"Mama nyekolahin kamu bukan buat jadi anak geng rusuh."
Dan yang jadi masalah adalah ... Daaron pulang babak belur.
"Habis tawuran di mana kamu?"
Itu papa.
Bisa-bisanya mendapati sang anak pulang sekolah dengan kondisi tidak patut begini. Ayolah, Daaron bersekolah di tempat elite dan berkelas macam SMA Merdeka. Dengan kebanyakan murid yang disiplin, terdidik, dan apik, tidak neko-neko. Namun, apa ini?
Lihatlah Daaron, lahir dari rahim sekolah swasta berkelas pun tidak mencerminkan murid berbudi luhur rupanya. Ada saja kenakalan remaja yang luput dari kuasa orang tua maupun didikan elite di sekolahnya.
Bukannya apa, poinnya juga bukan soal 'sekolahannya', tetapi tentang putra sulung Reinaldi yang membuat orang tua terancam dipanggil oleh pihak kesiswaan.
Kejadiannya di luar lingkungan dan bukan saat jam sekolah memang, tetapi Daaron masih memakai almamater. Itu pun langsung terendus oleh pihak SMA Merdeka.
Oh, apa lagi kali ini?
Ya, ini bukan kali pertama.
Sekali lagi terjadi mungkin Daaron akan dikeluarkan. Dia sudah mendapat surat peringatan terakhir.
"Atau mau sekolah di luar negeri aja biar—"
"Sakit, Mama!"
Daaron sedang diobati sebetulnya, tetapi tangan mama menekan agak kuat. s**t!
"Ya, kamu siapa suruh main tonjok-tonjokan? Kalo udah merasa jagoan, harusnya sakit yang kayak gini aja bisa tahan!"
Aw!
Daaron meringis kesal. Malah ditekan lagi luka di sudut bibirnya.
Melihat sang putra, Papa Rei menghela napas abot. Berat, Sob! Sampai pijit-pijit kepala. Dapat telepon dari istri, disuruh pulang dulu, Daaron berulah lagi katanya. Pas sekali pekerjaan Reinal telah mendekati usai tadi.
"Kali ini apa?"
Oke, papa mulai sesi interogasi.
Namun, Daaron bungkam. Mana mungkin dia menjawab; ada yang menganggap Daaron musuh dan malah menargetkan Dikara untuk membuatnya kalah dengan paksa.
Kelemahan Daaron.
Dikara.
Teman-teman, terkhusus yang dia anggap musuh sudah tahu.
Dalam hal ini, Daaron tidak ingin melibatkan orang tua atau kekuasaan yang belum sempurna dimilikinya sebagai cucu pertama founder Luxe Group. Jadi, masih Daaron keep sendiri.
Demikian, Daaron tidak bisa tinggal diam. Tiap kali nama Dikara disebut, emosinya tersulut, apalagi oleh Ijal—teman sepersaingan sedari SMP.
Dan Dikara, dia anak gadis Pipi Wili. Daaron dianggap anak oleh beliau, jadi Dikara secara garis besar adalah 'adik-adikannya'. Namun, perasaan Daaron untuk Dikara tumbuh tidak sebatas rasa dari abang kepada adik, tetapi bertabur bumbu romansa walau masih remaja.
Ijal and the geng tahu soal itu, makanya tadi sepulang sekolah Ijal bilang, "Kira-kira ... apa jadinya kalo Dikara digangbang, ya?"
Kan, sialan!
Seolah tidak mengecap bangku pendidikan Ijal bicara soal gangbang, padahal di sekolah Ijal dan teman-temannya termasuk murid soft spoken. Hanya tidak kepada Daaron, pun saat di luar lingkungan elite SMA Merdeka. Seperti ada dendam kesumat saja.
Of course, Daaron emosi.
Tahu-tahu gelutlah mereka di kala masih berseragam.
Pikir Daaron, Ijal seperti itu karena dirinya selalu lebih unggul dari Ijal dan kawan-kawan, lalu Dikara diseret ke dalam arena permusuhan?
Ya, keunggulan Daaron memang bukan unggul di bidang akademik saja, tetapi di luar kegiatan sekolah dan mereka sialannya selalu satu bidang. Lingkungan luar itulah yang membuat murid SMA Merdeka seakan tidak terdidik di sekolah elite tersebut.
Seringnya kenakalan remaja tak pandang kualitas tempat bernaung mereka, bukan?
"Nggak mau jawab?" tekan papa. Daaron disudutkan.
"Sama kayak kemarin."
"Kenakalan remaja?" timpal mama atas jawaban si sulung. "Pa, minta Om Reno buat kawal kasus Daaron. Kali ini jangan kasih kendor!"
Auk, ah!
Daaron semrawut. Gegas saja lengser ke kamar. Membuat mama meneriaki namanya.
Dalam pikiran Daaron, dia tidak mau kalah dari siapa pun, termasuk Ijal. Karena untuk terlihat keren di mata Dikara yang punya segudang kelebihan istimewa, Daaron tidak bisa jadi sosok 'biasa'. Dan dia tidak ingin berlindung di bawah ketiak orang tua, istilahnya. Tak mau pula cemerlang sebab disinari oleh kejayaan mereka.
Daaron memang punya privilege, tetapi dia ingin membangun 'kejayaannya' sendiri, termasuk soal image kerennya ini.
Well ... kerennya Daaron saja Dikara susah melirik. Bagaimana kalau dia tidak punya keunggulan campernik?
Untuk saat ini Daaron adalah anak band dan suka manggung sehingga di usianya sekarang dia dan kawan-kawan punya penghasilan sendiri. Meski kalau dibandingkan dengan Dikara ... Dikara bahkan lincah main saham dan di usia lebih muda dari Daaron sudah terjun ke dunia bisnis dengan pipinya—Pipi Wili.
Kalah, kan?
Daaron tak akan pernah bisa mengungguli Dikara, tetapi dia pastikan tak akan ada lelaki lain yang unggul melebihi dirnya di sekitar Dikara.
Maka dari itu, Daaron akan terus bersaing. Meski demikian, dia tetap harus bisa memastikan Dikara dan orang-orang terdekatnya aman.
Padahal masih SMA, tetapi beban pikiran Daaron isinya sudah bukan sekadar tentang besok pelajaran apa. Jatuh cinta membuat isi kepala pelajar terbagi dua. Belum saja nanti saat masanya tiba, masa di mana Daaron tidak bisa menikmati kebebasan yang ada saat ini sebab tuntutan status sebagai calon penerus takhta Luxe Group.
Dia ambil ponsel, ternyata ada pesan masuk atas nama Dikara. Sontak senyum terukir di bibirnya walau sepersekian detik kemudian Daaron meringis kesakitan.
Bekas tonjok Ijal semprul, nih! Sakit.
Dikara: [Ya.]
Just it.
Astaga!
Benar-benar cuma 'ya' doang dari sekian banyak kata yang Daaron rangkai di chat sebelumnya. Begini: [Kara, kabarin Abang kalo udah nyampe rumah, ya? Terus kalo ada yang gangguin kamu, kasih tau Abang juga. Di mana pun kamu kalo merasa gak aman, barangkali aja gitu ada berandal nakal isengin kamu, telepon Abang. Nanti Abang kirim bala bantuan.]
Tapi Daaron tidak sakit hati, kok, pesan satu paragrafnya dibalas satu kata. Karena itu adalah sosok Dikara dengan segudang kebiasaannya. Sudah tidak diresahkan lagi.
Daaron: [Terus ini udah nyampe rumah, belum?]
Sudah pasti Dikara tidak melakukan apa yang Daaron minta, meski dijawab iya atas pesan satu paragrafnya.
Nyatanya, Dikara sudah tiba di rumah sejak tadi pun sama sekali tidak kasih kabar terkait itu kepada Daaron. Sebelum akhirnya, Daaron tanyakan sudah sampai rumah atau belum.
Dikara: [Oh, iya. Sudah.]
Tuh, kan?
Walau demikian, Daaron senyum-senyum. Kemudian meringis-ringis.
Ijal sialan!
Bibir seksinya cedera, sekadar senyum sampai harus merasa sakit dulu.
***
Amerta Dikara Budiman. Bicara soal fisik, Dikara nyaris sempurna. Dia wanita karier tanpa cela dengan segala kelebihan yang dimiliki, bahkan di usia belia. Pria dan wanita terkagum padanya, tua dan muda. Orang bilang, Dikara tidak punya kesenjangan.
Lahir dari keluarga berada, keturunan ningrat bule Rusia, dilimpahi kemampuan berpikir di atas rata-rata, Dikara nyaris membuat kembarannya iri atas segala lebih yang dia miliki andai tidak mengetahui satu kemalangan paling memprihatinkan dalam dirinya.
Saat itu, Dikara SMP kelas tiga.
"Besok jam berapa acaranya, Nis, Ra?"
Ayah mereka bertanya. Nis untuk Niskala, Ra untuk Dikara. Mereka anak kembar dari pasangan Wiliam Budiman dan Marlena Utama. Sedang menikmati makan malam bersama.
"Pagi, Pi. Jam delapanan harus udah di sana. Ya, kan, Ra?"
Dikara mengangguk, mengiakan tanya dari kakak kembarnya.
"Nggak bisa gak ikutan, ya, Sayang?" tanya mimi.
Panggilan si kembar kepada orang tua bukanlah papa dan mama, melainkan pipi dan mimi.
"Bisa, sih. Soalnya ini emang bukan acara resmi sekolah, tapi acara besar alumni dan calon alumni Merdeka seperti kami. Cuma ... Nis pengin datang, Mi. Kayaknya seru, pasti bisa dapat banyak informasi tentang jenjang lanjutan."
"Kara ikut Niska. Kalau Nis ikut, Kara juga." Dikara menyusul kalimat sang kembaran.
Benar, selama ini separuh kehidupan Dikara selalu mengikuti arus kakak kembarnya. Bukan atas dasar paksaan, tetapi kemauan sendiri. Demikian, Niskala senang.
"Ya sudah. Nanti Pipi antar."
"Acara keluarga besarnya gimana, Pi?" sela mimi.
"Tidak apa-apa, Mi," sahut Pipi Wili, kemudian menatap si kembar. "Nanti Nis sama Kara kalau sudah selesai acara di sana, pulangnya langsung susul kami di rumah uyut, ya?"
Benar, saat itu ... mestinya Dikara tak perlu ikut. Acara alumni SMP Merdeka dan buatan para murid tanpa izin resmi sekolah, ini diadakan untuk seru-seruan sekaligus sharing informasi terkait jenjang lanjutan. Barangkali adik-adik perlu info SMA mana yang recommended.
Tempatnya di vila ibu kota, milik orang tua dari salah satu alumni. Ada penjaga dan pengawas juga di sana supaya kegiatan berlangsung sebagaimana mestinya.
Ramai.
Dikara melihat para kakak kelasnya dahulu, termasuk gerombolan Bang Daaron yang sedang tertawa-tawa. Begitu melihat kehadiran Dikara, Bang Daaron auto mingkem. Mendekati.
"Katanya mau ada acara keluarga?"
Sesaat Dikara lupa atas pertanyaan Bang Daaron di chat semalam.
Bang Daaron: [Ra, besok mau datang ke undangan alumni, nggak?]
Dikara: [Lihat nanti. Soalnya bentrok dengan acara keluarga, kemungkinan tidak.]
Bang Daaron: [Oke, deh. Kabarin kalo mau datang, ya? Abang jemput.]
Yang sampai saat ini pesan tersebut tidak Dikara balas, bahkan ketika dia nyatanya mau datang.
"Iya, nyusul nanti habis acara ini selesai. Pipi mengizinkan."
Begitulah Dikara, dia menjawab apa adanya. Dan begitulah Daaron, dia sama sekali tidak marah walau merasa Dikara sengaja tidak mengabari hal itu supaya tak berangkat bersama dengannya.
Dasar.
Dikara baru sadar, Niskala meninggalkannya saat Bang Daaron menghampiri.
"Ya udah, yuk!" ajak Daaron, meraih tangan Dikara.
Namun, Dikara menolak digenggam. Sejak Bang Daaron menyatakan cinta, sikap lelaki itu jadi amat sangat terang-terangan mendekatinya, kecuali di depan orang tua.
Jujur, pernyataan cinta tersebut tidak Dikara anggap serius. Apalagi niatnya untuk memberi jawaban dilarang. Bang Daaron bilang dijawab nanti saja kalau sama-sama sudah dewasa. Padahal Dikara mau langsung berterus terang bahwa dia tidak menyukainya.
Hari ini mereka masih remaja.
Apalagi saat Bang Daaron menyatakan cinta, Dikara bahkan masih SMP kelas 7. Dua tahun kini sudah berlalu dari masa itu, hingga Dikara hendak beranjak dari SMP ke SMA.
Awalnya acara berlangsung sewajarnya pesta anak sekolah. Nyanyi-nyanyi, ngobrol-ngobrol, canda dan tawa, lalu bincang serius bin sharing info, bahkan itu pagi sampai menjelang siang hingga ....
Dikara terbangun di sebuah ruang yang dirinya kenali sebagai kamar. Ada kasur dan selimut. Ada dirinya dan ... wajah Dikara memucat.
Terlebih saat tak dia temukan sepotong pun pakaian di badan, dengan seorang pria tertidur di sisinya, bertepatan saat itu pintu kamar dibuka. Suara gebrakannya menyentak Dikara dan pria di dalam selimut yang sama dengannya.
Di tengah kebingungan yang mengerikan, Dikara melihat ke arah pintu, terpampang nyata bagaimana raut seorang Daaron Edzhar Reinaldi ... menyaksikan kesempurnaan Dikara tercela di sini.
"Bajingann!"
Tidak.
Dikara tidak menjerit, tidak memekik, kala Bang Daaron berlari sengit ke arah ranjang dan menghantam wajah pria tanpa pakaian serupa Dikara. Tepat di sisinya.
Yang mana ketika itu, satu per satu muncul orang-orang lain di ambang pintu. Tatapan Dikara tak menentu.
Gemuruh di dadanya serupa guntur di tengah badai besar. Entakan keras di jantungnya pun laksana ombak menghantam batu karang.
Apa yang telah terjadi ... Dikara diam dan memilih fokus memunguti pakaian, rupanya berserak di sisi ranjang. Dengan gemetar walau wajah datar, sebisa-bisa Dikara gegas memasuki kamar mandi sambil merengkuh selimut menutupi tubuh telanjangnya ini.
Membuat suasana seakan hanya ada dirinya sendiri, mengabaikan kemarahan Bang Daaron pada pria yang mungkin sudah mengambil hal paling berharga milik Dikara, dan kemarahan Bang Daaron beserta kawan-kawannya di dekat pintu kamar itu. Pada mereka yang menonton, mengeluarkan ponsel, juga mengarahkan kameranya kepada Dikara ... tadi.
Di sini, di kamar mandi ... Dikara masih bungkam. Syok dan linglung.
Berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Entah berapa lama waktu Dikara habiskan di dalam kamar mandi. Sama sekali tidak menangis walau embun di mata bergelayutan mau turun basahi pipi.
Napas Dikara tak tenang, sesak merajam dadanya. Namun, Dikara tidak banyak bereaksi. Hanya memakai pakaian dan merapikan diri, juga menata pikiran yang lari-lari tak tahu ke mana arahnya.
Di luar sudah sepi, tak terdengar adanya keributan lagi, hingga pintu kamar mandi diketuk dan Dikara mendengar, "Ini Abang, Ra."
Bang Daaron.
Dikara masih bisu.
"Udah aman," katanya. "Abang udah di sini."
Detik itulah embun menetes membuat aliran panjang di pipi Dikara.
Dipejamkannya mata untuk sesaat, Dikara harap dirinya sedang berada dalam mimpi. Yang begitu terjaga, keadaan membaik seperti sebelum datangi acara alumni.
Dikara ....
Seragam putih biru pun belum resmi diganti jadi abu-abu, siapa gerangan dalang dari apa yang Dikara alami saat itu?
Lama, Dikara baru menangis dan di luar ... seseorang mendengar suara isakannya.
Daaron berdiri bersandar di dinding dekat pintu kamar mandi, meredamkan gejolak emosi, menekan geraham kala suara tangis Dikara menyayati hatinya.
Dia telah gagal melindungi.
Dia telah gagal menjadi sosok abang sekaligus pria yang mencintai Dikara.
Tak dinyana, masa remajanya terlukis kisah sekelam ini. Khususnya, kisah Dikara.
Lagi pula, memangnya anak remaja bisa apa? Sedangkan, kenakalan banyak terjadi di kalangan mereka. Bukan diri sendiri yang nakal, ya, orang lain yang bertindak kurang ajar.
"Ra ...."
Oh, akhirnya ... dibuka.
Hening tercipta.
Dikara keluar dari sana. Daaron memandangnya. Terperinci dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi.
Tak akan bertanya 'are you okay' karena Daaron tahu Dikara tidak baik-baik saja, sekali pun datar raut wajahnya.
"Tadi siapa aja yang lihat?"
Sakit hati Daaron mendengar tanya Dikara dengan nada—sok—kuat.
"Ada Niska?" imbuh Dikara.
Daaron menggeleng dengan mata berkaca. Gantian dia yang ingin menangis setelah tadi air matanya jatuh saat menghantam wajah antek-antek Ijal. Daaron yakin.
"Syukurlah," katanya.
Syukurlah?
Daaron mencelus. Setelah apa yang terjadi, Dikara masih bisa bersyukur?
"Oh, ya. Tolong rahasiakan, khususnya sama Niska dan keluarga kita." Dikara ulas senyum tipis.
Tahu?
Dia gadis SMP, baru mau masuk SMA. Meski sejak kecil Dikara memang terkenal dewasa sebelum waktunya, tetapi untuk hal ini Daaron tidak bisa begitu saja menerima jalan pikiran Dikara.
"Abang udah urus yang lain, kan?" ucap putri Wiliam Budiman. "Maksudku, orang-orang yang datang tadi bawa hape, kameranya ... Abang udah urus, kan?"
Tenang dan santai nada bicara Dikara, bagaimana bisa? Bahkan sorot matanya, meski Daaron masih sanggup melihat sembap di sana.
"Aku percaya sama Abang." Dikara merampungkan sebab Bang Daaron hanya diam memandangnya. Jujur, risi. "Tolong jaga kepercayaanku, sisanya urusanku."
Masih bisu, Daaron masih menangani sekelumit rasa di hati, juga berharap bisa menyelami isi kepala Dikara.
"Satu lagi, aku minta tolong ... tolong banget. Temen-temen Abang yang lihat juga bantu jaga rahasiaku, ya?" Dikara memohon, tatapannya pun begitu dan baru kali ini ... dia meraih tangan Bang Daaron. Diremas lembut. "Aku percaya Abang."
Adalah detik di mana Daaron menarik Dikara ke dalam pelukan. Melingkarkan lengan di tubuh putri Pipi Wili.
Erat.
Seerat perasaannya untuk gadis remaja itu.
Anehnya, Daaron yang menangis dan Dikara yang menenangkan.
***
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.