. Jika tadi ia dikelilingi padang rumput, maka sekarang ia berada di tengah pepohonan besar dengan pencahayaan semakin gelap. Alexa terus saja berlari tak peduli dengan kerikil yang ia pijak bisa saja melukai kakinya.
Di tengah pelariannya itu, ia tak sengaja terperosok ke dalam jurang kecil. Untungnya, jurang itu tak begitu dalam dan ia berhasil mendarat dengan kedua kaki sempurna. Ia melirik ke belakang, masih terdengar suara langkah kaki dan suara pria yang membuat Alexa segera berlari kembali.
Langkah kaki paniknya mengantarkan Alexa sampai ke semak-semak. Di mana di balik semak-semak itu terdapat sebuah perkemahan yang di sekitarnya juga terdapat beberapa prajurit berlalu lalang. Alexa yang terkejut sampai nyaris meloncat. Ia takut jika prajurit ini juga akan membunuhnya. Namun, jika diperhatikan seragam mereka berbeda. Jadi, mungkin orang yang mengejarnya adalah pasukan yang berbeda dari orang-orang yang ada di perkemahan ini.
Mata Alexa berpendar ke sekeliling. Ia mencari tempat bersembunyi. Namun, ia tak diizinkan berpikir lebih lama karena suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Alexa segera berlari mendekati perkemahan. Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Alexa menjejakkan diri ke dalam sebuah tenda yang pintu kainnya terbuka.
Alexa langsung menutup kain pintu itu, lantas menatap sekelilingnya, ternyata sebuah kamar mandi dengan bak kayu seukuran pinggang orang dewasa dengan diameter lingkaran mungkin sekitar satu meter. Alexa melihat bak mandi itu telah terisi air hangat.
"Di mana dia?"
Samar-samar Alexa mendengar suara pria. Kedua matanya terbelalak. Tanpa pikir panjang, Alexa langsung masuk ke dalam bak mandi. Suara berisik yang berasal dari luar mulai menjauh. Namun, samar-samar pula Alexa masih bisa mendengar percakapan orang-orang itu.
"Bukankah ini perkemahan pasukan Kerajaan Adney Land?"
"Benarkah? Buruk, kita harus pergi!"
"Jangan! Jika kita pergi dan kehilangan wanita itu, kita yang celaka."
"Tapi, ada Raja Arthur di sana. Bukankah itu lebih berbahaya?"
Seketika telinga Alexa terasa gatal mendengar nama-nama yang disebutkan tadi. Keningnya mengernyit, berusaha berpikir keras.
Kerajaan Adney Land?
Raja Arthur?
"Hm ... sepertinya itu bukan nama yang asing. Tapi, di mana dan kapan aku pernah mendengarnya?"
Alexa berpikir keras cukup lama sampai ia teringat akan apa yang ia lakukan sebelum tidur. Kedua mata Alexa membelalak sempurna dengan mulut menganga. Kedua telapak tangannya langsung membekap mulutnya sendiri karena saking terkejutnya dengan apa yang terbesit di pikirannya.
"Aku berada di dalam novel 'The Rebel'?!"
Belum sempat ia tenang dari rasa terkejutnya, tiba-tiba ia dikagetkan dengan bayangan gelap yang menutupi cahaya lampu lilin dari pandangannya. Wajah Alexa sontak mendongak ke atas. Bak disambar petir di musim kemarau, betapa terkejutnya ia kala mendapati seorang pria bertubuh tegap tanpa pakaian berdiri tepat di luar bak mandi yang ia masuki.
Wajah pria itu juga tampak terkejut sampai membuat kedua alisnya mencuram tajam. Tatapan elang yang begitu menusuk bagai mata pedang membuat tubuh Alexa yang terendam dalam air hangat langsung menggigil. Tatapan matanya bahkan sampai ikut membekukan seluruh persendian tubuh Alexa. Alexa berubah menjadi batu.
"Siapa kau?"
Suara berat nan maskulin itu menggelitik pendengaran Alexa. Membuat bulu kuduknya meremang seketika. Kedua mata pria itu semakin memicing mendapati kebungkaman Alexa yang masih hanyut dalam rasa syok.
"Sekali lagi, siapa kau atau aku akan membunuhmu?"
Pria itu mengambil pedang yang terletak di atas meja tak jauh darinya dan bersiap membuka mata besi tajam itu. Seolah tersengat listrik bertegangan tinggi, Alexa langsung tersadar. Dengan jantung berdebar ia berusaha menjawab.
"Tolong aku!"
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.